Monday, October 10, 2011

Kesalahpahaman Istilah Ustadz

Umar Ibrahim Vadillo ditanya mengapa 'Muamalat' yang berdasarkan teks-teks klasik, fiqih tradisional dan tafsir tradisional tidak diajarkan di Universitas Islam. Berikut penjelasannya.
'Ustadz' adalah istilah yang digunakan oleh kaum modernis. Berasal dari bahasa Persia. Bukan bahasa Arab. Istilah ini merupakan deklarasi dari ideologi fundamentalis baru selama pertengahan abad ke-19. Tidak ada referensi untuk istilah 'ustadz' dalam teks-teks klasik. Istilah 'ustadz' pada awalnya digunakan oleh Muhammad Abduh . Para pengikut Muhammad Abduh menggunakan 'ustadz' untuk mengkonotasikan diri mereka sendiri menjadi 'guru'. Tidak ada satupun buku yang ditulis 200 tahun yang lalu menyebut para ulama muslim sebagai 'ustadz'.
Kesalahpahaman dari istilah 'ustadz' dikemas dalam memahami Modernisasi Islam. Hal ini penting untuk diketahui. 

Guru-guru (para ustadz) kita mewarisi Islam dari kaum reformis yang pada masa awal gerakannya, dianggap 'kafir'. Abduh dianggap kafir oleh teman sendiri. Dia diberi gelar Ketua Mufti Mesir hanya karena Lord Cromer berkuasa di Mesir pada waktu itu. Pemerintah Inggris memilih Lord Cromer karena ia adalah orang yang akan menyelesaikan masalah kepentingan Eropa di Mesir.
Hal pertama yang Abduh harus dilakukan, adalah untuk menyatakan bahwa 'Bunga dari Bank Kantor Pos Mesir' adalah halal. Dia melihat dirinya seperti pendahulunya, Jamaluddin Al-Afghani, sebagai Muslim Protestan dengan mengatakan, "Saya Luther kaum muslim". Mengapa mereka menyebut diri mereka 'Luther'? Mereka melakukan ini karena, seperti Protestanisasi, mewakili kristenisari riba dalam agama Kristen, mereka telah muncul untuk mereformasi Islam. 

Orang-orang Kristen pertama yang menerima riba adalah Protestan. Orang-orang pertama di antara kaum muslimin yang menerima riba adalah Protestan (reformasi) muslims. Semua 'ustadz' yang mengikuti garis Abduh telah mengambil garis Islam Protestan. Banyak negara muslim telah mengadopsi seorang Islam Protestan (reformis). Mereka tidak menerima para ulama tradisional, teks-teks klasik, otoritas Ibn Rusyd atau Imam Malik maupun kitab-kitab tafsir. Mereka ingin menjadi seperti penginjil Kristen yang membaca Alkitab dan membuat interpretasi mereka sendiri. Mereka ingin menjadi seperti mereka dengan membaca Al-Quran dan membuat interpretasi dan derivasi mereka sendiri. Tidak ada tafsir klasik. 

Kita hidup di zaman 'ustadz' ini. Bukan lagi 'Ulama'. Fakta bahwa mereka menyebut diri mereka 'ustadz' membenarkan keyakinan yang tidak mampu mereka wakilkan. Guru yang lupa waktu.
Ustadz Muhammad Abduh adalah seorang individu yang yakin bahwa Eropa dan peradaban barat jauh lebih maju dari Islam. Jadi, kaum muslimin yang ingin mengejar sejajar dengan orang Eropa, mereka harus berubah. Itu teori utamanya. Dia harus melihat ke Eropa. Tidak diragukan lagi. Pada masanya ia dilihat sebagai pengkhianat. Ketika Abduh tiba di Al-Azhar, menjadi Ketua Mufti diangkat oleh Lord Cromer, Syaikh Ilish, Syekh Madzhab Maliki di Al-Azhar, seorang pria tua, bangkit. Ketika ia melihat Abduh datang, dia berdiri, meraih tongkatnya, berjalan kepadanya dan memukulnya di kepala dan berkata "Kau kafir, keluar dari sini!"
 
