Tuesday, August 30, 2011

ZAKAT PROFESI


Istilah Zakat Profesi

Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar’i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.)
Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun) dan tanpa nishab (jumlah minimum yang dikenakan zakat).
Mereka mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian (pertanian). Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen. Disamping mereka mengqiyaskan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.
Simulasi cara perhitungan menurut kaidah Zakat profesi seperti di bawah ini :
Cara I (tidak memperhitungkan pengeluaran bulanan)
Gaji sebulan = Rp 2.000.000
Gaji setahun = Rp 24.000.000
1 gram emas = Rp 100.000
Nishab = Rp 85 gram
Harga nishab = Rp 8.500.000
Zakat Anda = 2,5% x Rp 24.000.000 = Rp 600.000,-

Cara II (memperhitungkan pengeluaran bulanan)
Gaji sebulan = Rp 2.000.000
Gaji setahun = Rp 24.000.000
Pengeluaran bulanan = Rp 1.000.000
Pengeluaran setahun = Rp 12.000.000
Sisa pengeluaran setahun = Rp 24.000.000 – 12.000.000 = Rp 12.000.000
1 gram emas = Rp 100.000
Nishab = Rp 85 gram
Harga nishab = Rp 8.500.000
Zakat Anda = 2,5% x Rp 12.000.000 = Rp 300.000,-

Zakat Maal (Harta) yang Syar’i
Sedangkan kaidah umum syar’i sejak dahulu menurut para ‘ulama berdasarkan hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam adalah wajibnya zakat uang dan sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan atau gaji, atau lainnya, harus memenuhi dua kriteria, yaitu :

1. batas minimal nishab dan
2. harus menjalani haul (putaran satu tahun).

Bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak menjalani haul maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan dalil berikut :

[a] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Kamu tidak mempunyai kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” [Shahih Hadits Riwayat Abu Dawud].
20 dinar adalah 85 gram emas, karena satu dinar adalah 4 1/4 gram dan nishab uang dihitung dengan nilai nishab emas.

[b] Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan tidak ada kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami putaran haul” [Shahih Riwayat Abu Daud]

[c] Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
“Artinya : Barangsiapa mendapatkan harta maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani putaran haul” [Shahih dengan syawahidnya, Riwayat Tirmidzi]
Kemudian penetapan zakat tanpa haul dan nishab hanya ada pada rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan) namun ini tetap dengan nishab.

Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan) tanpa nishab dan tanpa haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’at, juga bertentangan dengan nama zakat itu sendiri yang berarti berkembang. [Lihat Taudhihul Al Ahkam 3/33-36, Subulusssalam 2/256-259, Bulughul Maram Takhrij Abu Qutaibah Nadhr Muhammad Al-faryabi 1/276/279]

Singkatnya simulasi cara perhitungan menurut kaidah yang syar’i adalah penghasilan kita digunakan untuk kebutuhan kita, kemudian sisa penghasilan itu kita simpan/miliki yang jumlahnya telah mencapai nishab emas yakni 85 gram emas dan telah berlalu selama satu tahun (haul), berarti harta tersebut terkena zakat dan wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari harta tersebut. Sedangkan jika penghasilan kita kadang tersisa atau kadang pula tidak, maka untuk membersihkan harta Anda adalah dengan berinfaq, yang mana infaq ini tidak mempunyai batasan atau ketentuannya.

Contoh perhitungan yang benar :
Gaji sebulan = Rp 2.000.000
Gaji setahun = Rp 24.000.000
Sisa pengeluaran setahun setelah dikurangi pengeluaran = Rp 5.000.000
Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000
Maka Anda tidak terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun belum mencapai nishab emas 85 gram tersebut.
Atau
Gaji sebulan = Rp 5.000.000
Gaji setahun = Rp 60.000.000
Sisa pengeluaran setahun = Rp 10.000.000
Nishob 85 gram emas = Rp 8.500.000
Maka Anda terkena kewajiban zakat, karena harta di akhir tahun telah mencapai nishab emas 85 gram tersebut. Kemudian tunggu harta kita yang tersisa sebesar Rp 10.000.000,- tersebut hingga berlalu 1 tahun. Kemudian baru dikeluarkan zakat tersebut sebesar 2.5 % x Rp 10.000.000,- = Rp 250.000,- pada tahun berikutnya.

