Thursday, September 22, 2011

Pemnafaatan Waktu

Membuang-buang waktu lebih mengerikan daripada kematian, karena membuang-buang waktu memutus hubunganmu dengan Allah Ta'ala dan akhirat, sementara kematian hanya memutus hubunganmu dengan dunia dan seluruh penghuninya.

Sekedar ilustrasi tentang betapa singkatnya waktu kehidupan ini dan betapa banyaknya waktu yang terbuang. Hitunglah dan bandingkan tentang apa yang kita pergunakan dalam perjalanan waktu yang terlewati :

AKTIVITAS WAKTU
1. Tidur 8 Jam
2. Kerja 9 Jam
3. Perjalanan 2 Jam
4. Sholat @ 15 Menit 1,15 Jam
5. Santai dan Lain-lain 3,45 Jam
Total 24 Jam

Dari perhitungan kasar diatas, tampak betapa sedikitnya Allah meminta ibadah ritual, hanya 1,15 menit (5 % saja dari waktu sehari). Lihatlah, betapa sedikitnya waktu yang kita gunakan untuk sholat!. Cukuplah catatan ini menjadi bahan perenungan bagi kita. Marilah kita asumsikan saja bahwa umur kita yang produktif adalah 60 tahun, maka akan kita lihat perhitungannya sebagai
berikut
:
1.    Waktu untuk tidur adalah 8 jam/hari, berarti 1/3 dari aktivitas kita sehari itu di pakai untuk tidur. Jika umur kita 60 tahun, berarti 1/3 X 60 tahun = 20 tahun untuk
tidur
. Sentuhan Nurani 21
2.    Waktu untuk bekerja di butuhkan 9 jam, jika umur kita yang produktif adalah 60 tahun, berarti secara akumulatif telah menyita umur kita selama 22,5 tahun dari umur
kita.
3.    Waktu sholat hanyalah 1,15 jam, atau untuk memudahkannya, katakanlah 2 jam termasuk sunnah dan tahajjud. Ini berarti 1/12 jam di pakai untuk ibadah, jika umur kita 60 tahun,
berarti 1/12 X 60 tahun = 5 tahun di pakai untuk sholat
(bandingkan dengan waktu tidur dan kerja). 

Dengan demikian, betapa sedikitnya waktu yang kita nikmati dan betapa sedikitnya waktu yang di minta Allah untuk ibadah sholat, padahal perhitungan tersebut tidak kita masukan umur baligh (dewasa) dimana taklif atau hukum syariat mulai berlaku.
Mulailah dari sekarang kita mengintropeksi tentang kehidupan
kita. Hitung, lebih banyak banyak mana; amal sholeh atau amal salah, dan lebih sering mana; maksiat atau taat.?!
Semoga waktu y
ang kita isi dan gunakan senantiasa sesuai dengan yang diperintahkan Allah Ta'ala & petunjuk Rasul-Nya. Aamiin

DEMI WAKTU


Ketika membaca al-Qur`an banyak kita jumpai bahwasanya Allah SWT bersumpah dengan yang namanya waktu. Tahukah maksudnya apa ? Ya, waktu itu sangat-sangat penting saudara. Mari kita merenung sejenak !
Waktu semakin tipis. Tapi kesadaran tak bertambah tebal. Waktu kian habis namun belum juga kita sampai pada titik nalar yang paling benar. Kita seharusnya selalu dituntut untuk sadar. Sadar dalam menanjalani waktu. Karena sesungguhnya kita sedang mencipta sejarah. Sejarah apa yang kita cipta setahun yang lalu ? sejarah apa yang kita gubah sebulan yang lalu? Bahkan, sejarah apa yang kita bikin sedetik yang lalu ? Pertanyaan ini selayaknya harus terus kita ulang dan ulang, tidak saja pada diri sendiri, tapi juga pada kawan bahkan lawan. Sejarah apa si yang kita ciptakan sekarang ?
Kita semua paham bahwa hidup bukanlah rangkaian waktu yang terjadi begitu saja. Dari tidak ada, lalu lahir, anak-anak, dewasa, tua dan hilang tanpa bekas. Sungguh, tak seperti itu yang terjadi sebenarnya. Kita akan ditanya tentang waktu-waktu yang telah berlalu dalam hidup ini. Ditanya yang punya waktu, kemana saja waktu dihabiskan dan pergi serta segala macamnya.
Waktu adalah pedang, begitu kata pepatah Arab. Jika kita ketinggalan kereta hilanglah jiwa kita. Tapi sekali lagi, meski waktu adalah pedang tak pernah kita punya perasaan bahwa sewaktu-waktu kepala kita akan terpenggal olehnya. Kita masih banyak menjalani waktu tanpa rencana. Kita masih banyak menghabiskan waktu tanpa kesadaran bahwa kepala kita akan terpenggal, dengan tidak mencipta sejarah sekecil apapun yang baik buat diri kita pribadi maupun orang banyak. Kita banyak menjalani waktu seolah, kita lahir, besar, tua dan mati, hilang tanpa dituntut pertanggung jawaban.
Waktu akan terus mengambang dalam ruang dan hidup kita, meminta jawab dan selalu mengajukan banyak pertanyaan ? sungguh kita tidak disuruh Allah dan Rasulnya untuk menjalani hidup apa adanya. Rasul merancang hidupnya. Rasul merancang dakwahnya. Rasul merancang setiap lakunya sehingga mencipta sejarah yang hebat dan menggemparkan dunia. Begitu juga dengan sahabat-sahabat beliau. Hidup mereka tidak mengalir begitu saja,. Mereka memikirkan, apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang dan peran apa yang harus mereka mainkan.
Peranan dalam hidup ini harus kita tentukan dan mainkan tanpa bisa berkata tidak. Kita tidak bisa lagi membiarkan waktu berlalu tanpa peran dan jejak-jejak kaki kita mencipta sejarah. So pasti sejarah yang apik, yang diingat dan dituturkan dengan bangga oleh anak cucu kita kelak. Bukan sebaliknya. Dan untuk itu hanya satu cara membangunya. Seperti kata nya, kita harus menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun kemarin. Bulan ini harus lebih baik dari bulan kemarin. Hari ini harus lebih cemerlang dari hari kemarin. Jika tidak, bukan saja kita telah hidup dengan sia-sia, tetapi kita juga telah dirajam oleh waktu  tanpa terasa. Dipenggal berkali-kali oleh pedang yang selalu siap mengancam. Wallahu`alam

