OLEH: PROF.
DR. JUHAYA S. PRAJA
Pengantar
Pada dasarnya fatwa mengenai masalah hukum yang sama
dapat melahirkan keputusan fatwa hukum yang berbeda. Keragaman putusan
mengenai fatwa selalu bergantung kepada siapa yang meminta fatwa yang terikat
pula perbedaan ruang dan waktu serta nilai manfaat fatwa itu sendiri bagi
peminta fatwa dan atau masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Proses fatwa ini dapat kita lacak
hingga pada masa Rasulullah saw. Sebagai ilusatrasi dapat direkam beberapa
peristiwa yang terekam dalam sejumlah hadis sbb.: Suatu hari seseorang
beda fatwa kepada Rasulullah dengan mengungkapkan kalimat: Ayyu ‘amalin
afdhal ya Rasulullah? (dalam sebagian lain bunyui matan hadisnya: ayyu
‘amalin athyabu ya Rasulullalah) Rasulullah menjawab: Asholatu ‘ala
waqtiha. Pada saat yang berbeda datang pula seseorang mengungkapkan
pertanyaan yang sama. Akana tetapi, Rasulullah menjawab: Birrulwalidayn.
Ada lagi yang lain datang dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah yang
dijawab: ‘Amalalurajul biyadihi wa bay’un mabrurun. Prosedur fatwa untuk
mendapatkan jawaban hukum pada masa Rasulullah pun ada yang kemudian dijadikan
dasar hukum acara. Hal serupa ini terekam dalam al-Jami’ al-Sahahih
lil-Bukhary; yaitu ketika seorang wanita bernama Hindun mengadukan
suaminya bernama Abu Sofyan yang dikenal orang kaya tetapi sangat bakhil untuk
memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Nabi pun memberikan fatwanya tanpa
menghadirkan suaminya yang boleh jadi disebut pihak tergugat. Rasulullah
mengatakan: khudzi laki waliwalidiki ma yakfiki! Jawaban Raulullah atas
kasus Hindun ini kemudian diberi judul dalam Kirab Shahih Bukhari: al-Qadla
‘ala al-Ghaib yang artinya sama dengan Putusan Verstek dalam hukum
acara perdata.
Perubahan atau perbedaan putusan fatwa atas kasus yang sama terus berlanjut
hingga masa-masa berikutnya. Maka terumuskanlah teori perubahan fatwa
sebagaimanya terekam dalam Kitab I’lam al-AMuwaqqi’in karya Ibn
al-Qoyyim al-Jawziyyah yang berbunyi : taghayyur al-fatwa bitaghayyur
al-azminah wa al-amkinah wa al-niyyat wa al-‘awa’id.
Secara institusional pun lahirlah lembaga fatwa dan mufti dalam sejarah
ketatanegarran Islam. Institusi ini muncul ketika kepala Negara da pemerintahan
pada masa institusi Khilafah tidak lagi dipegang oleh personal yang mumpuni
sebagaiamana pada masa al-Khulafa al-Rasyidun. Maka, Mufti menempati posisi dan
spectrum yang amat luas dan penting, -seperti putusan akhir Hakim
Agung-, dalam membina hukum Islam dan menjadi putusan akhir dari segala
kontroversi hukum sebagaimana dinyatakan dalam fiqh legal maxim: istbat
al-Hakim yarfa’ al-khilaf. Keputusan hukum penguasa sekaligus meneghentikan
perbedaan pendapat.
MUI: INTITUSI DAN PARADIGMANYA
Belakangan ini institusi Majlis Ulama Indonesia (MUI) dipertanyakan status dan
-kekuatan hukum fatwa-fatwanya. Terutama setelah mengeluarkan fatwa haram
merokok yang disusul dengan fatwa yang sama oleh Ormas Muhammadiyyah.