Apa yang dikatakan dan dilakukan Abduh harus menjadi perhatian besar bagi kaum muslimin. Apakah dia seorang Freemason atau tidak, gagasan-gagasan dan tindakannya adalah bukti siapa ia sebenarnya. Abduh membawa ajaran Islam Fundamentalisme (reformis, revivalis, modernis). Guru Abduh, Jamaluddin Al-Afghani adalah pendiri ide-ide fundamentalis. Tapi Abduh yang mengambil posisi fundamentalis diposisikan lebih tinggi untuk menjadi ayah dari fundamentalisme.
Seorang wartawan Suriah yang menyebarkan Ustadz Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani adalah Muhammad Rashid Reda . Dia adalah orang kunci dan pemikir di belakang mereka. Dia menciptakan biografi khayalan Muhammad Abduh di majalah yang disebut Al-Manar. Majalah Pan-Islam internasional pertama yang beredar di Dunia Muslim ini mengabarkan seluruh dunia tentang gerakan baru ini. Al-Manar menuliskan semua dasar fundamentalisme. 

Mesir benar-benar dalam cengkeraman Inggris. Semua propaganda majalah itu diedarkan dari Kairo. Di Mesir sebagai negara yang dijalankan oleh orang Eropa, mereka bisa bilang apa pun yang mereka sukai. Semua konspirasi terjadi di Kairo di bawah perlindungan Inggris. Dengan elemen fundamentalisme ini, banyak orang Kristen, Muslim dan beberapa Yahudi dihimpun bersama oleh organisasi Freemasonik . Diam-diam, mereka berkumpul dan mengusulkan agenda mereka sebagai alat untuk kegiatan dan konspirasi revolusioner mereka. 

Rashid Reda menegaskan pernyataan Abduh ketika dia berkata, 'Hanya bunga berbunga yang dilarang, tapi bunga tunggal adalah halal.' Orang-orang di sekitarnya menyadari pernyataan ini sulit diterima tetapi mereka menerima juga. Pengikutnya tahu bunga tunggal adalah haram, tapi tetap mereka menerima ide-ide dan metodologinya. 

Dia lebih jauh menegaskan bahwa 'Riba an-nasi'ah adalah riba dari utang piutang'. Dia sepenuhnya salah mengartikan hal ini. Seperti yang telah kita pelajari dari 'Bidayatul Mujtahid', Riba an-Nasi'ah bukan riba utang piutang tetapi itu adalah riba dari penundaan. Bukan karena utang piutang tapi penundaan. Riba dari penundaan ini tidak berlaku untuk utang piutang karena penundaan utang piutang diperbolehkan. Riba an-Nasi'ah berlaku untuk 'tukar menukar' bukan 'utang piutang'. Tidak tepat menyebut Riba an-Nasi'ah sebagai riba karena 'utang piutang'. Riba an-Nasi'ah adalah menambahkan penundaan pada transaksi seperti 'tukar menukar', yang dilarang.
Bunga tidak ada hubungannya dengan Riba an-Nasi'ah. Bunga adalah selisih nilai dan hanya terjadi di Riba al-Fadl. Bunga adalah Riba al-Fadl. Ketika Anda membiarkan selisih dalam 'utang piutang', maka disebut Riba al-Fadl. 

Jadi mereka disebut Riba an-Nasi'ah sebagai riba dari utang piutang berdasarkan selisih nilai. Salah penafsiran. 

Semua teks pada Ekonomi Islam yang digunakan di Malaysia tersedia definisi Riba an-Nasi'ah yang diberikan oleh Rashid Reda . Orang-orang yang mengikuti ajarannya menerima bahwa 'Riba adalah bunga', yang berarti Riba an-Nasi'ah dan Riba al-Fadl adalah riba yang ada hubungannya dengan bunga saja. Tapi, bunga didasarkan pada perhitungan matematis. Riba lebih dari interpolasi ini. Riba adalah sesuatu yang lebih mendasar dan mendalam. 

Mengapa riba bukan bunga? Jika Anda membuat riba sebagai bunga belaka, Anda telah meninggalkan bagian yang sangat penting dan mendasar dari apa itu riba. Dengan mengatakan Riba an-Nasi'ah adalah bunga, adalah seperti mengatakan, Riba an-Nasi'ah adalah Riba al-Fadl.
Bila ini diterima, lalu apa riba an-Nasi'ah? Ingat, Riba an-Nasi'ah ada hubungannya dengan penundaan.