Thursday, September 15, 2011

Perbandingan Antara Pembiayaan Murabahah (mark-up) dan Berbasis Bunga Tetap (Fixed Interest Based)

Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Disini kita akan melakukan perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :

1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan

Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional memberikan pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah
memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk membeli barang-barang yang diperlukan berapapun harganya.

Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak.

Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa mendatang, preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri.

Dan hal itu sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktor-faktor yang melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam untuk memperoleh keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk kemungkinan inflasi yang akan terjadi, perkembangan moneter, marketabilitas barang-barang yang dijual melalui pembiayaan ini serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.

Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang pertama bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi penetapan suku bunga pada perbankan konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku bunga dan markup dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan sama.

Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun perbedaan antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari penyalur untuk barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian ditransfer kepada para nasabah murabahah dalam bentuk mark-up yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya pembiayaan nasabah.

Namun, kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian barang dilakukan secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika masing-masing nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. Dan kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi. Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah dengan sistem mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang berdasarkan bunga atau bahkan dapat terjadi lebih besar (mahal). Di mana dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku bunga tertentu dalam pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan memberikan pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan untuk dibiayai.

Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir atau personil bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan ini, di mana dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya, kertas kerja yang dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan, melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen ataupun melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan penjualan barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para nasabahnya.


2. Resiko Dalam Pembiayaan

Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan menyertainya. Demikian juga halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :

a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barang-barang yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan.

Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan dengan kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik (lokal). Akan tetapi dalam level perdagangan yang lebih luas (internasional), resiko-resiko semacam itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk menghindari timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam mengantisipasinya dengan menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul-klausul kontrak yang dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam setiap kontrak transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya yang harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga barang dan sebagai dasar bagi penetapan jumlah mark-upnya.

Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar dari penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh bank konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman murni semata. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam pembiayaan murabahah ini mark-up yang ada ataupun total pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional.

b. Resiko yang tekait dengan pembayaran

Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko yang terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk menghindari resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam mengharuskan
adanya jaminan. Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini
atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut : Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran hutang tersebut.

Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem denda kepada nasabahnya, yang
jumlahnya disesuaikan dengan “tingkat laba yang wajar” pada dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut. Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada nasabah.

Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak
mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo.


 3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli

Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang terjadi. Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah “hubungan kemitraan” yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank
konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya peranan transaksi murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.

Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak. Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.

4. Penyelesaian Hutang

Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan konvensional. Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau laba serta jangka waktu pembayarannya pun
ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak pada kondisi ketika seorang debitur gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak. Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran (toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 280.

Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan

celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka kemudian mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang tepat pada waktunya.

Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan). Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan kepada para nasabahnya.


 Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba

Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank Islam tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba diperbolehkan, kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu kegiatan penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan besar mark-up untuk suatu kontrak murabahah.

Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah tidak ada yang secara khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya tenggang waktu yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam kasus murabahah adalah riba.

Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni. Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu transaksi perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara keduanya.

Perbedaannya adalah hanya terletak pada permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan kontrak utang piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual beli atau
penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi pembiayaan yang berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman
yang berbasis bunga kecuali jika dalam pembiayaan murabahah harga yang disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan pada waktu yang ditentukan (tepat waktu).

Penutup
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan
bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.

Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gampang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.


Dari berbagai sumber.

Mempertahankan Perpecahan Hari Lebaran

Lebaran telah usai, para pemudik pun telah kembali ke rutinitas sehari-hari. Namun, masih ada pertanyaan yang terisa dalam benak banyak orang: mengapa sering terjadi perbedaan dalam penetapan hari lebaran? Bisakah hal ini diterima? Dan kalau tidak, bagaimana menyatukannya?

