Sunday, January 22, 2012

Rumah Tangga Dalam Islam

Para insan sejati, selanjutnya saya akan ajak Anda untuk masuk pada stage yang lebih tinggi lagi, yakni apa yang saya sebut dengan istilah family excellence. Bagaimana membentuk keluarga yang unggul?kalau sebelumnya kita berbicara tentang bagaimana membentuk pribadi yang unggul, maka sekarang saya akan mengajak Anda untuk mengetahui bagaimana membentuk keluarga atau rumah tangga yang unggul. 

Dalam satu kesempatan saya berdialog dengan seorang sahabat yang berprofesi sebagai konsultan perkawinan yang sudah berjam terbang lebih dari 18 tahun di bidangnya. Kemudian saya mendapatkan suatu informasi yang sangat menarik dan saya akan bagi pengalaman ini kepada Anda semua. Dia mengatakan bahwa 80% penyebab terjadinya suatu konflik dalam suatu rumah tangga bahkan berakibat perceraian disebabkan karena tidak adanya komunikasi dan visi dalam rumah tangga. 

Ada satu kalimat yang menarik di sini, visi. Visi rumah tangga. Haruskah sebuah rumah tangga mempunyai sebuah visi? Mungkin selama ini kita mengenal istilah visi hanya dalam dunia bisnis, dalam dunia perusahaan. Ternyata di dalam rumah tangga sekalipun kita membutuhkan sebuah visi. Penyebab gagalnya rumah tangga itu karena mereka tidak punya visi dalam membangun sebuah rumah tangga yang baik. 

Ketika Anda masih single, Anda belum berkeinginan untuk menjadi seorang suami atau istri. Maka hal terpenting pertama kali yang harus Anda pikirkan dan lakukan, adalah bukan mempertanyakan siapakah orang yang pantas menjadi calon istri saya?Siapakah yang cocok menjadi calon suami saya?Saya pikir itu bukan suatu prioritas yang utama. Tapi yang paling utama yang harus Anda pikirkan pertama kali adalah model dan gaya rumah tangga macam apa yang Anda ingin bentuk di dalam kehidupan Anda. Saya katakan sekali lagi, yang terpenting bukan siapa yang akan menjadi calon Anda, siapa yang menjadi suami dan calon istri Anda. Tapi yang harus Anda pikirkan pertama kali adalah model dan gaya rumah tangga macam apa yang Anda akan bentuk. 

Saya mencoba analogi yang sangat sederhana. Ketika Anda mengemudikan sebuah kapal, Anda naik kapal. Tentu saja kapal ini akan berlabuh ke sebuah pulau. Dalam mengemudikan kapal ini Anda perlu seorang partner. Anda pasti sepakat bahwa Anda dan partner Anda harus mempunyai tujuan pulau yang sama. Betul?Ya dan kapal ini harus diarahkan menuju pulau yang sama. Dan, itu menjadi keinginan diri Anda dan partner Anda. Tapi, bagaimana kalau pulau tujuan Anda dan pulau tujuan partner Anda mengatakan pulau yang lain, padahal kapal cuma ada satu. Cuma ada dua pilihan. Masing-masing pihak ingin mempertahankan keinginannya, maka yang terjadi adalah kapal itu pecah menjadi dua. Pilihan kedua adalah salah satu pihak mengalah untuk mengikuti satu pulau yang diinginkan bersama. 

Apa yang saya ceritakan tadi menggambarkan satu profil rumah tangga. Anggaplah kapal ini adalah sebuah rumah tangga, yang mengemudikan adalah Anda sebagai seorang suami, partner Anda adalah istri Anda. Ketika Anda sedang mengemudikan bahtera rumah tangga ini, maka Anda dan istri harus menentukan pertama kali pulau mana yang akan menjadi tempat berlabuh. Pulau ini adalah suatu model rumah tangga yang Anda inginkan seperti apa. Itulah sebabnya, didalam islam, pada suatu hadist yang sangat kita kenal, Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya setiap amal seseorang tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan dimintai pertanggunjawaban berdasarkan niat yang dia pasang di dalam hatinya.” 