Zakat Profesi Bertentangan dengan Zakat Maal (Harta)
Oleh karena itu ditinjau dari dalil yang syar’i maka istilah zakat profesi bertentangan dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam, dimana antara lain adalah :

1. Penolakan Syaikh Yusuf Qardhawi akan adanya haul. Haul yaitu bahwa zakat itu dikeluarkan apabila harta telah berlalu (kita miliki -pen) selama 1 tahun. Padahal telah datang sejumlah hadits yang menerangkan tentang haul. Namun hadits-hadits ini dilemahkan menurut pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi dengan alasan-alasan yang lemah (tidak kuat alasan pendha’ifannya). Karena hadits itu memiliki beberapa jalan dan syawahid.
Oleh karena penolakan ini, maka menurut pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi, apabila seseorang menerima gaji (rejeki) melebihi nisab (batasan) zakat, maka wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Dari penolakan haul ini (karena dianggap bahwa tidak ada haul), maka Syaikh Yusuf Qardhawi mengkiyaskan dengan zakat biji-bijian. Zakat biji-bijian dikeluarkan pada saat setelah panen.
Hal ini merupakan pengqiyasan yang salah. Karena qiyas dilakukan karena beberapa sebab salah satunya apabila tidak ada dalil yang menerangkan hukumnya. Padahal (sebagaimana yang telah disampaikan secara singkat), terdapat sejumlah hadits dan atsar para sahabat (dalil-dalil) yang menjelaskan mengenai haul.

Kemudian jikapun benar dapat diqiyaskan dengan biji-bijian (pertanian), maka kita harus konsekuen dengan kebiasaan yang umum berlaku dalam masalah panen biji-bijian :
a. Dimana hasil biji-bijian baru dipanen setelah berjalan 2-3 bulan, berarti zakat profesi juga semestinya dipungut dengan jangka waktu antara 2-3 bulan, tidak setiap bulan !
b. Dimana hasil biji-bijian akan dikenakan zakat 5 %, maka seharusnya zakat profesi juga harus dikenakan sebesar 5 %, tidak dipungut 2.5 % !

3. Penolakan dengan akal (bukan dengan dalil). Bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya.

Hujjah (alasan) ini tidak ilmiah sama sekali dan tidak ada artinya. Karena dalam masalah ibadah, kita harus mengikuti dalil yang jelas dan shahih. Dengan demikian tidak perlu dibantah (karena Allah memiliki hikmah tersendiri dari hukum-hukum-Nya). Seperti berfikir dengan akal bahwa :
“Kenapa warisan untuk wanita lebih rendah?”
“Mengapa air seni yang najis hanya disucikan dengan air bersih, sedangkan air mani yang suci harus disucikan dengan mandi janabah?”
“Mengapa orang yang mencuri harus dipotong tangannya sebatas lengan, sedangkan orang yang muhson (telah menikah) harus dirajam bukannya dipotong alat kemaluannya?”,

Dan masih banyak lagi hal yang tidak bisa hanya mengandalkan akal kita yang terbatas untuk mengkaji hikmah ilmu dan kemulian Alloh Azza wa Jalla.
Hal ini, ketika sampai di Indonesia, ada sebagian orang yang berlebihan dalam menghitungnya. Misalkan 1 bulan gaji = 1 Juta, maka 12 bulan gaji = 12 Juta. Maka ini telah sampai nisab, lalu dihitung berapa zakat yang harus dikeluarkan.