Sebagaimana kita ketahui perbedaan itu bermula dari penggunaan dua cara penetapan hari lebaran - tepatnya penetapan bulan baru tahun hijriah, dalam konteks ini awal dan akhir Ramadhan atau awal Syawal - yang berbeda. Yang pertama adalah melalui cara hisab, dan yang kedua melalui cara rukyat.

Cara hisab ditempuh melalui perhitungan astronomis dan matematis di atas meja. Sedangkan cara rukyat dilakukan melalui penglihatan secara riil munculnya bulan baru, baik dengan mata telanjang ataupun dengan alat bantu seperti teleskop sederhana maupun teropong bintang yang canggih. Ilmu astronomi sendiri, di kalangan Islam, berkembang sekitar 500 tahun sesudah masa kerasulan, yaitu di awal abad pertengahan.

Untuk memahami sikap 'mati-matian' sementara pihak dalam mempertahankan metode hisab ini kita harus memahami konteksnya. Apakah yang dipertahankan itu adalah 'hisab sebagai metodologi an-sich ataukah sesungguhnya satu cara berpikir dan idelogi tertentu di baliknya. Tulisan berikut akan menguraikannya.

Rukyat adalah Pembuktian
Dalam kitab Muwatta, bab Puasa, Imam Malik meriwayatkan:

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Thawr ibn Zayd ad-Dili dari 'Abdullah ibn Abbas bahwa Rasulullah salallahu alaihi wassalam, menyatakan tentang Ramadhan dan berkata, 'Jangan mulai berpuasa atau mengakhirinya sampai engkau melihat bulan baru. Bila bulan baru tidak nampak olehmu, maka genapkan tiga puluh hari penuh.' Dalam riwayat lainnya Rasulullah mendahuluinya dengan menyebutkan bahwa tiap-tiap bulan itu terdiri atas 29 hari.
Para ulama menunjukkan ada hampir lima belas riwayat lain yang menyatakan hal yang sama: bahwa awal dan akhir Ramadhan ditetapkan melalui pembuktian atas munculnya bulan baru (hilal) yang disebut rukyat, dan baru diikuti dengan perhitungan, yakni penggenapan bulan Ramadhan menjadi 30 hari, bila hilal tidak nampak. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam, , yang dilakukan oleh para Sahabat, oleh para Tabiin dan Tabiit-Tabiin, serta oleh umat Islam sepanjang ratusan tahun lamanya. Dan itulah sunnahnya, yang harus kita ikuti.

Lantas mengapa ada yang mempertahankan cara hisab secara 'mati-matian', bahkan bila menghasilkan perbedaan hari terakhir Ramadhan sekalipun?

Benar bahwa hari lebaran tidak harus seragam, bila itu pada wilayah yang berbeda secara geografis yang memang dalam posisi yang menghasilkan bulan baru yang berbeda pula. Misalnya awal bulan di Maroko dan di Indonesia, tentu saja akan berbeda. Artinya, merupakan kekeliruan juga pendapat yang menyatakan bahwa hari lebaran - secara global - harus seragam. Tetapi, untuk wilayah yang sama, tidaklah masuk akal dan karena itu tidak bisa diterima adanya perbedaan ini.

Dengan kata lain salah satu di antaranya pasti salah, dan dalam soal penetapan akhir Ramadhan ini kesalahan itu tidak boleh ditolerir, karena menyangkut ibadah wajib - puasa Ramadhan - dengan konsekuensi dosa. Dan jalan yang harus kita pilih seharusnya adalah yang dicontohkan oleh Rasulullah salallahualaihi wassalam sendiri, para Sahabatnya, serta para Pengikutnya. Dan itu adalah melalui cara pembuktian, tindakan riil rukyatul hilal, dan bukan sekadar perhitungan di atas meja, melalui hisab. Bila hilal tak nampak, solusinya pun sederhana, jelas dan langsung, yakni 'genapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.'

Perlu dipahamkan di sini bahwa hal ini penting dilakukan bukan bertujuan semata untuk 'menyeragamkan hari lebaran' - yang bukan keharusannya - melainkan untuk mengembalikan sunnah nabi dan 'amal generasi salafus salih yang telah hilang. Lebih-lebih, dalam konteks saat ini, menegakkan kembali sunnah itu sangat penting karena pilar-pilarnya telah dirobohkan secara sistematis. Termasuk dalam hal penetapan penanggalan hijriyah yang berkiatan langsung dengan soal otoritas Islam, dus penegakan syariat Islam secara keseluruhan.

Kesesuaian dengan Sistem Riba
Konteks kita hari ini adalah sistem riba yang mengendalikan seluruh cara berpikir dan bertindak manusia saat ini. Karena itu segala sesuatu yang cocok dan bersesuaian dengan sistem riba akan dipertahankan. Lantas di mana hubungannya dengan metodologi hisab dalam penetapan bulan baru hijriyah?