Hal ini membawa kita ke dasar pemahaman di mana Anda akan dapat menafsirkan mengapa uang kertas adalah haram. Hal ini atas dasar bahwa Anda memahami apa uang kredit itu. Uang Kredit adalah utang. Utang tidak bisa diterima sebagai alat pembayaran. Utang tak pernah dapat diterima dalam Islam sebagai uang. 

Para ekonom Islam merujuk Perbankan Syariah sebagai bebas bunga, karena itu halal. Bebas bunga tidak berarti apa-apa. Anda bisa bebas bunga dan benar-benar dilarang, seperti saat ini. Filosofi bebas-bunga ini berasal dari Rashid Reda. Pengetahuan yang telah disampaikan ke para ustadz oleh Rashid Reda. 

Di Indonesia, organisasi Muhammadiyah berasal dan berdasarkan ajaran Muhammad Abduh. Meskipun mereka tidak tahu siapa Muhammad Abduh, semua filsafat yang mereka ikuti adalah filsafat reformis Islam Protestan. Ada dua organisasi reformasi Islam - Jamaatul Islamiyah dan Ikhwanul Muslimin. Ikhwanul Muslim didirikan oleh Hassan Al-Banna . Dia adalah seorang guru di sebuah sekolah dan menjadi pemimpin kelompok sosial untuk menyebarkan Islam di Mesir. Ia belajar di sekolah yang didirikan Muhammad Abduh. Dia diajar oleh para Ustadz pengikut Abduh. Ia mulai dikenal publik setelah menerima jabatan direktur dari majalah Al-Manar setelah Rashid Reda. Hal ini tentu saja untuk melanjutkan garis pemikiran yang sama. Setali tiga uang.
Kontribusi utama dan prestasi besar dari Ikhwanul Muslimin setelah aktifitasnya selama 50-60 tahun adalah Perbankan Islam yang memalukan. Dan kontribusi utama dan prestasi besar Jamaatul Islamiyah adalah penerimaan Konstitusi Islam. 

Semua pemikiran islamisasi merupakan pemikiran Jamaatul Islamiyah dan Ikhwanul Muslimin. Ulama tradisional Islam hancur sama sekali karena tidak diizinkan keberadaannya. Keberadaannya sendiri adalah revolusioner. Hal ini tidak diizinkan untuk terjadi. Oleh karena itu kaum modernis ini dengan pendekatan yang lunak bukanlah ancaman bagi kaum kufar. Ikhwanul Muslimin melawan Muslim sekuler. Tentu saja munculnya kaum modernis ini terlihat berlabel Islam yang membawa nama Islam. 

Kita harus ingat bahwa ada Islam tradisional yang dianggap kaum modernis sebagai bid'ah. Inilah ironinya Islam di abad 20. Islam Protestan busuk dan rusak melawan sekularisme. Pihak mana yang menang sama-sama bencana. Kesalahan logika yang tidak berujung pada akhir yang baik. Modernisasi tidak pernah bisa menang dan hanya di dalam keputusasaan mereka, akhirnya menyuruh anak-anak mereka untuk menjadi pembom bunuh diri. Prestasi mereka dalam islamisasi kapitalisme. 

Amal penduduk Madinah tidak memiliki kontroversi dalam dirinya sendiri. Sepanjang 150 tahun terakhir, pengetahuan murni Muamalat telah direformasi atau rusak untuk menjadi kompatibel dengan sistem perbankan riba, untuk merangkul kapitalisme. Ada perbedaan besar di posisi amal penduduk Madinah dari apa yang telah diajarkan hari ini untuk mengakomodasi Perbankan Syariah, bursa efek Islam, Asuransi Islam dan uang kertas Islam. Tidak pernah terjadi perselisihan besar di Madzhab-Madzhab Fiqih. Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid, Ibn Rusyd telah menggariskan semua perselisihan di antara Imam-Imam. Yang terpenting adalah keputusan yang jelas di mana semua orang setuju.
Ada masalah-masalah fiqih mengenai masalah-masalah perdagangan yang selalu menjadi perhatian para ulama. Para ulama tradisional telah melakukan rincian dan ketelitian yang monumental dalam melindungi kemurnian Deen ini. Hal ini semua dijelaskan dalam fiqh. Mereka sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan satu bit riba pun dalam fiqh, apalagi semenit. Fiqih ini telah dibuang ke saluran pembuangan oleh para 'ustadz' modernis. Dan mereka mendasarkan fatwa mereka pada tulisan Umar Chapra , Yusuf Al-Qardhawi dan Taqi Usmani . 