Sebelumnya terbit pula fatwa tentang haramnya melakukan tindakan Golongan Putih
atau Golput alias tidak ikut serta dalam Pemilihan Umum. Namun masyarakat Islam
berlaku apatis atas fatwa-fatwa serupa itu kalau tidak disebut mentertawakanya.
Mengapa? Karena fatwa-fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan
kepastian hukum yang kuat dan tidak pula mempunyai kekuatan polisional.
Mengingat fatwa ini bersifat ijitihadi dan kebenaranya sangat relative
dan tidak mengikat dengan tidak adanya law inforcement sebagai kekuatan
polisional. Melacak asal-usul lahirnya intitusi MUI dapat dilacak dalam karya
disertasi Syamsuri Shidiq, Peran MUI Jawa Barat dalam Menyelesaikan
Pemberontakan DI/TII DI Jawa Barat, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung, 2009). MUI lahir di Jawa Barat sebagai solusi penyelesaian konflik
politik dan berlanjut perlawan bersenjata dari DI/TII. Pemerintah bersama Ulama
Jawa Barat mencari solusi damai dalam menyelesaikan konflik tersebut. Maka
terbentuklah MUI yang dipimpin oleh Panglima/Penguasa Perang yang beranggotakan
Pangdam Siliwangi, Kepala Daerah dan para Ulama. Paradigmanya berasal dari
pemikiran Ibn Taymiyyah yang kemudian diklaim sebagai hadis (? = hadis masyhur)
yang berbunyi: shinfani minannas; al-ulama’ wa al-‘umara; idza sholuhaa
sholuhal ummat wa idza fasadaa, fasada al-ummah. Ada dua kelompok manusia:
Ulama dan Umara. Apabila Ulama dan Umara itu harmoni, maka harmonilah
keseluruhan umat; apabila Ulama dan Umara itu berpecah, maka pecah belahlah
umat. Paradigma ini berkembang manakala MUI sudah menjadi institusi nasional.
Pemohon fatwa seringkali dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka
paradigma kedua pun terbangun yakni: permohonan “fatwa” tentang apapun dan
“bunyi” fatwanya akan dikabulkan sesuai “pesanan” umara oleh MUI selama di luar
hal-hal yang prinsip dan bersifat akidah, antara lain, bukan fatwa yang
termasuk dalam katagori ma ‘ulima minaddin al-dharuruah.
Prosedur
Fatwa LPPOM:
Sebuah
Pengalaman
LP-POM dimulai dari MUI Jawa Barat. Kelahiranya karena tuntutan “pasar’ untuk
memberikan ketenteraman kaum muslimin dalam mengkonsumsi makanan, obat-obatan
dan kosmetika yang halal. Berikut dikemukakan beberapa contoh kasus sertifikasi
halal makanan, obat-obatan. Dodol Garut; Sosis dan Bakso; Jam dan Obat Batuk
Dodol Garut adalah makanan khas dari kabupaten ‘Garut Jawa Barat, makanan yang
dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa, air, gula, dan full cream.
Dodol Garut bermasalah kehalalnya karena full cream atau tepung susu
bisa dibuat dari susu ternak halal sebagaimana terbuat dari ternak haram, yakni
babi. Perusahaan Dodol Garut melakuklan kontrak dagang dengan Malaysia dengan
syarat ada jaminan bahwa semua komponen dijamin halal dan dibuktikan dengan
sertifikat halal yang resmi (MUI). Maka MUI jawa Barat pun diminta melakukan
sertifikasi. Tentu saja MUI menunjuk auditornyua untuk turun ke lapangan,
pabrik Dodol Garut untuk menelusuri alur produk dan asal-usul bahan bakunya.