Ketika Anda mendengarkan dan membaca hadist ini, saya bayangkan ada dua makna yang tersembunyi di dalamnya. Kesatu, prinsip pertama yang diungkapkan dalam hadist ini adalah bahwa ketika Anda melakukan suatu pekerjaan, maka Anda harus mengawali pekerjaan ini dengan niat. Pekerjaan yang baik harus dimulai dengan niat yang baik. Kemudian kedua, yang menarik disini adalah walau niat itu dibaca di awal perbuatan, tapi sebenarnya isi dari niat itu sendiri menggambarkan sebuah tujuan. Dan tujuan biasanya ada di bagian akhir dari suatu pekerjaan. Itu satu hal yang kelihatannya mungkin kontradiktif, bertentangan satu sama lain. Di satu sisi kita disuruh untuk berniat diawal perbuatan, di sisi yang lain isi dari niat itu merupakan tujuan yang ada di akhir. Bagaimana kita memadukan prinsip ini? 

Marilah kita sinergikan dua prinsip ini melalui prinsip baru sebut saja dengan istilah starting with end. Marilah kita mulai dengan akhir. Satu hal yang aneh mungkin buat anda. Memulai dari yang akhir, biasanya memulai dari permulaan, starting from the beginning, mengapa the end? Kenapa kita memulai dari yang akhir? 

Melalui kesempatan ini saya mengajak anda untuk menerapkan sebuah paradigm baru. Marilah kita memulai dengan akhir kita. akhir itu adalah harapan, tujuan, dan harapan yang menjadi keinginan kita semua yang saya sebut dengan istilah dream island ’pulau impian’ tadi. Dalam sebuah rumah tangga, sadari awal seorang calon suami dan seorang calon istri sudah merumuskan model dan gaya rumah tangga macam apa yang akan dibangun kelak. Setelah terbentuk model rumah tangganya, barulah dia akan memilih siapa calon yang tepat untuk menjadi partner rumah tangganya. 

Ada dua kisah yang merupakan suatu potret rumah tangga yang berkembang dalam masyarakat. Cerita ini saya dapatkan dari salah seorang keluarga saya yang kebetulan menangani kasus ini. Yang pertama adalah sebuah keluarga yang suaminya bekerja di offshore, dan anda tahu bekerja di offshoreitu sistemnya berbeda yaitu seperti ‘pola 2-1’. Artinya dua minggu di laut, semeinggu di rumah. Dua minggu meninggalkan istri, seminggu di rumah. Sementara istrinya di rumah mempunyai sifat dan karakter romantis. Anda bisa bayangkan ketika sang suami pergi untuk bekerja meninggalkan istri selam dua minggu, apa yang terjadi? Istri tidak setuju bahkan menahan suami untuk tidak berangkat bekerja karena ia masih ingin melepas rasa rindu dan kangennya terhadap sang suami. Tapi ini suatu tuntutan pekerjaan yang harus ia lakukan. Suami merasa dilematis. Seandainya tetap berangkat, istri mungkin kecewa, tetapi kalau tidak berangkat, pekerjaan akan terbengkalai. 

Anda tahu bagaimana kesudahan rumah tangga ini? Berakhir pada satu kata, perceraian. Perceraian. Padahal, suami itu seorang yang kaya raya, penghasilannya cukup besar. Istrinya cantik. Ternyata itu semua tidak bisa menghentikan proses perceraian di antara mereka. Itu contoh kasus pertama. 

Contoh kasus yang kedua. Dalam sebuah keluarga, sang suami berprofesi sebagai seorang penulis. Anda tahu bukan, kalau seorang penulis tidak harus bekerja di kantor. Asal tersedia fasilitas memadai seperti komputer, printer, faksimili, maka dia sudah bisa menghasilkan uang. Gagasan-gagasannya dituangkan, lalu diketik, kemudian dicetak, selesai. Lalu dikirim lewat faksimili ke media-media yang dia inginkan. Ketika dimuat artikelnya, dia akan mendapatkan uang. Itulah pola kerja seorang penulis. 

Tapi apa yang terjadi dengan istrinya? Setiap pagi dia selalui berbicara negatif terhadap suaminya. Apa kata istrinya? 

Sang istri berkata,”mas kerja dong mas, ko dirumah terus sih?” 

Tentu saja sang suami menjawab,”lho, saya menulis ini bekerja, saya menulis artikel, saya kirim lewat faksimili, dimuat di dalah satu media, saya dapat uang, nah itu saya kerja.” 

Namun sang istri tidak menerima definisi kerja suaminya,”mas, yang namanya bekerja itu berangkat jam 8 pulang jam 5 pakai dasi.” 