Hal ini adalah salah karena tidak ada haul. Selain itu, kita tidak mengetahui masa yang akan datang kalau dia dipecat, atau rezekinya berubah. Atau kita balik bertanya, mengapa pertanyaannya hanya petani, apakah jika petani membayar zakat, lantas pekerja profesi tidak bayar zakat ? Padahal mereka tetap diwajibkan membayar zakat, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.

4. Syaikh Yusuf Qardhawi mengemukakan dalam suatu zaman Umar bin Abdul Aziz bahwa sebagian pegawai diambil gajinya 2,5% sebagai zakat.

Hal ini merupakan salah paham terhadap dalil atau atsar. Karena yang diambil itu harta yang diperkirakan sudah mencapai 1 haul. Yakni pegawai yang sudah bekerja (paling tidak) lebih dari 1 tahun. Lalu agar mempermudah urusan zakatnya, maka dipotonglah gajinya 2,5%. Jadi tetap mengacu kepada harta yang sudah melampaui mencapai nishob dan telah haul 1 tahun saja dari gaji pegawai tersebut.
Kemudian jika dilontarkan suatu syubhat : “Bagaimana bisa mencapai batas nishab jika gaji yang kita peroleh selalu habis kita belanjakan untuk kebutuhan sehari-hari maupun kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti barang elektronik dan lain-lain?”
Hukum syar’i tetaplah hukum yang berlaku sepanjang zaman, yakni zakat harta harus tetap memenuhi syarat nishab. Bila gaji itu dibelanjakan, dan sisanya tidak memenuhi nishab, maka harta itu belum wajib dikeluarkan zakatnya. sebagaimana hadis: “Kamu tidak memiliki kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah menjalani satu putaran haul” (Shahih,HR. Abu Dawud)

“Lantas kapan zakatnya bila sisa gaji itu tidak pernah mencapai nishab?”
Jawabnya: Tidak wajib zakat pada harta yang tidak cukup nishab. Nasehatnya adalah, bila kita merasa mampu berzakat dengan sisa uang gaji yang sedikit, maka hendaknya disalurkan dengan bentuk shadaqoh (yang sunnah).

Alangkah beratnya agama ini bagi orang lain yang sama kondisi ekonominya dengan kita namun dia memiliki banyak keperluan yang harus dia belanjakan untuk keluarganya, bila zakat harta itu tidak memperhitungkan kewajiban nishab.

Biarlah kita yang masih gemar berinfaq ini, menyalurkannya dengan bentuk shadaqoh yang sunat terhadap harta yang belum mencapai nishab tersebut. Tapi jangan sekali-kali mengubah hukum dari yang tidak wajib menjadi wajib, karena ini akan memberatkan kaum muslimin secara umum. Mungkin bagi kita tidak berat, tapi orang lain ?. Sungguh telah binasa umat terdahulu karena mereka melampaui batas dalam agama.

Salah satu dari sekian banyak hikmah adanya syarat nishab adalah agar harta kaum muslimin itu terus berputar dalam perbelanjaan mereka, dan tidak mengendap dalam jumlah yang besar pada satu atau beberapa orang. Ini akan akan berdampak jumlah uang beredar akan menjadi sedikit, kesenjangan semakin meningkat, dan lain-lain.

Bila seseorang itu memiliki harta dia boleh:
1. membelanjakan dijalan yang halal untuk keluarganya,
2. atau Mengusahakan harta itu dengan permodalan (misalnya mudharabah dll)
3. atau Mengeluarkan zakat bila telah terpenuhi syarat-syaratnya
4. atau Menabungnya bila belum terpenuhi syarat-syaratnya, agar kemudian bisa dikeluarkan zakatnya
5 Atau dia shadaqohkan/berinfaq (sunnah hukumnya)