Cara hisab dilandasi oleh rasionalisme Barat. Doktrinnya adalah bahwa alam semesta ini berjalan secara mekanistis, peran Tuhan dinyatakan telah selesai sesaat setelah menciptakannya, selanjutnya peran manusialah untuk mengelola dan mengolahnya. Dengan cara pandang ini, semuanya dianggap serba bisa diperhitungkan secara rasional, secara terstruktur dan sistematis. Ide menyingkirkan tindakan nyata. Perhitungan di atas meja dianggap cukup, pembuktian tidak diperlukan lagi. Berkembangnya ilmu astronomi menjadi dasar legitimasi dan jastifikasinya.

Awal perubahan cara berpikir dan bersikap ini disebutkan sebagai Pencerahan - yang oleh sebagian umat Islam dijadikan paradigma untuk 'memajukan dan memodernkan Islam'. Cara-cara lama, dianggap tidak ilmiah, tidak modern, menyebabkan ketertinggalan Islam (dari dunia Barat).

Dengan dalih 'memajukan Islam, melepaskan dari kejumudan', dengan slogan tajdid, pembaruan Islam dikumandangkan dan diprogramkan secara masif. Sebaliknya, yang tidak mengambil jalan ini, disebut sebagai kolot dan taqlid buta. Fiqh, dan karena itu maddhab, ditolak; digantikan dengan 'ijtihad' dengan mengakes langsung al Qur'an dan hadis. Rasionalisme menggantikan eksistensialisme.

Begitulah, selangkah demi selangkah berbagai sunnah dan 'amal, yang tidak lain adalah kesatuan ide dan tindakan nyata, tradisi eksistensialis yang bermuara pada Rasul , sallalahu alayhi wa sallam, dipreteli satu per satu. Para pembaru Islam mentransformasikan syariat Islam menjadi 'prinsip dan nilai-nilai Islam'. Hukum digeser menjadi moralitas. Islam, sebagai kesatuan hukum dan politik, lenyap dari muka bumi. Tujuannya, dan hasilnya sabagaimana kita lihat hari ini, adalah ditundukkannya Islam di bawah sistem riba - Kapitalisme dan Demokrasi - yang berlaku hari ini.

Jangan lupa bahwa Galileo, Bapak Astronomi modern, adalah juga peletak dasar rumus bunga majemuk, yang memungkinkan riba dijalankan secara sistematis, sebagaimana dilaksanakan oleh para bankster hari ini. Kita juga tahu bahwa patron Galileo adalah Keluarga Medici, salah satu bankir terkemuka di zamannya. Rasionalisme, cara berpikir kalkulatif dan spekulatif, sangat diperlukan bagi keberlangsungan riba.

Pengertian eksistensialis tentang nilai, sebagai sesuatu yang intrinsik sifatnya, riil melekat pada zatnya, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam, pada alat tukar berbasis komoditi - yang terbaik dan lazim adalah Dinar emas dan Dirham perak - melalui rasionalisme dipinggirkan dan diganti dengan pengertian yang abstrak, melalui angka nominal pada uang kertas, sebagaimana pembuktian riil melalui rukyatul hilal dipinggirkan dan diganti dengan perhitungan astronomis-matematis di atas meja dengan hisab. Dus uang kertas, dan sistem riba, mendapatkan pembenarannya.

Selain itu, cara rukyatul hilal adalah tindakan nyata yang ditradisikan oleh Rasul, sallalahu alayhi wa sallam, turun temurun kepada generasi berikutnya melalui fiqih, dan mensyaratkan tegaknya otoritas Islam dan ketaatan kepadanya - dus menyatukan umat Islam dalam kepemimpinan dan syariat. Rukyatul hilal, bila dijalankan sesuai rukun dan syaratnya, sebagaimana dijalankannya kembali pemakaian Dinar dan Dirham, membuka pintu kembalinya syariat dan politik Islam dalam kehidupan.

Hisab adalah yang sebaliknya: mengabaikan itu semua, dus menutup pintu kemungkinan kembalinya syariat dan politik Islam, dan membiarkan hukum dan politik riba terus berlaku. Tradisi - sunnah dan 'amal - yang bermuara langsung kepada Rasulullah, sallalahu alayhi wa sallam, pun dihentikan di situ.

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara 
http://www.wakalanusantara.com

LAILA DAN MAJNUN

Kisah Laila dan Majnun diceritakan di Timur selama ribuan tahun dan selalu membawa kekaguman besar, karena ini bukan sekedar sebuah kisah cinta, melainkan juga sebuah pelajaran cinta. Bukan cinta sebagaimanaumumnya dipahami orang, tetapi cinta yang berada di atas bumi dan langit. Seorang pemuda bernama Majnun sejak kecil telah menunjukkan cinta dalam sifatnya, mengungkapkan tragedi hidup kepada mata orang yang jeli. Ketika Majnun bersekolah, ia menyukai Laila. Percikan api itu akhirnya menjadi api, dan Majnun merasa tidak tenang bila Laila sedikit terlambat datang ke sekolah. Dengan buku di tangannya, Majnun mengarahkan matanya ke pintu masuk, dan hal ini diketahui banyak orang. Api itu kemudian menjadi api besar dan kemudian hati Laila menyala oleh cinta Majnun. Mereka saling berpandangan. Laila tak melihat seorang pun di dalam kelas kecuali Majnun, demikian pula sebaliknya, Majnun hanya melihat Laila. Apabila membaca buku mata Majnun hanya melihat nama Laila; dalam menulis ketika didikte guru, Laila hanya menuliskan semua baris dengan nama Majnun. "Semua yang lain menghilang ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta."