Catatan: Di Indonesia umumnya para pembawa pengetahuan ini dulunya disebut dengan istilah 'kyai' (Jawa Tengah), 'mama' atau 'aa sepuh' (Jawa Barat), atau 'guru' atau 'mualim' (Betawi), juga 'tuan guru' (NTB). 

Umar Ibrahim Vadillo - World Islamic Mint-World Islamic Trading Organization
www.wakalanusantara.com  

Dinar Dirham di Mata Imam Ghazali

Imam Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al Ghazali, semoga Allah meridhoinya, sangat kita kenal melalui kitabnya Ihya Ulumuddin.
Kitab ini berisikan hampir semua sisi dari dien Islam, menyangkut aspek syariat maupun hakekat, dan mengupas masalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tak terkecuali, soal dinar dan dirham pun, disoroti oleh Imam Ghazali. Yang menarik adalah Imam Ghazali mengupas masalah dinar dirham ini sebagai bagian dari Kitab Syukur, pada bagian akhir dari kitabnya yang cukup tebal.
Bagaimana pandangan sang Imam soal dinar dirham ini?

Dalam kitab Ihya Ulumuddin pada Kitab Syukur (Ihya Ulum al-Din, Jilid IV, diterbitkan di Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2003 M, hal.121-122) tersebut Imam al-Ghazali mengatakan, "min ni'amillahi ta'ala kholqu ad-darahim wa ad-dananir wa bihima qiwam ad-dunya". (Dari sekian nikmat Allah ta'ala adalah penciptaan dirham dan dinar, dengan kedua mata uang ini maka tegaklah dunia).

Karena itu mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) dari pernyataan ini adalah "bila dirham dan dinar tidak diberlakukan maka dunia menjadi tidak tegak atau hilang keseimbangannya". Al-Ghazali mengungkapkannya dengan "qiwam ad-dunya" (tegaklah dunia) bukan "qiwam al-Ardh" (tegaklah bumi). Dengan demikian, jika dirham dan dinar tidak diberlakukan maka akan membuat kekacuan bagi kehidupan manusia di dunia dan akan berpengaruh terhadap kehancuran bumi.

Al-Ghazali juga memberi contoh jual beli yang tidak adil. "Wa kadza man yasytari daron bitsiyabin au abdan bikhufin au daqiqan bihimarin fahadza al asy-ya la tunaasabu fiiha" (dan demikian pula orang yang membeli rumah dengan sehelai pakaian, membeli budak dengan sepatu, atau membeli tepung dengan seekor keledai, maka pertukaran barang-barang tersebut tidak berkesesuaian). Sepuluh abad setelah al-Ghazali wafat (1111 H), sebagaimana kita alami hari-hari ini, rumah, budak, kuda dan seluruh kekayaan alam ini dapat ditukar dengan barang yang lebih murah - bahkan hampir tak ada nilainya sama sekali - dari pada barang-barang tersebut, yaitu dengan kertas-kertas yang bertuliskan dolar, rupiah, dan sebagainya.

Dalam konteks itulah, kemampuan dinar emas dan dirham perak menghasilkan pertukaran yang adil, Imam Ghazali menyebutnya sabagai "satu-satunya hakim yang adil." Emas dan perak diciptakan Allah SWT sebagai kemudahan bagi manusia dalam bertransaksi guna memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa dinar dan dirham, transaksi hanya bisa dilakukan melalui barter, yang tidak selalu mudah dilaksanakan, karena kebutuhan satu orang dan orang lainnya tidaklah selalu sesuai dengan barang yang dimiliki masing-masing. Alat tukar umum yang adil, dalam istilah sekarang medium of exchange, sangat diperlukan, dan itu dapat dipenuhi oleh dinar dan dirham.

Al-Ghazali juga mengatakan hikmah tersembunyi dari penciptaan dinar dan dirham tidak akan ditemukan di dalam hati yang berisi sampah hawa nafsu dan tempat permainan setan. Sebab, tidak ada yang bisa mengambil pelajaran dari hikmah tersebut kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya. Menurut Imam Ghazali, bagi mereka yang mengambil pelajaran dan hikmah tersebut, dinar emas tidaklah bedanya dengan secuil batu yang tak bernilai, meskipun pada saat yang sama dinar emas sangat bernilai.