Oleh karena itu memperhitungkan gaji semata dalam satu tahun tanpa memperhitungkan bentuk harta yang lainnya adalah cara yang keliru dalam menghitung zakat maal. Zakat termasuk dalam ibadah, dan kaidah dalam menjalankan ibadah adalah menjalankan segala perintah yang dituntunkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak memberikan contoh ataupun tuntunan dalam memperhitungkan zakat maal dalam penghasilan semata.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa zakat barang tambang yang wajib dizakatkan adalah emas dan perak, sedangkan tanaman yang wajib zakat adalah gandum, sya’ir, kurma, dan zabib, dan tidak ada satupun Riwayat dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bahwa harta penghasilan adalah harta wajib zakat. Jadi tidak ada dalil yang menerangkannya. Hitunglah berapa penghasilan kita dalam satu tahun lantas dikurangi pengeluaran itulah harta yang tersisa dalam dalam satu tahun, bandingkan dengan nishab emas 85 gram, bila sama atau melebihinya maka wajib zakat,jika tidak maka tidak perlu zakat, namun dengan bershadaqah juga dapat membersihkan harta. Wallahu a’lam.

Dikutip dari Assunnah Mailing List yang diposting oleh akh Said Mirza

Tuesday, August 23, 2011

Keutamaan Berzakat dalam Dinar dan Dirham

Selain kewajiban berpuasa, kebanyakan umat Islam menjadikan Ramadhan sebagai batas waktu (haul) pembayaran zakat mal, tentu saja di samping zakat fitrah yang dibayarkan menjelang lebaran.

Hal ini mengakibatkan zakat mal menumpuk dalam masa yang sangat singkat, hingga kurang terjadi pemerataan kekayaan dari segi waktu. Haul zakat mal semestinya jatuh tempo setiap saat karena setiap orang tentunya mulai menyimpan harta dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu sangatlah penting bagi setiap muzaki untuk menetapkan haul zakatnya secara lebih tepat, dan tidak semata-mata mematok bulan Ramadhan, supaya zakat bisa ditarik dan dibagikan setiap hari sepanjang tahun.

Selain soal haul, rukun pokok lain dari zakat mal yang harus dipenuhi adalah batas minimal kewajiban, atau nisab, yang ditetapkan dalam Dinar emas dan Dirham perak. Dalam hal ini Imam Malik (dalam Muwatta) berkata, 'Sunnah yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya adalah bahwa zakat diwajibkan pada emas senilai 20 dinar, sebagaimana pada perak senilai 200 dirham.' Saat ini hampir semua pihak, termasuk para ulama, menyatakan bahwa nisab zakat mal adalah 85 gr emas. Ini kurang tepat dan menimbulkan persoalan serius.

Pertama, nisab itu ditetapkan memang dalam berat, tetapi satuannya adalah mithqal atau Dinar emas bukan gram, yang kalau dikonversi ke dalam berat umumnya memang menemukan angka 85 gr emas. Sebab 1 mithqal, atau 1 Dinar emas, adalah 4.25 gr, 20 Dinar atau 20 mithqal menjadi 85 gr emas. Penggunaan nisab dalam gr (emas) menghilangkan pengetahuan dasar umat Islam tentang satuan berat dalam syariat Islam (mithqal dan qirat), tentang Dinar emas dan Dirham perak, dengan segala implikasinya. Antara lain pengetahuan tentang ketetapan yang berkaitan dengan nilai, seperti pada hudud, diyat, mahar, dan sejenisnya, juga hilang.

