Thursday, May 10, 2012

MENYOROT PARADIGMA FATWA MUI


OLEH: PROF. DR. JUHAYA S. PRAJA
Pengantar
Pada dasarnya fatwa mengenai masalah hukum yang sama dapat melahirkan keputusan fatwa hukum yang  berbeda. Keragaman putusan mengenai fatwa selalu bergantung kepada siapa yang meminta fatwa yang terikat pula perbedaan ruang dan waktu serta nilai manfaat fatwa itu sendiri bagi peminta fatwa dan atau masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Proses fatwa ini dapat kita lacak hingga pada masa Rasulullah saw. Sebagai ilusatrasi dapat direkam beberapa peristiwa yang terekam dalam sejumlah  hadis sbb.: Suatu hari seseorang beda fatwa kepada Rasulullah dengan mengungkapkan kalimat: Ayyu ‘amalin afdhal ya Rasulullah? (dalam sebagian lain bunyui matan hadisnya: ayyu ‘amalin athyabu ya Rasulullalah) Rasulullah menjawab: Asholatu ‘ala waqtiha. Pada saat yang berbeda datang pula seseorang mengungkapkan pertanyaan yang sama. Akana tetapi, Rasulullah menjawab: Birrulwalidayn. Ada lagi yang lain datang dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah yang dijawab: ‘Amalalurajul biyadihi wa bay’un mabrurun. Prosedur fatwa untuk mendapatkan jawaban hukum pada masa Rasulullah pun ada yang kemudian dijadikan dasar hukum acara. Hal serupa ini terekam dalam al-Jami’ al-Sahahih lil-Bukhary; yaitu ketika seorang wanita bernama Hindun mengadukan suaminya bernama Abu Sofyan yang dikenal orang kaya tetapi sangat bakhil untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Nabi pun memberikan fatwanya tanpa menghadirkan suaminya yang boleh jadi disebut pihak tergugat. Rasulullah mengatakan: khudzi laki waliwalidiki ma yakfiki! Jawaban Raulullah atas kasus Hindun ini kemudian diberi judul dalam Kirab Shahih Bukhari: al-Qadla ‘ala al-Ghaib yang artinya sama dengan Putusan Verstek dalam hukum acara perdata.
            Perubahan atau perbedaan putusan fatwa atas kasus yang sama terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya. Maka terumuskanlah teori perubahan fatwa sebagaimanya terekam dalam Kitab I’lam al-AMuwaqqi’in karya Ibn al-Qoyyim al-Jawziyyah yang berbunyi : taghayyur al-fatwa bitaghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-niyyat wa al-‘awa’id
            Secara institusional pun lahirlah lembaga fatwa dan mufti dalam sejarah ketatanegarran Islam. Institusi ini muncul ketika kepala Negara da pemerintahan pada masa institusi Khilafah tidak lagi dipegang oleh personal yang mumpuni sebagaiamana pada masa al-Khulafa al-Rasyidun. Maka, Mufti menempati posisi dan spectrum yang amat luas dan penting, -seperti putusan akhir Hakim Agung-, dalam membina hukum Islam dan menjadi putusan akhir dari segala kontroversi hukum sebagaimana dinyatakan dalam fiqh legal maxim: istbat al-Hakim yarfa’ al-khilaf. Keputusan hukum penguasa sekaligus meneghentikan perbedaan pendapat.