Semua murid yang lain di kelas saling berbisik sambil menunjuk kepada mereka berdua. Para guru khawatir dan menulis kepada orang tua mereka bahwa anak-anak mereka mabuk cinta dan saling menyukai, dan bahwa tampaknya tak ada cara untuk mengalihkan perhatian mereka dari urusan cinta yang telah menghentikan setiap kemungkinan perkembangan dalam belajar. Orang tua Laila langsung melarang gadis itu pergi ke sekolah, dan mengawasinya secara ketat. Dengan cara ini mereka menjauhkan Laila dari Majnun, tetapi siapa yang mampu menjauhkan Majnun dari hati Laila? Ia tidak memikirkan apapun selain Majnun. Tanpa Laila, Majnun tidak tenang dan menangis di dalam hatinya, semua orang di sekolah menjadi kacau, sampai orang tuanya membawanya pulang dari sekolah, karena rupanya tak ada sesuatu yang tersisa baginya di sekolah. Orang tua Majnun memanggil dokter, tabib, peramal, pesulap, dan mencurahkan uang di kaki mereka sambil memohon agar Majnun dibebaskan dari memikirkan Laila. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan? "Lukman [tabib besar pada masa silam] sekalipun, tidak memiliki obat untuk menyembuhkan sakit karena cinta."

Tak seorang pun mampu menyembuhkan pasien cinta. Teman-teman datang, para kerabat datang, pemberi semangat datang, penasihat ahli datang; semua mencoba sebaik mungkin untuk melenyapkan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sia-sia. Seseorang datang dan berkata kepadanya, "Hai Majnun, mengapa engkau sedih atas perpisahan dari Laila? Ia tidak cantik. Aku dapat menunjukkan kepadamu seribu gadis yang lebih cantik dan lebih menarik, dan engkau dapat memilih salah satu di antara mereka." Majnun menjawab "Untuk melihat kecantikan Laila, diperlukan mata Majnun."

Ketika semua upaya tak tersisa untuk dilakukan, orang tua Majnun bermaksud mencari perlindungan Ka'bah sebagai upaya terakhir. Mereka membawa Majnun berziarah ke Ka'bat-ullah. Ketika mereka sampai ke dekat Ka'bah terjadi kerumunan besar untuk melihat mereka. Orang tua itu mendekat ke Ka'bah dan berdoa, "Ya Allah, Engkau Mahapengasih dan Mahapenyayang, maka ridhailah anak kami satu-satunya, agar hati Majnun terbebas dari derita cintanya kepada Laila." Semua orang mendengarkan doa itu dengan penuh perhatian, dan ingin tahu apa yang akan dikatakan Majnun. Kemudian orang tua itu berkata kepada Majnun, "Anakku, berdoalah agar cintamu kepada Laila dilenyapkan dari hatimu." Majnun menjawab, "Apakah aku akan bertemu dengan Laila bila aku berdoa?" Dengan sangat kecewa mereka menjawab, "Berdoalah, anakku,
apapun yang engkau kehendaki." Maka Majnun mendekat ke Ka'bah dan berkata, "Aku menginginkan Laila," dan semua orang yang hadir berkata, "Amiin." "Dunia mengumandangkan keinginan pecinta."

Setelah mencari segala cara untuk menyembuhkan Majnun dari kegilaannya terhadap Laila, akhirnya mereka berpikir bahwa cara terbaik adalah mendekati kedua orang tua Laila, karena ini merupakan harapan terakhir untuk menyelamatkan hidup Majnun. Mereka mengirim pesan kepada orang tua Laila yang berlainan agama, "Kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk melepaskan Laila dari pikiran Majnun, tetapi sejauh ini tak berhasil, dan tak ada harapan untuk berhasil kecuali satu hal, yaitu menikahkan Majnun dengan Laila." Mereka membalas dengan berkata, "Meskipun hal ini akan membuat kami dibenci oleh orang-orang kami, tetapi rupanya Laila tak dapat melupakan Majnun barang sesaat, dan sejak kami mengeluarkannya dari sekolah, ia terus bersedih setiap hari. Karena itu kami tidak keberatan untuk menikahkan Laila dengan Majnun, dengan satu syarat yaitu Majnun harus bertindak waras."

Mendengar itu, orang tua Majnun sangat bergembira dan minta kepada Majnun agar bersikap  wajar agar orang tua Laila tidak menyangka bahwa ia gila. Majnun setuju untuk melakukan apapun yang dikehendaki orang tuanya asal diperbolehkan menemui Laila. Sesuai dengan adat Timur, prosesi pernikahan dilakukan di rumah pengantin wanita, dan di sana tempat duduk khusus disediakan bagi pengantin laki-laki yang ditutup dengan rangkaian bunga. Namun, seperti kata orang Timur, Allah tidak suka kepada pesaing cinta, maka takdir tidak memberi kedua orang itu kebahagiaan atas kebersamaan. Anjing yang biasanya mengikuti Laila ke sekolah, kebetulan memasuki ruang tempat pasangan itu duduk.