Kedua, nisab 20 Dinar dan 200 Dirham ini mengacu secara umum untuk harta moneter (uang) dan harta perniagaan, dan bukan an sich kepada (logam) emas dan perak. Dengan demikian, sebagaimana bisa dirujuk kepada pendapat para ulama salaf, zakat harta uang dan perniagaan, hanya bisa dibayarkan dengan Dinar emas atau Dirham perak, masing-masing sebasar 2.5%-nya, yaitu 0.5 Dinar emas dan 5 Dirham perak.

emas dan Dirham perak adalah 'ayn (aset nyata), sebagaimana produk pertanian dan peternakan yang bila jatuh nisab zakatnya hanya bisa dibayarkan dengan 'ayn yang bersesuain dengananya. Zakat tidak bisa dibayarkan dengan dayn (bukti utang), yang dalam konteks harta moneter dan barang perniagaan saat ini adalah berupa uang kertas atau turunannya. Jadi, membayarkan zakat uang (meski saat ini kebanyakan berupa dayn, seperti rupiah, dolar, atau lainnya) dan perniagaan dengan 'ayn, yaitu Dinar emas dan Dirham perak, adalah mengembalikan sunnah dan rukunnya.

Ketiga, penggunaan nisab zakat mal dan perniagaan yang hanya merujuk pada (Dinar) emas dan mengabaikan (Dirham) perak, menciutkan jumlah muzakki. Nilai Dinar emas pada awal Ramadhan 1432 H ini, misalnya, bila dirupiahkan adalah Rp 1.975.000, sedangkan Dirham perak adalah Rp 64.500. Artinya nisab zakat dalam Dinar emas setara dengan Rp 39.460.000, sedangkan nisab zakat dalam Dirham perak adalah Rp 12.880.000. Jadi, selama ini, karena nisab yang dipakai hanyalah (85 gr) emas maka mereka yang memiliki tabungan mulai dari Rp 12.880.000-Rp 39.460.000 tidak dinyatakan berkewajiban zakat. Padahal, jumlahnya, secara logika akan jauh lebih banyak ketimbang yang memiliki tabungan bernisab Dinar emas.


Keempat, ini yang sangat penting, sebagaimana kita lihat dalam lebih dari satu dekade ini, penerapan sistem uang kertas dalam kehidupan sehari-hari terbukti semakin genting. Sistem ini, yang tidak lain berbasiskan pada riba, telah mendekati keruntuhannya yang ditandai dengan 'krisis moneter' yang tiada berhenti, dan semakin hari semakin berat. Gonjang-ganjing yang sedang kita saksikan hari ini di AS dan Eropa adalah bagian dari proses pembusukan ini. Rasulullah salallahu alayhi was salam telah mengindikasikannya jauh hari, dengan menyatakan bahwa, 'Akan datang masa ketika tak ada lagi yang dapat dibelanjakan (karena habis nilainya) kecuali Dinar dan Dirham. Selamatkan Dinar dan Dirham.' (HR. Ahmad) Uang kertas adalah liabilitas bukan aset. Nilainya terus-menerus merosot. Secara riil uang kertaslah sumber pemiskinan, berupa inflasi, yang merampas harta setiap orang. Membayarkan zakat mal dalam Dinar emas dan Dirham perak akan dengan sangat efektif menghentikan pemiskinan akibat inflasi ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejak kedua koin nabawi ini, beredar di Indonesia, telah banyak yang mendapatkan manfaat ini. Pembagian zakat mal dalam keduanya bukan cuma berarti pemerataan harta yang sesungguhnya kepada semua orang, termasuk fakir dan miskin. Tetapi, sekali harta ini berada dan beredar di tangan masyarakat, perekonomian kita akan sangat kuat. Sebagai gambaran saja awal tahun 2000an 1 Dinar emas setra Rp 400.000, sedang Dirham perak setara Rp 11.000. Dengan demikian pemiskinan telah terjadi lebih dari lima kali lipat, dengan inflasi sekitar 500% dalam sepuluh tahun ini.

Pembayaran dan pembagian zakat mal kembali sesuai dengan rukunnya, yakni dalam Dinar emas dan Dirham perak, niscaya akan menjadi titik awal kebangkitan bangsa dengan jumlah Muslim terbesar di dunia ini. Tidak ada keraguan lagi.