Dalam pemahaman tersebut dinar emas hanya akan diperlakukan sebagai alat tukar, bukan sebagai harta yang ditimbun-timbun, dalam bentuk apa pun. Implikasinya adalah memanfaatkan emas dan perak untuk keperluan-keperluan lain, seperti sebagai perhiasan atau bejana dan alat-alat lainnya, dinilai sebagai tidak mensyukuri nikmat Allah SWT. Dinar dan dirham seyogyanya hanya digunakan sebagai alat tukar, hingga koin-koin ini akan berpindah dari tangan ke tangan, dan menghasilkan pemerataan kekayaan.

Nurman Kholis - Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
www.wakalanusantara.com

Awal dan Berakhirnya Ekonomi Islam

Ekonomi Islam adalah bid'ah yang muncul tahun 1940-an di India. Timur Kuran, Profesor Ekonomi Politik, membuktikannya sama sekali tidak dapat ditemukan dalam tradisi Islam.

Dalam dua tiga dekade terakhir, jumlah uang yang signifikan dan tumbuh cepat telah memasuki industri keuangan yang dikelola 'sesuai' dengan syariat. Menurut sebuah studi, 'pada akhir tahun 2005, lebih dari 300 lembaga di lebih dari 65 yurisdiksi mengelola aset bernilai sekitar US $ 700 miliar, meningkat menjadi US $ 1 triliun dengan cara 'sesuai syariah'.

Ekonomi Islam semakin membesar dengan berkembangnya portofolio karena para eksportir minyak dan berlipatnya pengalihan instrumen keuangan Islam (seperti hipotik bebas bunga dan surat utang sukuk). Di kalangan industri keuangan 'konvensional' mulai timbul pertanyaan: Bisakah instrumen 'sesuai- syariat ' ini menantang tatanan keuangan internasional?

Tidak Berakar dari Islam
Untuk memahami asal muasal ekonomi Islam kita bisa merujuk pada Prof Timur Kuran, guru besar ekonomi dan ilmu politik kelahiran Turki, di Duke University. Ia menulis sebuah buku berjudul Islam and Mammon, ditulis dengan dukungan dari Pemerintah Saudi, Raja Faisal, sebagai Profesor Pemikiran Islam dan Kebudayaan di University of Southern California. Sekarang mengajar di Duke University, Kuran menemukan bahwa ekonomi Islam tidak berasal dari ajaran Nabi Muhammad, sallalahu alaihi wa sallam, tetapi merupakan 'tradisi yang diciptakan' yang muncul pada 1940-an di India. Gagasan tentang disiplin ekonomi 'yang berbeda dan jelas Islami' ini sangatlah baru. Bahkan seorang Muslim paling terpelajar seabad yang lalu akan tercengang dengan istilah 'ekonomi Islam'.

Ide ini lahir dari gagasan seorang aktivis Islam, Abul-Ala Maududi (1903-1979), yang menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan suatu mekanisme untuk mencapai tujuan-tujuan: untuk meminimalkan hubungan dengan non-Muslim, memperkuat rasa identitas kolektif Muslim, memperluas jangkauan Islam ke daerah aktivitas baru manusia, dan modernisasi tanpa Westernisasi.

Sebagai disiplin akademis, ekonomi Islam bergulir selama pertengahan 1960-an, memperoleh bobot kelembagaannya selama era booming minyak tahun 1970-an. Yakni ketika Saudi dan eksportir Muslim lainnya, untuk pertama kalinya memiliki sejumlah besar uang, menjadikannya sumber 'bantuan besar' bagi proyek tersebut. Di Indonesia, sebutan 'ekonomi Islam' diperlunak menjadi 'ekonomi syariat' berkembang sejak awal 1990-an, ketika Orde Baru mulai ramah terhadap Islam.

Kegagalan Total
Pendukung ekonomi Islam membuat dua klaim dasar: bahwa tatanan kapitalis yang berlaku telah gagal dan bahwa Islam menawarkan obatnya. Untuk menilai pernyataan terakhir ini, Prof. Kuran memberikan perhatian yang kuat untuk memahami fungsi yang sebenarnya dari ekonomi Islam, dengan fokus pada tiga tuntutan utama: bahwa ia telah menghapuskan bunga atas uang, mencapai kesetaraan ekonomi, dan membangun etika bisnis yang superior. Pada semua ketiga hal terbut, Prof Kuran menemukan kegagalan total.