MUI: INTITUSI DAN PARADIGMANYA

            Belakangan ini institusi Majlis Ulama Indonesia (MUI) dipertanyakan status dan -kekuatan hukum fatwa-fatwanya. Terutama setelah mengeluarkan fatwa haram merokok yang disusul dengan fatwa yang sama oleh Ormas Muhammadiyyah. Sebelumnya terbit pula fatwa tentang haramnya melakukan tindakan Golongan Putih atau Golput alias tidak ikut serta dalam Pemilihan Umum. Namun masyarakat Islam berlaku apatis atas fatwa-fatwa serupa itu kalau tidak disebut mentertawakanya. Mengapa? Karena fatwa-fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang kuat dan tidak pula mempunyai kekuatan polisional.
            Mengingat fatwa ini bersifat ijitihadi dan kebenaranya sangat relative dan tidak mengikat dengan tidak adanya law inforcement sebagai kekuatan polisional. Melacak asal-usul lahirnya intitusi MUI dapat dilacak dalam karya disertasi Syamsuri Shidiq, Peran MUI Jawa Barat dalam Menyelesaikan Pemberontakan DI/TII DI Jawa Barat, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2009). MUI lahir di Jawa Barat sebagai solusi penyelesaian konflik politik dan berlanjut perlawan bersenjata dari DI/TII. Pemerintah bersama Ulama Jawa Barat mencari solusi damai dalam menyelesaikan konflik tersebut. Maka terbentuklah MUI yang dipimpin oleh Panglima/Penguasa Perang yang beranggotakan Pangdam Siliwangi, Kepala Daerah dan para Ulama. Paradigmanya berasal dari pemikiran Ibn Taymiyyah yang kemudian diklaim sebagai hadis (? = hadis masyhur) yang berbunyi: shinfani minannas; al-ulama’ wa al-‘umara; idza sholuhaa sholuhal ummat wa idza fasadaa, fasada al-ummah. Ada dua kelompok manusia: Ulama dan Umara. Apabila Ulama dan Umara itu harmoni, maka harmonilah keseluruhan umat; apabila Ulama dan Umara itu berpecah, maka pecah belahlah umat. Paradigma ini berkembang manakala MUI sudah menjadi institusi nasional. Pemohon fatwa seringkali dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka paradigma kedua pun terbangun yakni: permohonan “fatwa” tentang apapun dan “bunyi” fatwanya akan dikabulkan sesuai “pesanan” umara oleh MUI selama di luar hal-hal yang prinsip dan bersifat akidah, antara lain, bukan fatwa yang termasuk dalam katagori ma ‘ulima minaddin al-dharuruah.