Oleh : H. Zaim Saidi - Pimpinan Baitul Mal Nusantara

Monday, August 15, 2011

Kita Bahkan Sudah Korupsi Pikiran


Membaca buku Tidak Syarinya Bank Syariah kita akan menemukan sebagian jawaban: Kita tidak hanya lemah, kita korup. Bahkan korupsi pikiran. Kita akan jumpai para ulama yang memutarbalikkan tafsir.
Usia bank konvensional sudah mencapai 538 tahun. Dimulai sejak bank konvensional tertua di dunia, Banca Monte dei Paschi di Siena, Italia yang didirikan pada 1472. Disusul Berenberg Bank, Hamburg (pada 590); C. Hoare & Co., London (1672); The Bank of Scotland, Edinburgh (1695); setelah itu barulah pada 1784, Amerika Serikat mendirikan Bank of New York (Vicary and Chee, 2010).
Apakah kehadiran lembaga kuangan konvensional selama empat abad lebih ini telah membawa berkah? Ternyata tidak. Bahkan malah sebaliknya. 

Stiglitz, ekonom AS peraih Nobel Ekonomi dan mantan penasihat Bank Dunia, mengatakan bahwa kegagalan sejumlah negara di berbagai belahan dunia justru akibat menerapkan salah resep yang dibuat oleh Bank Dunia dan atau Dana Moneter Internasional (IMF). AS pun pada 2009 sekarat dan Presiden Barack Obama harus mengeluarkan dana besar untuk melakukan bailout (talangan), gara-gara perilaku para eksekutif lembaga keuangan. Ada kucuran 29 milyar dolar AS untuk Bear Stearns, 152 milyar dolar AS untuk AIG, dan 345 milyar dolar AS untuk Citigroup, serta untuk Bank Sentralnya disiapkan 600 milyar dolar AS guna menjamin deposito pasar uang dan menurunkan suku bunga. Total, Presiden Obama harus menyediakan dana untuk mendorong investasi dan kredit hingga 7,2 trilyun dolar AS. Kini, negara besar itu telah ikut terjerat utang besar dan APBN-nya defisit mendekati 1 trilyun dolar AS gara-gara ulah eksekutif lembaga keuangan yang liar, dan kontrol negara yang dilemahkan (CNN Money, 6 Januari 2009).

Para eksekutif membuat sistem bonus, yang ironisnya, didasarkan pada penjualan produk keuangan, bukan pada kinerja perusahaan. Misalnya, semakin banyak surat utang terjual, maka semakin besar bonus yang mereka terima. Para eksekutif keuangan lantas tidak peduli dengan keamanan investasi yang ditawarkan kepada para pemilik dana. Ini menyebabkan tumbuhnya bisnis keuangan yang liar dan spekulatif.
Gao Xicing, Presiden China Investment Corporation, setahun sebelumnya (2008) sudah mengingatkan bahwa AS harus merombak struktur penggajian di sektor keuangan. Pekerja di sektor ini memiliki cara untuk mendapatkan banyak uang, dan ini sudah tidak benar.

Kebangkrutan sejumlah investor dan korporasi keuangan AS tersebut menjadi pemicu krisis global. Dan dampak krisis itu kini sudah masuk ke Eropa. Saat ini, Yunani - gara-gara jebakan utang, secara ekonomis dinyatakan sudah bangkrut. Uni Eropa terpaksa membantunya agar krisis Yunani tidak merembet dan menyebabkan krisis Eropa.

Saat ini Pemerintah AS, Uni Eropa dan Dewan Stabilitas Keuangan G-20 mencoba meredam dan menata ulang pemberian bonus kepada para eksekutif dan pekerja keuangan. Kejadian yang mirip juga sedang berlangsung di Indonesia. Akibat menerapkan resep yang salah dari IMF, perbankan di Indonesia kolaps dan ikut memperdalam krisis 1997.