Itu persepsi seorang istri terhadap suaminya bahwa yang namanya bekerja itu adalah berangkat jam 8 pulang jam 5, pakai dasi. Sedangkan dia melihat suaminya itu bekerja dirumah saja, tidak pakai seragam, tidak ada gaji tetap. 

Dan anda tahu bagaimana kesudahan rumah tangga ini? Berakhir dengan kata yang sama, perceraian. Mungkin kalau anda menjadi konsultan perjodohan atau saya menjadi konsultan perjodohan anda, pasti kita akan mengatakan bahwa tipe suami pertama (pelaut) akan cocok dengan tipe istri kedua (istri penulis), sedangkan tipe suami kedua (penulis) akan cocok dengan tipe istri pertama (istri pelaut). Apabila sang suami atau calon istri memilih tipe istri yang sesuai dengan karakter pekerjaannya, mungkin selesai semua persoalan. Tapi hal itu, tidak dipikirkan mereka pertama kali. Karena mereka berfikir pertama kali siapa calon saya, bukan menentukan model rumah tangga atau gaya rumah tangga apa yang akan dibina dalam kehidupan mereka. 

Ada satu hal yang sangat menarik di dalam kehidupan sehari-hari kita. dari sebuah survey yang terbatas. Kita melihat bahwa ternyata di masyarakat kita, ada lima macam model rumah tangga. Ada lima macam gaya rumah tangga dan saya akan perkenalkan pada anda satu persatu. Anda boleh menentukan kira-kira rumah tangga anda yang sekarang ini seperti apa. Anda bisa jawab secara jujur dan terus terang, saya tidak tahu apakah jawaban anda ini benar atau salah, tapi anda bisa melihat dari cerita ini dan anda bisa menentukan anda termasuk model rumah tangga gaya apa. 

Yang pertama, model rumah tangga gaya hotel. Anda tahu hotel? Hotel adalah tempat transit, dia bukan tempat tinggal untuk menetap dalam jangka waktu yang lama. Kalau anda melihat ada sebuah rumah tangga di mana sang suami pulang ke rumah hanya untuk menumpang tidur, makan, (maaf) buang air, maka sebenarnya model rumah tangga itu sudah bisa disebut sebagai katagorinya model rumah tangga gaya hotel. Yang sering disebut 3 UR : dapur, kasur, sumur. Atau 3K : kamar tidur, kamar mandi, dan kamar makan. Kalaulah rumah tangga anda seperti itu, anda harus bersiap-siap untuk menghadapi sebuah kata perceraian. Saya tidak sedang menakut-nakuti anda, tapi anda perlu mengambil pelajaran dari dua kisah yang saya sampaikan tadi. Saya yakin anda tidak akan memilih model rumah tangga yang pertama. Itu model rumah tangga gaya hotel. 

Yang kedua, model rumah tangga gaya hospital ‘rumah sakit’. Anda tahu ada apa dalam rumah sakit? Didalam sebuah rumah sakit itu ada yang namanya pasien dan ada yang namanya dokter. Si pasien berkata kepada dokter, “Dok, saya sudah berobat kemana-mana dan tidak sembuh juga. Ketika saya bertemu dengan anda, saya bisa sembuh.” Wah dokter itu dengan arogan dan sombongnya mengatakan, “Beruntung anda bisa berobat dengan saya. Kalau tidak ada saya, kamu tidak akan bisa sembuh.” Itu kata sang dokter. Kemudian sebaliknya san pasien mengatakan, “kalau saya tidak berobat dengan anda, anda tidak akan dapat duit.” 

Apa maksudnya? Model rumah tangga gaya hospital adalah gaya rumah tangga yang di dasarkan pada politik balas jasa. Si dokter merasa berjasa pada si pasien, pasien pun merasa berjasa kepada dokter. Masing-masing merasa berjasa, merasa lebih, sehingga tidak akan ketemu, tidak aka nada sinergi. Suami merasa lebih berjasa pada istrinya, istrinyapun merasa lebih berjasa kepada suaminya. 

Alangkah ironisnya bila terjadi suatu keributan kecil dalam suatu rumah tangga, kemudian tiba-tiba saja sang istri emosional mengatakan kepada suaminya, “hei mas, sadar ya mas, lantaran kamu menikah dengan saya kamu jadi punya rumah, tahu ngga rumah yang kita tinggali rumah siapa? Rumah orang tua saya. “itu kata sang istri “tahu ngga mobil yang mas pakai ke kantor setiap pagi itu mobil siapa?mobil orang tua saya. Gara-gara menikah, mas bisa punya rumah, bisa punya mobil.” 