Auditor menemukan bahan baku susu bubuknya belum memiliki sertifikasi halal
dari Negara asalnya yakni Australia. Maka MUI Jawa Barat merekomondesaikan
mengganti bahan bakunya dari produk yang bersertifikasi halal dari negara
asalnya. Karena MUI Jawa Barat “menolak” menerbitkan sertifikasi halal, maka
pengusaha Dodol Garut meminta sertifikasi halal dari MUI Pusat, Jakarta. Karena
kalau dia mengambil susu bubuk dari merek lain maka akan menimpa kerugian yang
besar pada pengusaha susu bubuk langanya. MUI Pusat bersedia mensertifikasinya
dengan syarat Pengusaha membiayai auditor MUI untuk melakukan penelitian di
Negara asal susu bubuk di Australia. Maka auditor MUI pun berangkat ke
Australia. Disini terdapat bukti bahwa hukum mempunyai pengaruh pada
kehidupan ekonomi!
Sosis dan Bakso; Masalah hukum
sosis dan baso ada dua hal utama. Pada sosis ada bahan baku yang disebut
collagen cashing yang dapt dibuat dari bahan baku nabati dan hewani. Bahan baku
nabati tidak ada masalah hukumnya; semuanya halal. Akan tetapi bahan baku
hewani bermasalah karena hanya bahan baku berasal dari tulang belulang ayam dan
atau tulang belulang dan kulit babi. Kalau auditor menemukan asal asul bahan
baku tulang belulang ayam maka auditor mesti berlanjut pada penelusuran
bagaimana ayam itu disembelih; secara Islam, sesuai tuntutan hukum Islam atau
tidak. Kalau asal-usulnya dari tulang belulang dan kulit babi jelas sekali
haramnya. Masalah berkutnya adalah apabila produk sosi dan bakso itu diproduksi
dalam satu pabrik: sosis-baso ayam, sapid an babi dibuat dalam pabrik yang
sama. Karena “wajan” alat pembuatnya dalam wadah yang sama, tentu telah
bercampurnya bahan baku yang halal dan yang haram; Maslah hukum yang lain bila
produk sosis-baso ayam, sapi dan babi itu “artificial”, yakni menggunakan
“rasa” ayam, sapi, dan babi. Padahal semua bahan bakunya terbuat dari bahan
baku yang sama dan halal, yakni cangkang kacang tanah; hanya dibuat bumbu
rasanya aja yang berbeda. Temuan disini: Teknologi makanan memeerlukan
partisipasi pakar hukum dalam pemasaran produknya.
Seorang apoteker meminta fatwa apakah ia berhenti menjalani profesinya sebagai
apoteker atau terus dengan profesinya dengan resiko membuat obat dari bahan
baku lemak babi. Salah satu contoh kasusnya adalah obat batur. OBH (Obat Batuk
Hitam yang seringkali diplesetkan Obat Batuk Haji) adalah obat batuk yang ada
dedaknya seperti minuman kopi. Mengapa demikian, karena OBH tidak ada campuran
lemak babinya. SEtiap obat batuk yang larut pasi dicampur dengan lemak babi.
Akan tetapi keajaiban obat batuk yang larut itu apabila diurai ulang secara
kimiawi maka asal-usul lemak babi tidak dap dideteksi. Berbeda dengan bahan
makanan dan atau kosmetika yang mengandung daging babi, kini ada tester yang
secara otomatis dapa mendeteksi asal-usul dari daging babi. Lemak babi bias
luluh dan menyatu dengan secara kimiawi dengan bahan baku lain yang halal.
Fatwanya adalah pada perubahan benda. Bagaikan khamar bila elah berubah dzatnya
menjadi cuka, maka menjadi halal; atau bagaikan air suci dan mensucikan menjadi
tidak suci dan tidak mensucikan bahkan menjadi benda najis apabila telah
berubah, warna, rasa, dan baunya. Maka, berdasarkan mafhum mukhalafah
dan muwafaqah: lemak babi yang haram menjadi halal apabila telah berubah
wujudnya; warana, rasa, dan baunya. Disini ditemukan pembenaran kaidah: al-hukmu
yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.