Pemerintah Indonesia dipaksa melakukan bailout sebesar Rp 147,74 trilyun dalam bentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tragis, bailout yang tidak perlu, kembali terulang pada 2009 sebesar Rp 6,7 trilyun, kepada Bank Century. Semua ini terjadi antara lain karena sistem pengawasan di Bank Indonesia (BI) tidak berjalan baik.

Ironisnya, dengan kinerja yang buruk dari insan perbankan ini, rakyat Indonesia dipaksa untuk membayar tinggi gaji pejabat BI. Menurut Ketua Badan Anggaran DPR RI, Harry Azhar Aziz, gaji tertinggi pejabat di negeri ini masih ditempati Gubernur BI, mencapai Rp 265 juta per bulan. Sedangkan gaji presiden RI sekarang Rp 150 juta. Gaji pejabat BI itu meliputi gaji bulanan 12 kali, plus uang cuti sebulan gaji, Tunjangan Hari Raya dua bulan gaji, serta insentif sebesar tiga bulan gaji (Bisnis Indonesia, 12 April 2010).

Ini terjadi antara lain karena kini BI adalah lembaga independen (UU No. 3/2004). Lembaga itu bukan lembaga pemerintah, tapi otoritas moneter yang posisinya mandiri terhadap pemerintah. Maka, BI adalah lembaga super yang nyaris tanpa kontrol dari lembaga apa pun. Tidak pula dari anggota DPR. Malah pejabat BI menyuap sejumlah anggota DPR. Tragis, kini para petinggi itu - mantan gubernur BI, mantan direktur Bank Century dan sejumlah anggota DPR, bergantian mengisi rumah penjara. 

Bagaimana dengan bank Islam?
Saya terharu dan bangga saat menyaksikan seremoni berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta pada 1991, disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan selanjutnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Saya juga tetap optimistis, bahwa di tahap awal bank belum dapat dijalankan dengan sistem syariah sepenuhnya. Para pengelola memberikan argumen bahwa ini adalah periode transisi, masa antara, darurat, sembari melakukan edukasi kepada masyarakat. 

Namun, dengan berjalannya waktu, kebanggaan dan harapan saya lama kelamaan redup. Karena periode darurat itu berjalan berkepanjangan. Dan yang membuat saya pesimistik adalah tidak ada upaya sungguh-sungguh dari para pemilik dan pengelola perbankan syariah untuk mengimplementasikan sistem syariah. Bahkan, ada kecenderungan ke arah sebaliknya. Para pemilik dan pengelola menikmati sistem operasi konvensional (nonsyariah).

Pada 2004, di Pusat Studi Ekonomi UGM, kami menyelenggarakan diskusi mengenai bahayanya riba, mengenalkan dinar, dan membedah "sistem pengelolaan bank syariah yang keliru", yang dihadiri oleh pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, perbankan syariah, Ahmadiyah, LSM, akademisi, dll. Setahun kemudian, pada 2005, acara yang sama kami gelar kembali di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta, dihadiri sekitar 100 orang pengelola BMT dan BPRS. Demikian seterusnya, acara serupa kami selenggarakan kembali di Hotel Brongto (2006), di Hotel Sahid Raya Yogya (2007), di Hotel Airlangga (2007), di Gedung Abhiseka (2008), di gedung PUPUK Yogya (2009 dan 2010).

Setiap selesai seminar, mayoritas mendukung segera diterapkannya sistem secara syariah. Namun hingga hari ini sebagian besar - kalau tidak seluruhnya, masih tetap menjalankan sistem lembaga keuangannya secara konvensional. Argumen mereka masih sama: ini disebabkan oleh karena penyedia dana (Shahib al Maal) dan entrepreneur (Mudharib) belum siap, kita masih transisi, darurat. 

Pada 2006, saya ditemui manajer Bank Syariah Mandiri Yogyakarta, dengan permintaan untuk menempatkan dana lembaga yang saya pimpin di BSM. Saya setuju, dan setor dana Rp 6 milyar. Saat saya tanya, bisakah kita lakukan proses bisnis yang sepenuhnya syariah - sebagai pemilik dana saya siap menerapkan sistem bagi hasil dan bagi rugi (lost & profit sharing), dia menjawab, "Maaf, belum bisa, karena sulit menemukan entrepreneur (Mudharib) yang mau."