Prosedur Fatwa LPPOM:
Sebuah Pengalaman

            LP-POM dimulai dari MUI Jawa Barat. Kelahiranya karena tuntutan “pasar’ untuk memberikan ketenteraman kaum muslimin dalam mengkonsumsi makanan, obat-obatan dan kosmetika yang halal. Berikut dikemukakan beberapa contoh kasus sertifikasi halal makanan, obat-obatan. Dodol Garut; Sosis dan Bakso; Jam dan Obat Batuk
            Dodol Garut adalah makanan khas dari kabupaten ‘Garut Jawa Barat, makanan yang dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa, air, gula, dan full cream. Dodol Garut bermasalah kehalalnya karena full cream atau tepung susu bisa dibuat dari susu ternak halal sebagaimana terbuat dari ternak haram, yakni babi. Perusahaan Dodol Garut melakuklan kontrak dagang dengan Malaysia dengan syarat ada jaminan bahwa semua komponen dijamin halal dan dibuktikan dengan sertifikat halal yang resmi (MUI). Maka MUI jawa Barat pun diminta melakukan sertifikasi. Tentu saja MUI menunjuk auditornyua untuk turun ke lapangan, pabrik Dodol Garut untuk menelusuri alur produk dan asal-usul bahan bakunya. Auditor menemukan bahan baku susu bubuknya belum memiliki sertifikasi halal dari Negara asalnya yakni Australia. Maka MUI Jawa Barat merekomondesaikan mengganti bahan bakunya dari produk yang bersertifikasi halal dari negara asalnya. Karena MUI Jawa Barat “menolak” menerbitkan sertifikasi halal, maka pengusaha Dodol Garut meminta sertifikasi halal dari MUI Pusat, Jakarta. Karena kalau dia mengambil susu bubuk dari merek lain maka akan menimpa kerugian yang besar pada pengusaha susu bubuk langanya. MUI Pusat bersedia mensertifikasinya dengan syarat Pengusaha membiayai auditor MUI untuk melakukan penelitian di Negara asal susu bubuk di Australia. Maka auditor MUI pun berangkat ke Australia. Disini terdapat bukti bahwa hukum mempunyai pengaruh pada kehidupan ekonomi!
            Sosis dan Bakso; Masalah hukum sosis dan baso ada dua hal utama. Pada sosis ada bahan baku yang disebut collagen cashing yang dapt dibuat dari bahan baku nabati dan hewani. Bahan baku nabati tidak ada masalah hukumnya; semuanya halal. Akan tetapi bahan baku hewani bermasalah karena hanya bahan baku berasal dari tulang belulang ayam dan atau tulang belulang dan kulit babi. Kalau auditor menemukan asal asul bahan baku tulang belulang ayam maka auditor mesti berlanjut pada penelusuran bagaimana ayam itu disembelih; secara Islam, sesuai tuntutan hukum Islam atau tidak. Kalau asal-usulnya dari tulang belulang dan kulit babi jelas sekali haramnya. Masalah berkutnya adalah apabila produk sosi dan bakso itu diproduksi dalam satu pabrik: sosis-baso ayam, sapid an babi dibuat dalam pabrik yang sama. Karena “wajan” alat pembuatnya dalam wadah yang sama, tentu telah bercampurnya bahan baku yang halal dan yang haram; Maslah hukum yang lain bila produk sosis-baso ayam, sapi dan babi itu “artificial”, yakni menggunakan “rasa” ayam, sapi, dan babi. Padahal semua bahan bakunya terbuat dari bahan baku yang sama dan halal, yakni cangkang kacang tanah; hanya dibuat bumbu rasanya aja yang berbeda. Temuan disini: Teknologi makanan memeerlukan partisipasi pakar hukum dalam pemasaran produknya.
            Seorang apoteker meminta fatwa apakah ia berhenti menjalani profesinya sebagai apoteker atau terus dengan profesinya dengan resiko membuat obat dari bahan baku lemak babi. Salah satu contoh kasusnya adalah obat batur. OBH (Obat Batuk Hitam yang seringkali diplesetkan Obat Batuk Haji) adalah obat batuk yang ada dedaknya seperti minuman kopi. Mengapa demikian, karena OBH tidak ada campuran lemak babinya. SEtiap obat batuk yang larut pasi dicampur dengan lemak babi. Akan tetapi keajaiban obat batuk yang larut itu apabila diurai ulang secara kimiawi maka asal-usul lemak babi tidak dap dideteksi. Berbeda dengan bahan makanan dan atau kosmetika yang mengandung daging babi, kini ada tester yang secara otomatis dapa mendeteksi asal-usul dari daging babi. Lemak babi bias luluh dan menyatu dengan secara kimiawi dengan bahan baku lain yang halal. Fatwanya adalah pada perubahan benda. Bagaikan khamar bila elah berubah dzatnya menjadi cuka, maka menjadi halal; atau bagaikan air suci dan mensucikan menjadi tidak suci dan tidak mensucikan bahkan menjadi benda najis apabila telah berubah, warna, rasa, dan baunya. Maka, berdasarkan mafhum mukhalafah dan muwafaqah: lemak babi yang haram menjadi halal apabila telah berubah wujudnya; warana, rasa, dan baunya.  Disini ditemukan pembenaran kaidah: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.
            Jam adalah makanan pelengkap roti. Ada beberapa rasa jam, nenas, strawberry dsb. Alat pengikat rasa pada jam itu adalah alcohol; Pada kasus Jam rasa nenaslah yang paling bermasalah, karena kadar alcohol sebagai pengikat rasanya relative tinggi. Kasus Jam ini seperti kasus air tape dengan room yang dijadikan bahan baku pembuat kueh. ADa pengusaha produk makanan menghindari room karena kadar alkoholnya tinggi dan menggantinya dengan air tape ketan. Akan tetapi, setelah MUI Jawa Barat bekerjasama dengan Laoratoriium Institut Teknologi Bandung (ITB) dijumpai kadar alcohol air tapae itu tinggi sekali dan masuk katagori yang haram. Hal serupa terjadi pada kasus pembuatan tahu yang menggunakan asam tahu untuk pengeras tahu. Asam tahu dibuat dari saripati kadelai yang telah difermentasi maka kadarnya sama dengan etanol: tidak memabukkan kalau diminum; tetapi hanya mematikan. Akan tetapi, ajaibnya, kalau asam tahu tahu itu disiramkan kepada “adonan” tahu, maka tahu akan mengeras dan mudah diiris menjadi tahun yang enak dan sama sekali tidak memabukkan, malah membuat tahu menjadi enak dan lezat. Lagi-lagi ini temuan yang membuktikan kebenaran kaedah perubahan hukum Ibn al-Qoyyuim al-Jawziyyah.
            Manakala tahun 1992 Presiden Soeharto mensponsori berdirinya Bank Mu’amalah, maka institusi perbankan syariah terus berkembang. Peran sentral MUI dipertaruhkan, akan tetapi menimbulkan masalah hukum. Mungkinkah MUI mengatur hukum public, perbankan; Bisakah lembaaga privat mengatur lembaga public. Dalam teori hukum itu tidak mungkin terjadi Jalan keluarnya adalah MUI membentuk badan untuk kepentingan perlindungan syariah. Maka didirikan Dewan Syariah Nasional, tempat dan institusi yang bertuga mengawasi operasional perbankan syariah agar sesuai dengan nilai dan norma serta hukum syariah.