Suami dibegitukan tentusaja dia emosi, kemudian mengatakan kepada istrinya, “Hei, kamu itu kalau saya tidak nikahi, masih belum laku, masih dipinggir jalan. Beruntug kamu saya nikahi. Bersyukur kamu punya suami seperti saya.” 

Kita sering menemukan model-model rumah tangga yang seperti ini, dimana suami merasa lebih berjasa, istri merasa lebih berjasa. Mudah-mudahan ini tidak terjadi di Indonesia, tapi setahu saya pernikahan-pernikahan para selebritis di Hollywood sudah diawali dengan proses pembagian hak waris. Sejak awal sudah teken kontrak kalau saya menikah dan nanti bercerai, saya dapat harta apa dan kamu dapat harta apa. Jadi sudah ada pembagian, sudah ada bagi hasil sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Mereka sudah membentuk suatu kesepakatan komitmen, istilah orang kita sudah ditentukan harta gonogininya. Jadi sebenarnya mereka tidak ingin mempertahankan pernikahannya. Sejak awal mereka pesimis akan pernikahannya sehingga mengantisipasi kemungkinan terjadi perceraian. 

Yang ketiga, model rumah tangga gaya pasar. Di pasar ada pembeli dan ada penjual. Si pembeli ini ingin membeli harga semurah mungkin, sebaliknya si penjual ingin menjual barang semahal mungkin. Si pembeli berkata, “Pokoknya harganya sekian.” Susah. Tidak ada koma, masing-masing menggunakan titik. 

Begitu pula dalam rumah tangga, kalau suami mengatakan pokoknya dan istri mengatakan pokoknya, dua-duanya tidak menggunakan koma, masing-masing pakai titik. Maka tidak ada lagi kesepakatan. Apa yang terjadi ketika seorang istri mengatakan kepada suami, “Pokoknya saya sebagai seorang istri tidak mau menjadi ibu rumah tangga, titik. “suami berkata “pokoknya sejak kamu menjadi istri saya, tugas kamu adalah mencuci, mengepel, membersihkan, menyiapkan makanan, mengurus anak-anak, itulah tugas kamu, ibu rumah tangga, titik. “kemudian istrinya mengatakan, “Pokoknya sejak saya menikah dengan kamu, saya ngga mau hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga, saya nggak mau hanya sekedar menjadi seorang istri, saya ingin bekerja mas, saya ingin independen, saya tidak mau tergantung pada suami. Saya ini jelek-jelek sarjana lho mas, “dua-duanya pakai titik. Harus ada bargaining power, harus ada satu tawar menawar yang semestinya dalam sebuah rumah tangga. Harus ada kompromi. 

Yang keempat, model rumah tangga gaya grave, kuburan. Anda tahu bagaimana suasana dikuburan, suasana yang khas dari kuburan itu adalah sunyi, senyap, tenang, dan tidak ada suara. Itulah rumah tangga gaya kuburan. Suami istri hidup sudah puluhan tahun tidak pernah berkomunikasi, tidak pernah ada kata-kata. Suami dan istri saling tidak bertegur sapa. No communication, No words, tidak ada komunikasi, tidak ada kata-kata. Sehingga wajarlah kalau anak-anak itu mengalami kesulitan berbicara. Ini pernah terjadi di Palembang ada sebuah keluarga yang tidak pernah mengadakan komunikasi anrara suami dengan istri, akhirnya itu mengalami kesulitan berbicara , gagap dalam berbicara, padahal dia terlahir normal. Bagaimana dia bisa berbicara sementara tidak mendapatkan kosakata sedikitpun dari orang tua karena orangtuannya bisu. Tidak pernah bicara, tidak pernah berkomunikasi. 

Pada kesempatan yang baik ini saya mengajak anda untuk memilih model yang kelima ditambah dengan model yang keenam. Dan kita semua komitmen (baik anda seorang suami maupun seorang istri untuk mewujudkan model rumah tangga yang kelima dan keenam). 