Ketika Majnun melihat anjing itu, emosinya meledak; ia tidak dapat duduk di kursi tinggi sambil melihat anjing. Ia berlari kepada anjing itu, mencium kakinya dan mengalungkan rangkaian bunga ke leher anjing itu. Terlihat jelas bahwa Majnun memuja anjing itu. "Debu di tempat tinggal kekasih adalah tanahKa'bah bagi pecinta." Kelakuan itu sepintas membuktikan bahwa ia gila. Karena bahasa cinta itu sampah bagi orang tanpa cinta, maka perbuatan Majnun dipandang oleh mereka yang hadir sebagai ketololan. Mereka semua sangat kecewa, orang tua Laila menolak untuk menikahkan anaknya, dan Majnun dibawa kembali pulang. Pernyataan kecewa itu membuat orang tua Majnun kehilangan harapan, dan mereka tidak lagi mengawasinya karena melihat bahwa hidup atau mati, keduanya sama saja. Hal ini memberi kebebasan kepada Majnun untuk berkelana ke kota mencari Laila, bertanya kepada setiap orang untuk menunjukkan tempat Laila. Kebetulan ia bertemu dengan pengantar surat yang membawa surat-surat di punggung unta. Ketika Majnun menyanyakan alamat Laila, orang itu menjawab, "Orang tuanya telah meninggalkan negeri ini dan sekarang tinggal seratus mil dari sini." Majnun memohon kepadanya untuk menyampaikan pesan kepada, dan dijawab, "Dengan senang hati." Namun ketika Majnun mengucapkan pesan itu, ia perlu waktu yang amat sangat lama. "Pesan cinta tidak mengenal akhir."

Pengantar surat itu separo menertawakan dan separo bersimpati kepada ketulusan cintanya. Meskipun Majnun yang berjalan bersama untanya, merupakan teman baginya dalam perjalanan panjang, tetapi karena kasihan, ia berkata, "Engkau telah berjalan sepuluh mil dengan menyampaikan pesanmu itu kepadaku; berapa jauh yang harus kutempuh untuk menyampaikannya kepada Laila? Kini pergilah, aku akan  menyampaikannya." Kemudian Majnun berjalan kembali, tetapi sebelum berjalan seratus meter, ia berputar balik dan berseru, "Hai kawanku yang baik, aku lupa mengatakan beberapa hal yang engkau dapat menyampaikannya kepada Laila." Ketika pesan itu disampaikan, ia telah menempuh sepuluh mil lagi.

Pengantar surat itu berkata, "Aku kasihan kepadamu, kembalilah, engkau telah berjalan sangat jauh. Bagaimana aku dapat mengingat semua pesan yang engkau sampaikan? Bagaimana pun, aku akan berusaha sebaik-baiknya. Kini kembalilah, engkau sudah sangat jauh dari rumahmu." Majnun berjalan balik beberapa meter, dan lagi-lagi ia kembali ingat sesuatu untuk disampaikan kepada pembawa pesan, lalu mengejarnya. Begitu seterusnya hingga ia sendiri tiba di tempat yang dituju. Pengantar surat itu kagum kepada cinta yang tulus, dan berkata, "Engkau telah tiba di tanah tempat Laila tinggal. Kini tinggallah di masjid runtuh ini. Ini masih luar kota. Bila engkau pergi bersamaku ke kota mereka akan menyiksamu sebelum engkau bertemu Laila. Sebaiknya engkau beristirahat di sini sekarang, karena engkau telah berjalan jauh, dan aku akan menyampaikan pesanmu kepada Laila ketika bertemu dengannya." "Orang yang mabuk cinta tak mengenal waktu atau ruang."

Majnun patuh, dan ingin beristirahat, tetapi gagasan bahwa ia berada di kota tempat tinggal Laila membuatnya bertanya-tanya ke arah mana ia meregangkan kakinya: utara, selatan, timur, barat, dan berpikir, "Andai Laila berada di sisi ini, aku akan tidak sopan bila meregangkan kakiku ke arah sana. Maka sebaiknya aku menggantung kaki dengan tali dari atas, karena pasti ia tidak di sana." "Ka'bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya." Ia merasa haus, dan tak dapat memperoleh air kecuali air hujan yang terkumpul di dalam bak yang tak digunakan. Ketika pengantar surat memasuki rumah Laila, ia melihat dan berkata kepada Laila, "Aku harus bersusah payah untuk dapat berbicara kepadamu. Pecintamu, Majnun, seorang pecinta yang tiada
bandingannya di dunia, mengirimkan pesan untukmu, dan ia terus berbicara di sepanjang perjalanan dan ia berjalan kaki sejauh kota ini." Laila berkata, "Demi langit, kasihan Majnun! Apa jadinya dia." Ia bertanya kepada perawat tuanya, "Bagaimana seorang yang berjalan seratus mil tanpa berhenti?" Perawat itu berkata, "Orang itu pasti mati." Laila berkata, "Apakah ada obatnya?" Dijawab, "Ia harus minum air hujan yang terkumpul selama setahun dan sudah diminum ular. Kemudian kakinya harus diikat dan digantung di udara dengan kepala di bawah dalam waktu yang lama. Ini mungkin menyelamatkan nyawanya." Laila berkata, "Oh, tetapi betapa sulit mendapatkannya!" Allah, yang Dia sendiri adalah cinta, adalah pembimbing Majnun, dan karena itu semua yang datang kepada Majnun adalah yang terbaik baginya. "Sesungguhnya cinta adalah
penyembuh dari lukanya sendiri."