Tidak ada satu tempat pun praktek 'ekonomi Islam' yang berhasil membersihan bunga dari transaksi ekonomi, dan tak ada satu tempat pun Islamisasi ekonomi mendapatkan dukungan massa. Teknik-teknik 'eksotis dan rumit' dalam pembagian laba-rugi seperti ijarah, mudharabah, murabahah, dan musyarakah semua melibatkan pembayaran bunga secara terselubung. Bank yang mengaku Islam sebenarnya 'tak lebih dari sekadar lembaga keuangan modern ketimbang sesuatu yang berasal dari warisan Islam.' Singkatnya, hampir tidak ada sedikitpun Islam dalam perbankan Islam ini - satu hal yang sangat menjelaskan mengapa Citibank dan perbankan kafir lainnya memiliki deposito 'sesuai-Islam' terbesar ketimbang bank-bank yang khas Islam.

Tidak ada sedikitpun keberhasilan dari tujuan mengurangi kesenjangan dengan pengenaan zakat dalam perbankan ini. Memang, Kuran menemukan zakat yang dikelola perbankan ini 'tidak selalu mentransfer sumber daya kepada orang miskin, melainkan justru menjauhkan sumber daya dari mereka.' Kita tahu, rukun zakat mal, mengharuskan zakat ditarik dalam Dinar emas dan Dirham perak, dan dibagikan kepada delapan mustahik. Penetapan zakat dalam perbankan syariah tak lain adalah gimmick semata. Penekanan pada moralitas ekonomi yang diperbarui sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku ekonomi. Itu karena, ada miripnya dengan sosialisme, adanya 'unsur-unsur tertentu dari agenda ekonomi Islam yang bertentangan dengan sifat manusia sendiri.'

Kuran menolak seluruh konsep ekonomi Islam. 'Di sini tidak ada sedikit pun cara yang jelas Islam untuk membangun sebuah kapal, atau mempertahankan suatu wilayah, atau menyembuhkan epidemi, atau ramalan cuaca', lantas mengapa soal uang diadakan? Dia menyimpulkan bahwa signifikansi ekonomi Islam tidak terletak pada substansi ekonomi, tetapi dalam identitas dan agama. Bagi Kuran, skema 'ekonomi Islam' ini lebih mempromosikan penyebaran aliran pemikiran anti-modern yang berkembang di seluruh dunia Islam. Bagi Kuran, ini hanya cocok bagi tumbuhnya lingkungan kondusif untuk militansi Islam, yang salah arah.

Berbagai artikel yang ditulis oleh Kuran, Selama dekade 1990-an, menunjukkan bahwa perbankan slam sangat menguntungkan, dan mereka tetap mengambil dan memberikan bunga, dengan menampilkannya sebagai pendapatan atas risiko. Jadi, bagi Kuran, perbankan Islam hanyalah simbolisme belaka, untuk memberikan kesan global pada gerakan Islamisme.

Kembali Ke Muamalat
Kepalsuan 'ekonomi Islam' semakin banyak terbongkar, baik secara konseptual maupun praktikal. Ekonomi Islam, telah mengalami titik buntunya, dan akan segera berakhir. Secara konseptuan telah berakhir karena semakin dibuktikan ketidakterkaitannya dengan syariat Isalam. Secara praktek ekonomi Islam juga telah berakhir dengan telah kembalinya muamalat. Muamalat, yang jelas berakar dan berasal dari tradisi yang diajarkan Rasul, sallalahu walayhi wa sallam, dipraktekkan oleh para Sahabat, Tabiin dan Tabiit-Tabiin, kini telah mulai dimengerti dan diamalkan kembali di Nusantara, dan di berbagai belahan dunia lainnya.

Koin-koin Dinar emas dan Dirham perak telah ditransaksikan di pasar-pasar. Zakat telah ditarik dan dibagikan sesuai rukunnya, dalam Dinar emas dan Dirham perak. Kontrak-kontrak komersial dan bisnis, qirad dan syirkat, perlahan-lahan telah diterapkan kembali sesuai dengan kaidah aslinya. Harta, perlahan-lahan, semakin banyak keluar dari timbunan perbankan dan berubah menjadi koin-koin emas dan perak, yang berputar di semua kalangan.