Yang kelima, model rumah tangga gaya sekolah, school. Kenapa saya katakana gaya sekolah? Model rumah tangga gaya sekolah itu adalah ditandai dengan 3A. A yang pertama adalah Asah, A yang keduaAsih, A yang ketiga adalah Asuh. Kalau anda sependapat dengan model rumah tangga gaya ini, maka mulai detik ini dan mulai saat ini anda berkomitmen bersama pasangan hidup anda. Saya bersama istri saya, saya bersama suami saya, bertekad, berkomitmen untuk saling mengasah, mengasih, dan mengasuh. Saya mengatakan saling ini karena ada komunikasi dua arah, bukan satu arah, bukan suami terhadap istri saja atau istri terhadap suami.harus ada dua arah. Kalau di Jakarta ini kita lihat macam-macam ada yang namanya DKI (Di bawah ketiak istri) atau ISTI (Ikatan suami takut istri). 

Dalam suatu rumah tangga yang sudah komitmen, maka mereka mengawali komitmen itu bersama. Bukan hanya satu pihak, tapi dua pihak itu sekaligus, marilah kita berkomitmen, saya akan membentuk rumah tangga gaya sekolah. Dan, anda siap dengan 3A tadi. Saling mengasah. Apa itu saling mengasah? Saling menajamkan wawasan. Saya yakin tidak semua suami memiliki wawasan yang sangat luas, begitupula istri. Dengan adanya pertemuan suami istri, terjadilah pertukaran wawasan.sharing knowledge, sharing experience, berbagi wawasan dan pengalaman. Semakin bertambah tahun pernikahan, semakin bertambah wawasan kita. Tidak harus anda kuliah S2,S3. Pernikahan yang anda lakukan ibarat, sekolah yang akan meningkatkan kemampuan anda. Dan A yang kedua adalah Asih, saling mengasihi. Dan A yang ketiga adalah saling mengasuh, saling memberikan asuhan saling memberikan asih, saling kasih saying. Tidak boleh kita saling menunggu. Siapa yang berani memulai, berbuat langsung. Tidak menunggu bola, tapi harus menjemput bola. 

Yang keenam, model rumah tangga gaya masjid. Kenapa saya katakana masjid? Masjid adalah sebuah gambaran model rumah tangga asrama (as sakinah mawaddah wa rahmah) yang menjadi dambaan dan harapan setiap keluarga. Bukan hanya anda, tapi juga saya. Bagaimana model rumah tangga gaya mesjid. Ada empat ciri. 

1.     Ketulusan, Sincerity, dibangun dalam ketulusan
Shalat dibangun dengan wudhu. Kita berwudhu bersama. Kita basuh muka dan telapak tangan kita, kita basuh kaki kita, kita basuh kepala kita, telinga kita, kita kumur-kumur. Tujuannya adalah kebersihan hati, ketulusan jiwa. Rumah tangga mesjid adalah ketulusan jiwa. 
2.     Ada imam dan ada makmum
Alangkah indahnya sebuah rumah tangga, jika imam adalah suaminya, makmum adalah istri dan anak-anaknya. Imam bergerak ruku istripun ruku, ada kebersamaan. 
3.     Loyalitas
Keluarga sakinah adalah loyalitas. Kesetiaan mutlak dari istri terhadap suami. Kecuali jika telah melakukan penyimpangan. 
4.     Shalat diakhiri dengan salam
Assalamu’alaikum ke kanan dan ke kiri. Keselamatan, ketenangan, dan kedamaian senantiasa mewarnai suasana dalam rumah tangga gaya masjid. Bukan keresahan, bukan konflik, bukan baku hantam.

Kesimpulan dalam pembahasan kali ini adalah bahwa untuk menjadi keluarga yang unggul, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, tentukan akhir yang anda inginkan dalam kehidupan rumah tangga ini. Tentukan model rumah tangga yang tepat, gaya rumah tangga sekolah dan masjid. Kedua, tanamkan dalam pikiran anda dan pasangan anda komitmen untuk memulai, tidak ada kata terlambat untuk memulai saat ini, detik ini kita bisa memulai. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah, “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari terdahulu, maka dia termasuk orang-orang sukses”. saya yakin anda ingin sukses, saya pun ingin sukses, untuk bisa menjadi orang sukses, marilah kita jadikan hari ini lebih baik dibandingkan kemarin, dan hari esok kita lebih baik dari hari ini.