Jam adalah makanan pelengkap roti. Ada beberapa rasa jam, nenas, strawberry
dsb. Alat pengikat rasa pada jam itu adalah alcohol; Pada kasus Jam rasa
nenaslah yang paling bermasalah, karena kadar alcohol sebagai pengikat rasanya
relative tinggi. Kasus Jam ini seperti kasus air tape dengan room yang
dijadikan bahan baku pembuat kueh. ADa pengusaha produk makanan menghindari
room karena kadar alkoholnya tinggi dan menggantinya dengan air tape ketan.
Akan tetapi, setelah MUI Jawa Barat bekerjasama dengan Laoratoriium Institut
Teknologi Bandung (ITB) dijumpai kadar alcohol air tapae itu tinggi sekali dan
masuk katagori yang haram. Hal serupa terjadi pada kasus pembuatan tahu yang
menggunakan asam tahu untuk pengeras tahu. Asam tahu dibuat dari saripati
kadelai yang telah difermentasi maka kadarnya sama dengan etanol: tidak
memabukkan kalau diminum; tetapi hanya mematikan. Akan tetapi, ajaibnya, kalau
asam tahu tahu itu disiramkan kepada “adonan” tahu, maka tahu akan mengeras dan
mudah diiris menjadi tahun yang enak dan sama sekali tidak memabukkan, malah
membuat tahu menjadi enak dan lezat. Lagi-lagi ini temuan yang membuktikan
kebenaran kaedah perubahan hukum Ibn al-Qoyyuim al-Jawziyyah.
Manakala tahun 1992 Presiden Soeharto mensponsori berdirinya Bank Mu’amalah,
maka institusi perbankan syariah terus berkembang. Peran sentral MUI
dipertaruhkan, akan tetapi menimbulkan masalah hukum. Mungkinkah MUI mengatur
hukum public, perbankan; Bisakah lembaaga privat mengatur lembaga public. Dalam
teori hukum itu tidak mungkin terjadi Jalan keluarnya adalah MUI membentuk
badan untuk kepentingan perlindungan syariah. Maka didirikan Dewan Syariah
Nasional, tempat dan institusi yang bertuga mengawasi operasional perbankan
syariah agar sesuai dengan nilai dan norma serta hukum syariah.
DSN (Dewan
Syariah Nasional)
dan
Pembinaan Hukum Perbankan Syariah
Sejak didirikanya, DSN telah banyak memproduksi Fatwa Hukum, terutama mengenai
produk-produk perbankan syariah dan membuat pedoman bagi anggota Dewan Pengawas
Syariah pada Perbankan Syariah di tanah air termasuk pedoman akuntansi
syariahnya. Produk-produk fatwa DSN banyak yang diadopsi menjadi materi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diterbitkan Mahkamah Agung RI dan
melalui surat edaranya KHES harus menjadi pedoman para hakim di Peradilan Agama
dalam memutus perkara atau sengketa ekonomi syariah sesuai Undang Undang
No.3/2006. Dengan demikian disini ditemukan bahwa fatwa hukum Islam di
Indonesia telah memasuki dan menjadibagian dar pembinaan hukum nasional dalam
dunia perbankan syariah.
Penutup
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka saya ingin merekomendasikan beberapa
hal berikut di bawah ini:
- Status MUI ditingkatkan menjadi lembaga fatwa nasional yang mempunyai kekuatan hukum dan law enforcement. Dalam hal ini perlu disiapkan Standard Operational Procedure (SOP) menyangkut institusi, personalia, struiktur, substansi dan materi hukum yang memadai;
- Perlu kajian institusi MUI yang berkelanjutan dan mengembangkan produk-produk fatwa yang meaningfull bagi pembinaan hukum di Indonesia sehingga hukum Islam menjadi inseparable living law dalam system hukum nasional.
Disampaikan
dalam Diskusi Terbatas Hukum Islam di Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (PPs FIAI UII)
Yogyakata, Jumat 5 November 2010
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=57
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=57