Inilah saatnya ketika Dienul Islam telah kembali hadir di tengah kita.

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com

Ekonomi adalah Sumber Masalah

Masalah ekonomi tak akan bisa diselesaikan oleh ekonom. Sebab ekonomi adalah sumber masalah, bukan obatnya 
 
Terminologi 'ekonomi' bukanlah sebuah istilah teknis semata. Ekonomi adalah sebuah ideologi. Kalau mau dilihat dalam tataran teknisnya maka ekonomi adalah kumpulan formula dan aksioma, yang dilengkapi dengan asumsi-asumsi, dari sebuah ideologi, yakni pembenaran dan penerapan riba. Karena itu kata sifat apa pun yang diletakkan di belakang istilah ekonomi, seperti ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis, ekonomi kerakyatan, bahkan ekonomi Islam sekalipun, tidak mengubah sedikit pun substansi dasarnya: pemberlakuan riba dalam kehidupan. 

Sejak masa Orde Baru kita pun selalu diakrabkan dengan frase "Pembangunan Ekonomi" sebagai modus operandi kehidupan berbangsa. Secara internasional, pencapaiannya kemudian diukur dengan berbagai indikator tertentu yang dibakukan, seperti jumlah orang miskin atau penganggur, angka harapan hidup, kesenjangan kaya dan miskin (lewat angka koefisien gini), dan sebagainya, sampai yang paling mutakhir dan dianggap paling "mewakili", karena merupakan "gabungan" sejumlah faktor, yakni Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Sedemikian lazimnya pemakaian indikator-indikator tersebut hingga tidak ada yang mempersoalkan values dan ideologi di baliknya. Lebih-lebih yang kemudian mencari cara pandang lain dalam memahami kemiskinan dan akar penyebabnya.

Dengan satu-dua indikator saja sudah terlihat bahwa umat Islam di Indonesia saat ini makin menderita. Jumlah orang miskin ada 40 juta, bahkan kalau indikatornya adalah pendapatan di bawah US$ 2 per hari, sebagaimana dipakai oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), angkanya mencapai 75 juta. Tingkat pengangguran di atas 10% dari angkatan kerja, sekitar 11 juta orang. Tulisan ini tidak akan mempersoalkan indikator-indikator tersebut lebih jauh, tapi hendak mengajukan satu cara pandang berbeda dalam melihat penderitaan umat dan akar masalahnya, yakni dari kacamata Al Qur'an dan Sunnah. Secara lebih spesifik kerangka yang ditawarkan adalah kerangka muamalat, dengan dua indikator utama, sebagaimana yang dipertentangkan oleh Al Qur'an, yakni perdagangan dan riba.

Riba sebagai Modus Operandi

Dalam al Qur'an Allah SWT menegaskan 'Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba' (Al Baqarah ayat 276). Pernyataan ini perlu dipahami dalam dua hal: ketegasannya dalam mempertentangkan dua cara mencari kekayaan, yakni perdagangan dan riba, di mana yang pertama halal dan yang kedua haram; dan alasannya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang sama, yakni kenyataan bahwa banyak orang menyamakan riba dengan perdagangan. Kebenaran ayat ini mewujud dengan sangat nyata di zaman ini, yang mengakibatkan praktek yang berkebalikan dari hukum Allah, yakni bekerjanya sistem yang menghalalkan riba dan mengharamkan perdagangan. Kita bisa mengenalinya dengan satu ukuran saja yakni nisbah perdagangan (sektor) riil dewasa ini yang hanya 2% dan "perdagangan" (sektor) finansial yang mencapai 98%. 

Nisbah di atas menunjukkan kekayaan yang menumpuk pada segelintir orang, sementara penderitaan ditanggung oleh mayoritas masyarakat (para pekerja keras). Hanya dengan perspektif ini kita dapat memahami dengan jernih akar segala penderitaan umat dewasa ini dan menawarkan solusinya secara mendasar, yakni memerangi riba di satu sisi dan menegakkan kembali perdagangan di sisi lain. Dalam kepustakaan akademik sistem kehidupan yang dibangun di atas fondasi riba dan menjadikan riba sebagai doktrin yang absolut inilah yang disebut sebgai kapitalisme. Ideologi kapitalisme ini oleh para perancang negara modern telah ditetapkan dalam konstitusi dengan elemen utama berupa bank sentral, uang kertas, dan perpajakan. Dan inilah yang disebut dengan ekonomi pembangunan itu dengan dua sayapnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.