DSN (Dewan Syariah Nasional)
dan Pembinaan Hukum Perbankan Syariah

            Sejak didirikanya, DSN telah banyak memproduksi Fatwa Hukum, terutama mengenai produk-produk perbankan syariah dan membuat pedoman bagi anggota Dewan Pengawas Syariah pada Perbankan Syariah di tanah air termasuk pedoman akuntansi syariahnya. Produk-produk fatwa DSN banyak yang diadopsi menjadi materi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diterbitkan Mahkamah Agung RI dan melalui surat edaranya KHES harus menjadi pedoman para hakim di Peradilan Agama dalam memutus perkara atau sengketa ekonomi syariah sesuai Undang Undang No.3/2006. Dengan demikian disini ditemukan bahwa fatwa hukum Islam di Indonesia telah memasuki dan menjadibagian dar pembinaan hukum nasional dalam dunia perbankan syariah.

Penutup
            Berdasarkan uraian singkat di atas, maka saya ingin merekomendasikan beberapa hal berikut di bawah ini:
  1. Status MUI ditingkatkan menjadi lembaga fatwa nasional yang mempunyai kekuatan hukum dan law enforcement. Dalam hal ini perlu disiapkan Standard Operational Procedure (SOP) menyangkut institusi, personalia, struiktur, substansi dan materi hukum yang memadai;
  2. Perlu kajian institusi MUI yang berkelanjutan dan mengembangkan produk-produk fatwa yang meaningfull bagi pembinaan hukum di Indonesia sehingga hukum Islam menjadi inseparable living law dalam system hukum nasional.
Disampaikan dalam Diskusi Terbatas Hukum Islam di Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (PPs FIAI UII) Yogyakata, Jumat 5 November 2010
 http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=57

Friday, May 4, 2012

MENGGUGAT BANK SYARIAH


Bank Syariah adalah bank yang menjalankan aktivitas perbankan berdasarkan nilai syariah sebagaimana yang difatwakan oleh lembaga yang dianggap kredibel di bidangnya. Berdasarkan fatwa yang sama, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tersebut kemudian mengeluarkan produk perbankan syariah. Karena itu, setiap produk perbankan syariah yang dikeluarkan oleh LKS ini mempunyai legalitas syariah, yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI).

Hanya saja, dari hasil kajian, penelitian dan analisis terhadap fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa ada sejumlah fatwa yang tidak tepat, bahkan bisa dianggap menyalahi ketentuan syariah. Kesalahan tersebut kadang terjadi pada point-point tertentu, sedangkan pada point-point yang lain tidak. Seperti dalam kasus Akad Mudharabah pada Giro Syariah, Deposito Syariah dan Tabungan Syariah, yang menempatkan Bank sebagai Mudharib, padahal faktanya tidak. Demikian juga dalam kasus pembiayaan. Ini dari aspek fatwanya.

Meski fatwa-fatwa tersebut ada juga yang benar, namun ini tidak cukup untuk menjamin bahwa produk perbankan syariah yang didasarkan pada fatwa tersebut juga benar. Sebab, terkadang antara fatwa dan implementasinya bisa berbeda, bahkan bisa saja implementasinya justru menyalahi ketentuan yang digariskan dalam fatwa. Seperti dalam kasus Bank Garansi Syariah yang menggunakan akadKafalah.
Buku ini sebenarnya bukan buku pertama yang membedah hukum dan fakta perbankan syariah. Hanya saja, buku ini jelas berbeda dengan buku-buku yang ditulis oleh praktisi atau konsultan perbankan syariah, yang mempunyai mindframe(kerangka berpikir) Islamisasi perbankan konvensional.  Buku ini jelas berbeda, karena berdiri secara independen dari berbagai kepentingan, apalagi untuk melegalisasikan praktik perbankan syariah.

Buku ini ditulis untuk memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang selama ini masih mengemuka. Mendudukkan secara obyektif dan proporsional terhadap setiap fakta dan hukum setiap produk perbankan syariah tersebut sebagaimana mestinya. Bukan atas dasar arogansi keilmuan, apalagi kepentingan untuk mencari justifikasi keagamaan demi melegalkan praktik perbankan yang disebut sebagai perbankan syariah itu.