Empat bulan lalu, saya bertemu tiga pimpinan BMT di Yogyakarta. Saya melempar pertanyaan, mengapa BMT Anda belum dijalankan secara syariah penuh? Jawab mereka, "Para pemilik BMT maupun penyedia dana (Shahib al Maal) tidak mendukung. Kami, sebagai eksekutif, sebenarnya ingin menjalankannya."
Bulan lalu, saya menerima laporan tahunan BMT. Di BMT ini saya adalah pendiri (pemilik). Saya tanya kepada direkturnya (yang juga adalah pemilik), mengapa tidak ada laporan kegiatan baitul mal? Dia menjawab dengan terus terang, kegiatan baitul mal kurang menarik, tidak potensial menghasilkan profit. Dan ternyata, tidak seorang pun yang diberi tugas untuk menjalankan divisi baitul mal. Seluruh staf sibuk dengan kegiatan baitul tamwilnya saja. Bahkan, pada lembaga yang pemiliknya memberi keleluasaan pun, para eksekutifnya lebih memilih sibuk memikirkan untung saja.

Hal yang sama juga terjadi pada lembaga venture capital. Lembaga ini diadopsi dari AS, yang didirikan oleh pemerintah Indonesia dan sejumlah pengusaha di sejumlah kota sejak 1999. Lembaga ini seharusnya beroprasi dengan sistem: 1) Penyertaan Saham (Equity Participation); 2) Obligasi Konversi (Convertible Bond); 3) Pola Bagi Hasil (Revenue Sharing); 4) Pembiayaan Syariah dan 5) Pembiayaan lainnya. Kenyataannya, lembaga ini dioperasikan layaknya lembaga perbankan. Diterapkan pola pinjam-meminjam. Dengan mengutip bunga pinjaman dan meminta agunan. Jauh dari sistem venture capital aslinya yang tidak mengenal bunga pinjaman dan agunan. Alasan para eksekutifnya sama, konon, karena sulit mencari nasabah yang bersedia diajak kerjasama dengan sistem penyertaan saham. 

Is Indonesia a Soft Nation?
Jadi, di mana masalahnya pemilik lembaga (bank, BMT), para ulama, penyedia dana (Shahib al Maal) dan/atau entrepreneur (Mudharib)? Apakah Indonesia bangsa yang lemah, yang tidak memiliki pribadi unggul dengan fight spirit tinggi? Tidak punyakah kita pribadi yang all out menerapkan idealisme?
Membaca buku Tidak Syar'inya Bank Syari'ah karya Zaim Saidi ini kita akan menemukan sebagian jawabannya. We are not only soft, we are corrupt. And there is corruption of mind as well. Kita tidak hanya lemah, kita korup. Dan bahkan ada korupsi pikiran. Kita akan menjumpai para ulama yang memutarbalikkan tafsir. Kita akan tahu bagaimana para eksekutif perbankan menelikung pendekatan syariah dan mengaburkannya dalam sistem konvensial. Kita akan tahu bahwa banyak penilaian yang keliru atas perbankan Islam. Bahkan Daud Vicary Abdullah (yang telah berkarier 35 tahun di perbankan) dan Keon Chee, dalam bukunya Islamic Finance, Why It Makes Sense, pun telah salah menafsirkan dan tidak menangkap prinsip syariah dalam analisisnya terhadap perbankan Islam (Marshall Cavendish, 2010).
Write the right think, menuliskan hal yang benar. Inilah yang menjadi alasan dan latar belakang mengapa DELOKOMOTIF menerbitkan buku ini. 

Oleh : Mukti Asikin - Penerbit Delokomotif
www.wakalanusantara.com