Artikel ini diambil dari seorang trainer ‘Reza M Syarif‘

Thursday, January 12, 2012

Menjual Fatwa (Fatwa Shopping)

Menjual Fatwa atau Fatwa shopping adalah tindakan mengambil atau tepatnya memilihfatwa yang sesuai dengan kebutuhan industri dari berbagai dalil yang tersedia.
Isu fatwa shopping ini mengemuka ditengah kekecewaan banyak pakar ekonomi Islam melihat perkembangan dan kecenderungan aplikasi ekonomi Islam khususnya di sektor industri keuangan syariah. Produk-produk yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga keuangan syariah komersil ternyata mayoritas memiliki nature seperti produk konvensional. Sehingga pada implikasinya terlihat industri keuangan syariah berprilaku jauh dari cita-cita, semangat atau substansi ekonomi Islam.
Secara sederhana ekonomi Islam berkarakter ekonomi produktif, dan aplikasi keuangan syariah sepatutnya erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi produktif (riil) tersebut. Namun dengan alasan sofistikasi dan rekayasa produk mengikut selera masyarakat pengguna (nasabah), maka keluarlah produk-produk yang esensinya mimicry dengan konvensional, tidak memiliki karakter orisinil keuangan syariah. terhadap kecenderungan ini, telah diidentifikasi salah satu penyebabnya adalah lemahnya mekanisme filter syariah dalam keluarnya produk-produk baru keuangan syariah.
Kelemahan pada proses mekanisme filter tersebut terefleksi pada kecenderungan praktek fatwa shopping yang ditengarai saat ini banyak dilakukan oleh otoritas fatwa. Karena berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal, otoritas fatwa memberikan keputusan fatwa atas produk keuangan syariah terkesan sekedar melayani keinginan praktisi industri. Padahal diharapkan otoritas fatwa berperan sebagai Guard of the System atau Guard of the Sharia. Salah satu tanda proses pengeluaran fatwa produk keuangan syariah dilakukan dengan cara fatwa shopping adalah fatwa berdasar pada pendapat yang sangat minoritas sekali.
Terlepas dari kelemahan pada faktor internal atau eksternal otoritas fatwa, fatwa shopping dimungkinkan terjadi karena beberapa hal seperti: (i) keberagaman pemikiran syariah yang begitu bervariasi sehingga dalil-dalil yang ada menyediakan semua pilihan hukum atas transaksi tertentu; (ii) sharia governance system belum begitu disiplin seperti belum ada pemisahan yang jelas antara otoritas fatwa dengan praktisi industry tidak ada standard tertentu atas kualitas anggota otoritas fatwa; (iii) belum tersedia prosedur yang standard dengan parameter yang jelas dan terukur menggunakan berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan fatwa; (iv) dominannya hegemoni pasar (preferensi praktisi industri dan nasabah) atas perkembangan industri; (v) lemahnya institusi kontrol atau penyeimbang yang berperan memberikan evaluasi dan otokritik terhadap apa yang saat ini sedang berkembang dan dikembangkan.
Tindakan fatwa shopping ternyata bukan hanya menjadi kekhawatiran di tanah air tetapi juga telah menjadi isu dalam dunia internasional. Awareness terhadap fatwa shopping sebenarnya telah lama mengemuka seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah yang sangat pesat tanpa mampu diimbangi oleh penyediaan SDM syariah yang memadai.
Dr. Sayd Farook, Head of Global Islamic Capital Market dari Thomson Reuters – UK, mengangkat isu ini dalam training tentang sharia governance. Dr. Farook mengungkapkan kegelisahannya melihat kelemahan yang ada di sharia governance saat ini. Fakta-fakta yang diungkapkan Dr. Farook begitu menarik, seperti Top 50 Scholars dunia mengokupasi sekitar 834 lembaga keuangan syariah internasional sebagai otoritas fatwanya, beberapa scholars menjadi sharia adviser (juga memiliki tugas mengeluarkan fatwa) di lebih 30 institusi, bahkan ada yang sampai lebih dari 80 institusi! Sampai-sampai di negera asalnya satu scholar dapat dikatakan menguasai sekitar 40% sampai 80% fatwa powers dari industri nasionalnya.
Sangat tidak sehat. Isu conflict of interest, profesionalisme, risiko konsentrasi pada satu pemikiran dan obyektifitas fatwa tentu wajar mengemuka dalam kondisi seperti itu. Bagaimana dengan Indonesia? PR yang paling utama saat ini dalam pembenahan sharia governance industri keuangan syariah Indonesia adalah pemisahan yang jelas antara pengawas syariah di lembaga keuangan syariah dengan otoritas fatwa. Cepat atau lambat hal ini menjadi syarat utama dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang sehat. Wallahu a’lam.
oleh Choir