Pagi harinya Laila menyisihkan makanannya, dan mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi melalui pelayan yang dipercaya, bersama dengan pesan untuk Majnun bahwa Laila rindu untuk bertemu dengannya sebesar Majnun merindukannya, yang berbeda hanya rantai yang mengikat. Segera setelah ia memperoleh kesempatan, ia akan datang seketika. Pelayan itu pergi ke masjid runtuh dan melihat dua orang duduk di sana, yang satu tak peduli dengan sekelilingnya, yang lain orang gendut dan besar. Ia berpikir, Laila tidak mungkin mencintai seorang pemimpi karena ia sendiri tak tertarik.

 Namun untuk  meyakinkan, ia bertanya, siapa yang bernama Majnun. Majnun tenggelam dalam pikirannya sendiri dan jauh dari perkataan itu, tetapi lelaki yang lain, yang kelelahan bekerja, sangat senang melihat keranjang makanan di tangan pelayan itu, dan berkata, "Siapa yang kau cari?" Dijawab, "Aku disuruh memberikan makanan ini kepada Majnun. Apakah anda Majnun?" Ia menjulurkan tangannya untuk menerima keranjang itu dan berkata, "Akulah yang engkau cari," dan bercanda dengan pelayan itu, dan pelayan itu senang. Ketika pelayan itu kembali, Laila bertanya, "Apakah engkau berikan makanan itu kepadanya?" Dijawab, "Ya, aku  memberikannya."

Kemudian setiap hari Laila mengirim porsi yang lebih besar dari makanannya kepada Majnun, yang diterima dengan sukacita oleh lelaki gendut itu ketika istirahat dari kerja. Suatu hari Laila bertanya kepada pelayannya, "Engkau tak pernah bercerita apa yang dikatakannya dan bagaimana ia makan." Dijawab, "Ia berkata bahwa ia sangat berterima kasih dan sangat menghargai pemberian itu. Bicaranya sangat menyenangkan. Anda tak perlu khawatir, ia menjadi semakin gendut setiap hari." Laila berkata, "Tetapi Majnun-ku tak pernah gendut, ia tak bisa gemuk, dan ia berpikir terlalu dalam untuk bisa berkata yang manis kepada orang lain.

Ia terlalu sedih untuk berkata." Seketika Laila curiga bahwa makanannya telah diberikan kepada orang lain. ia berkata, "Adakah orang lain di sana?" Pelayan menjawab, "Ya, ada satu orang lain yang duduk di sana, tetapi ia tampaknya berada di dalam dirinya sendiri. Ia tak pernah memperhatikan siapa yang datang dan pergi, dan ia tidak mendengarkan orang lain. Tidak mungkin ia adalah orang yang anda cintai." Laila berkata, "Kupikir dialah orangnya. Sayang, selama ini engkau memberikan makanan itu kepada orang lain! Baiklah, untuk meyakinkan, hari ini aku akan meletakkan pisau di atas piring, bukan makanan, dan katakan kepada orang yang kau beri makanan, 'Laila memerlukan beberapa tetes darahmu untuk menyembuhkan penyakitnya.'"

Seperti biasa, ketika pelayan itu datang, lelaki gendut itu menyambut dengan gembira untuk mengambil makanannya, tetapi ia terkejut ketika melihat pisau, bukan makanan. Pelayan berkata bahwa beberapa tetes darah Majnun diperlukan untuk menyembuhkan penyakit Laila. Lelaki itu berkata, "Bukan, aku bukan Majnun. Dialah Majnun. Mintalah kepadanya." Dengan lugu pelayan itu datang kepadanya dan berkata keras, "Laila membutuhkan beberapa tetes darahmu untuk mengobatinya." Majnun segera mengambil pisau itu dan berkata, "Betapa beruntungnya aku bahwa darahku bermanfaat bagi Laila. Ini tak berarti apa-apa, bahkan hidupku pun akan kukorbankan untuk menyembuhkannya, aku akan merasa beruntung dalam memberikannya." "Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar." Ia menusuk tangannya di beberapa tempat, tetapi, kelaparan berbulan-bulan telah menghabiskan darahnya, yang tersisa hanya kulit dan tulang. Ketika banyak tempat sudah ditusuk, dengan susah payah setetes darah dapat keluar. Ia berkata, "Itulah yang tersisa. Ambillah." "Cinta berarti penderitaan, tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan." Kedatangan Majnun lama-lama diketahui banyak orang, dan ketika orang tua Laila tahu, mereka berpikir, "Tentu Laila akan kehilangan pikiran bila ia mencari Majnun." Maka mereka memutuskan untuk pindah ke luar kota untuk beberapa lama, mengira bahwa Majnun akan pulang ketika tidak menjumpai Laila tak ada di tempatnya. Sebelum berangkat, Laila mengirim pesan kepada Majnun, "Kami ke luar kota untuk sementara waktu, dan aku sangat sedih tak dapat menjumpaimu.