Jadi, bangsa Indonesia sesungguhnya telah memilih kapitalisme, yakni sistem riba, sebagai jalan hidup ketika memproklamirkan dirinya sebagai Republik Indonesia. Ketika kekuasaan kolonialisme secara formal meninggalkan bangsa Indonesia ada dua hal yang ditinggalkannya, disusupkan melalui konstitusi republik baru ini, yang kelak terbukti menjadi instrumen efektif untuk melestarikan cengkeraman penindasannya, yakni bank sentral dan uang kertas. Bank sentral, kini disebut Bank Indonesia, kita tahu adalah metamorfosa dari sebuah bank swasta milik sejumlah Yahudi Belanda, De Javasche Bank. Dan dengan itu, bangsa Indonesia mendapat warisan beban utang pemerintah Hindia Belanda, sebesar 4 milyar dolar AS, yang kelak - 65 tahun kemudian - telah beranak-pinak tak terkendali, menjadi sekitar 140-an milyar dolar AS. 

Akibatnya, sesudah 65 tahun "merdeka'', umat Islam Indonesia bukan saja masih tapi makin menderita. Kenyataan ini dapat diukur dengan satu indikator tunggal, yakni daya beli mata uang kertas rupiah, yang dalam 65 tahun ini telah merosot sekitar 200 ribu kali. Ini bermakna, secara riel, bangsa Indonesia telah mengalami pemiskinan 200 ribu kali dibanding dengan sebelum "merdeka". Tak lama sesudah "merdeka", Oktober 1946, Pemerintah RI mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Ketika itu harga dinar emas adalah Rp 8.5/koin, pada bulan Mei 2011, harga dinar emas telah mencapai Rp 1.850 ribu/koin. Akar penyebabnya, tiada lain, adalah sistem riba yang kita jalani selama ini.

Muamalat Jalan Keluar dari Jerat Ekonomi

Dalam konteks ini ada dua pernyataan Rasulullah, salallahualayhi wassalam, yang mendapatkan bukti kebenarannya. Pertama, bahwa akan datang suatu zaman saat kita tidak dapat menemukan seorang pun di dunia ini yang tidak memakan riba dan bahkan orang yang menlak makan riba pun akan ikut terkena debunya (dari hadits riwayat Abu Daud). Kedua, akan datang suatu zaman ketika tidak ada yang tertinggal yang dapat dimanfaatkan (karena habis daya belinya) kecuali dinar dan dirham (dari hadits riwayat Ahmad). 

Maka, memahami ekonomi (baca: kapitalisme) dalam perspektif muamalat akan memberikan pemahaman yang tepat tentang riba, dan segala akibatnya sebagaimana telah dinyatakan oleh hadits-hadits tersebut. Dengan pemahaman yang tepat tentang riba ini, yakni sistem ekonomi dengan segala perangkatnya itu, kita dapat mencari solusi untuk memeranginya, sebagaimana juga dengan tegas dinyatakan dalam al Qur'an, bahwa Allah dan Rasul SAW, menyatakan perang terhadapnya.

Secara ringkas muamalat memiliki lima pilar, yaitu mata uang riil, pasar terbuka, pedagang dan paguyuban pedagang mandiri, satuan-satuan produksi mandiri, dan kontrak-kontrak bisnis dan komersial yang halal, yakni qirad, syirkat, dengan segala variasinya. Tanpa harus disebut sebagai "muamalat kerakyatan", dengan sendirinya pilar-pilar mumalat ini adalah untuk rakyat. Penghapusan riba akan membuka akses finansial, produksi dan pasar, kepada semua orang secara sama. Muamalat memastikan perlindungan kepada seluruh pelaku usaha. Tidak ada pemajakan, tidak ada riba, tidak ada monopoli, tidak ada inflasi. Hukum alam, mekanisme fitrah, akan sepenuhnya berjalan tanpa manipulasi, melalui kebijakan fiskal dan moneter tersebut di atas.

Muamalat adalah satu-satunya jalan keluar bagi kita dari jerat ekonomi. Kita tidak bisa keluar dari persoalan ekonomi dengan jalan ekonomi itu sendiri. Sebab ekonomi adalah akar persoalannya bukan obat bagi penyakitnya. Bahkan bila itu disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Islam sekalipun.

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com