Satu-satunya kesempatan bertemu adalah bila kita bertemu di tengah perjalanan, bila engkau berangkat terlebih dulu dan menungguku di [gurun] Sahara." Majnun dengan senang hati berangkat ke Sahara, dengan harapan besar untuk bertemu dengan Laila sekali lagi. Ketika rombongan tiba di gurun dan berhenti sejenak di sana, pikiran orang tua Laila sedikit lega, dan mereka melihat bahwa Laila juga lebih bahagia atas perubahan itu, sebagaimana mereka kira, tanpa mengetahui alasan sebenarnya.

Laila pergi berjalan-jalan di Sahara dengan wanita pelayannya, dan tiba-tiba datanglah Majnun, yang matanya telah lama mengawasi kedatangannya. Laila datang dan berkata, "Majnun, aku di sini." Tiada daya di dalam lidah Majnun untuk mengungkapkan kegembiraannya. Ia memegang tangan Laila dan merapatkannya ke dadanya, sambil berkata, "Laila, engkau tak akan meninggalkan aku lagi?" Dijawab, "Majnun, aku hanya dapat datang sebentar. Jika aku di sini lebih lama, orang-orangku akan mencariku dan hidupmu tidak aman." Majnun berkata, "Aku tak peduli dengan hidupku. Engkaulah hidupku, tinggallah, jangan tinggalkan aku lagi." Laila berkata, "Majnun, percayalah, aku pasti akan kembali." Majnun melepaskan tangan Laila dan berkata,
"Tentu, aku percaya padamu." Maka Laila meninggalkan Majnun dengan berat hati, dan Majnun yang telah begitu lama hidup di atas daging dan darahnya sendiri, tak dapat lagi berdiri tegak; ia jatuh ke belakang menimpa sebatang pohon yang kemudian menopangnya, dan ia tetap di sana, hidup hanya di atas harapan.

Tahun-tahun berlalu tubuh Majnun yang telah setengah mati terkena pengaruh panas, dingin, hujan, salju dan badai. Tangan yang memegangi cabang pohon menjadi cabang itu sendiri, tubuhnya menjadi bagian dari  pohon. Laila tak merasa senang dalam perjalanan, dan orang tuanya kehilangan harapan akan hidupnya. Laila hanya hidup atas satu harapan, agar ia dapat memenuhi janjinya kepada Majnun ketika berpisah dan berkata, "Aku akan kembali." Ia bertanyatanya apakah Majnun hidup atau mati, at untuk pergi, atau apakah telah dibawa pergi hewan Sahara.

Ketika mereka kembali, mereka berhenti di tempat yang sama. Hati Laila penuh dengan kegembiraan dan kesedihan, harapan dan kekhawatiran. Ketika ia mencari tempat yang dulu, ia bertemu seorang penebang kayu yang berkata kepadanya, "Hai, jangan pergi ke sana. Ada hantu di sana." Laila berkata, "Seperti apa?" Dijawab, "Sebuah pohon, tetapi juga seorang manusia, dan ketika aku menebang sebuah cabang pohon itu dengan kapakku, aku mendengar ia berkata dengan rintihan yang dalam, 'O Laila.'"

Mendengar ini membuat Laila terharu tak terperikan. Ia berkata bahwa ia akan ke sana, dan ketika telah dekat ia melihat Majnun telah hampir berubah menjadi pohon. Daging dan darahnya telah sirna, hanya kulit dan tulang yang tersisa. Cara kontaknya dengan pohon membuat ia mirip dengan cabang pohon. Laila memanggilnya keras-keras, "Majnun!" Dijawab, "Laila!" Ia berkata, "Aku datang seperti yang kujanjikan, hai Majnun." Majnun menjawab, "Aku Laila." Laila berkata, "Majnun, pakailah akalmu. Aku-lah Laila. Lihatlah aku." Majnun berkata, "Apakah engkau Laila? Kalau begitu, aku bukan," dan ia meninggal. Melihat  kesempurnaan cinta ini, Laila tak dapat hidup lagi barang sesaat. Ia meneriakkan nama Majnun kemudian jatuh dan mati. "Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua
yang hidup, dan pecinta adalah benda mati."

Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan evolusinya. Di Timur ada pepatah, "Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya." Keledai lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.

CINTA MANUSIA DAN CINTA ILAHI
Oleh Hazrat Inayat Khan
Naskah asli: http://www.mursyid.org/Khan/V/Vp4.htm
diterjemahkan oleh R. Sunarman [rasyid@indo.net.id]