Monday, August 6, 2012

Konsep Gadai (Rahn)

 A.    Definisi Ar-Rahn
Kata "rahn", dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'. Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
Kata "rahinah" bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra'ha', dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn' yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
Adapun definisi "rahn", dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
Adapun Syekh Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya'. Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.

Saturday, August 4, 2012

Konsep Pengalihan Hutang (Hawalah)


Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah oper-kredit (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan "al-hiwalah". Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan permasalahan seputar "al-hiwalah" (oper-kredit) dalam pembahasan berikut ini.
A. Pengertian "al-hiwalah"
Menurut bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'al-intiqal' (pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil ’ahdi" yaitu 'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "al-hiwalah", menurut bahasa, adalah, “Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.” Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
Adapun pengertian "al-hiwalah", menurut istilah para ulama fikih, adalah sebagai berikut, “Pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.”

Konsep Bagi Hasil (Mudharabah)


A.    Definisi Mudharabah
Mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah, qiradh dan qardh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.
Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang. Allah berfirman. Artinya : “(Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan AllahAl-Muzzammil : 20
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaz, disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.
Ada juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil dari qardh, yakni memotong. Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr (7/133).

Wednesday, July 18, 2012

Kritik Dana Talangan Haji


Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu.
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 TENTANG PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Ketentuan Umum :
  1. Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
  2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
  3. Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
  4. Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.

Friday, June 29, 2012

Konsep Hutang (Qardh)


Fokus keshalihan dan ketakwaannya seorang muslim sejatinya tak hanya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tapi juga mu`amalahnya sesama manusia.
Hutang-piutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian. Hutang-piutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282.
Demikian pentingnya masalah hutang-piutang ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam enggan menshalatkan jenazah orang yang berhutang. Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendatangi jenazah seorang  laki-laki untuk dishalatkan, maka beliau bersabda, “Shalatkanlah teman kalian, karena sesungguhnya dia memiliki utang.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Apakah teman kalian ini memiliki utang?” Mereka menjawab, “Ya, dua dinar.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mundur seraya bersabda, “Shalatkanlah teman kalian!” Lalu Abu Qatadah berkata, “Utangnya menjadi tanggunganku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Penuhilah (janjimu)!” Lalu beliau kemudian menyalatkannya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).

Wednesday, June 20, 2012

Abu Bakr Rieger: Bank Islam Bisa Jadi Sama Dengan Whisky Islam


Abu Bakr Rieger adalah seorang pengacara dan pendiri jaringan 'Pengacara Muslim.' Ia juga, presiden European Muslim Union, sebuah organisasi yang menginformasikan dan mempromosikan Islam di Eropa. Berikut adalah petikan wawancaranya dengan globaliamagazine.

Thursday, June 14, 2012

Konsep Jual Beli Salam


Definisi Jual Beli Salam
Kata “salam” berasal dari kata “at-taslim” (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan kata “as-salaf” (السَّلَف), yang mengandung pengertian 'memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil di kemudian hari'. Sedangkan, para ulama mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan 'jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam tanggungan (penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad' (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 148, karya Syekh Shalih Al-Fauzan). Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah 'akad pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan'.

Akad Istishna'


Akad istishna' ialah salah satu bentuk transaksi yang dibolehkan oleh para ulama' sejak dahulu kala, dan menjadi salah satu solusi islami yang tepat dalam dunia perniagaan di masa kini.
DEFINISI

Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185).

Wednesday, June 13, 2012

PRAKTIK RIBA MERAJALELA

PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin
Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda.
Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya. Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.
Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTIK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.
Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama. Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :
  • Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
  • Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
  • Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
  • Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama


Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan. Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

 “Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTIK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

 كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :
Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya”. [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG
Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim didunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harussama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no.1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab,“Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits no 2089 dan Muslim hadits no. 1593]

PRAKTIK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya.
Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.
Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.
Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.
Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehinggatidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.
Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :
  • Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
  • Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama.

Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :
Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.
Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

 Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku dipasar pada saat pembelian dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan.

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktik-praktik riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktik-praktik riba yang belum saya kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi anda sehingga anda semakin waspada terhadap berbagai perangkap riba. Pada akhirnya, saran dan kritik dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 2, Tahun ke-II/Syawal 1432 (Sept-Okt 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
 _______
 Footnote
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/ )
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/  di akses pada 12 Juli 2011)
[5]. Riwayat Ahmad : 2/42, Abu Dawud hadits no. 3464, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah hadits no. 11




Oleh.

Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA

Thursday, May 10, 2012

MENYOROT PARADIGMA FATWA MUI


OLEH: PROF. DR. JUHAYA S. PRAJA
Pengantar
Pada dasarnya fatwa mengenai masalah hukum yang sama dapat melahirkan keputusan fatwa hukum yang  berbeda. Keragaman putusan mengenai fatwa selalu bergantung kepada siapa yang meminta fatwa yang terikat pula perbedaan ruang dan waktu serta nilai manfaat fatwa itu sendiri bagi peminta fatwa dan atau masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Proses fatwa ini dapat kita lacak hingga pada masa Rasulullah saw. Sebagai ilusatrasi dapat direkam beberapa peristiwa yang terekam dalam sejumlah  hadis sbb.: Suatu hari seseorang beda fatwa kepada Rasulullah dengan mengungkapkan kalimat: Ayyu ‘amalin afdhal ya Rasulullah? (dalam sebagian lain bunyui matan hadisnya: ayyu ‘amalin athyabu ya Rasulullalah) Rasulullah menjawab: Asholatu ‘ala waqtiha. Pada saat yang berbeda datang pula seseorang mengungkapkan pertanyaan yang sama. Akana tetapi, Rasulullah menjawab: Birrulwalidayn. Ada lagi yang lain datang dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah yang dijawab: ‘Amalalurajul biyadihi wa bay’un mabrurun. Prosedur fatwa untuk mendapatkan jawaban hukum pada masa Rasulullah pun ada yang kemudian dijadikan dasar hukum acara. Hal serupa ini terekam dalam al-Jami’ al-Sahahih lil-Bukhary; yaitu ketika seorang wanita bernama Hindun mengadukan suaminya bernama Abu Sofyan yang dikenal orang kaya tetapi sangat bakhil untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Nabi pun memberikan fatwanya tanpa menghadirkan suaminya yang boleh jadi disebut pihak tergugat. Rasulullah mengatakan: khudzi laki waliwalidiki ma yakfiki! Jawaban Raulullah atas kasus Hindun ini kemudian diberi judul dalam Kirab Shahih Bukhari: al-Qadla ‘ala al-Ghaib yang artinya sama dengan Putusan Verstek dalam hukum acara perdata.
            Perubahan atau perbedaan putusan fatwa atas kasus yang sama terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya. Maka terumuskanlah teori perubahan fatwa sebagaimanya terekam dalam Kitab I’lam al-AMuwaqqi’in karya Ibn al-Qoyyim al-Jawziyyah yang berbunyi : taghayyur al-fatwa bitaghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-niyyat wa al-‘awa’id
            Secara institusional pun lahirlah lembaga fatwa dan mufti dalam sejarah ketatanegarran Islam. Institusi ini muncul ketika kepala Negara da pemerintahan pada masa institusi Khilafah tidak lagi dipegang oleh personal yang mumpuni sebagaiamana pada masa al-Khulafa al-Rasyidun. Maka, Mufti menempati posisi dan spectrum yang amat luas dan penting, -seperti putusan akhir Hakim Agung-, dalam membina hukum Islam dan menjadi putusan akhir dari segala kontroversi hukum sebagaimana dinyatakan dalam fiqh legal maxim: istbat al-Hakim yarfa’ al-khilaf. Keputusan hukum penguasa sekaligus meneghentikan perbedaan pendapat.

MUI: INTITUSI DAN PARADIGMANYA

            Belakangan ini institusi Majlis Ulama Indonesia (MUI) dipertanyakan status dan -kekuatan hukum fatwa-fatwanya. Terutama setelah mengeluarkan fatwa haram merokok yang disusul dengan fatwa yang sama oleh Ormas Muhammadiyyah. Sebelumnya terbit pula fatwa tentang haramnya melakukan tindakan Golongan Putih atau Golput alias tidak ikut serta dalam Pemilihan Umum. Namun masyarakat Islam berlaku apatis atas fatwa-fatwa serupa itu kalau tidak disebut mentertawakanya. Mengapa? Karena fatwa-fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan kepastian hukum yang kuat dan tidak pula mempunyai kekuatan polisional.
            Mengingat fatwa ini bersifat ijitihadi dan kebenaranya sangat relative dan tidak mengikat dengan tidak adanya law inforcement sebagai kekuatan polisional. Melacak asal-usul lahirnya intitusi MUI dapat dilacak dalam karya disertasi Syamsuri Shidiq, Peran MUI Jawa Barat dalam Menyelesaikan Pemberontakan DI/TII DI Jawa Barat, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2009). MUI lahir di Jawa Barat sebagai solusi penyelesaian konflik politik dan berlanjut perlawan bersenjata dari DI/TII. Pemerintah bersama Ulama Jawa Barat mencari solusi damai dalam menyelesaikan konflik tersebut. Maka terbentuklah MUI yang dipimpin oleh Panglima/Penguasa Perang yang beranggotakan Pangdam Siliwangi, Kepala Daerah dan para Ulama. Paradigmanya berasal dari pemikiran Ibn Taymiyyah yang kemudian diklaim sebagai hadis (? = hadis masyhur) yang berbunyi: shinfani minannas; al-ulama’ wa al-‘umara; idza sholuhaa sholuhal ummat wa idza fasadaa, fasada al-ummah. Ada dua kelompok manusia: Ulama dan Umara. Apabila Ulama dan Umara itu harmoni, maka harmonilah keseluruhan umat; apabila Ulama dan Umara itu berpecah, maka pecah belahlah umat. Paradigma ini berkembang manakala MUI sudah menjadi institusi nasional. Pemohon fatwa seringkali dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, maka paradigma kedua pun terbangun yakni: permohonan “fatwa” tentang apapun dan “bunyi” fatwanya akan dikabulkan sesuai “pesanan” umara oleh MUI selama di luar hal-hal yang prinsip dan bersifat akidah, antara lain, bukan fatwa yang termasuk dalam katagori ma ‘ulima minaddin al-dharuruah.

Prosedur Fatwa LPPOM:
Sebuah Pengalaman

            LP-POM dimulai dari MUI Jawa Barat. Kelahiranya karena tuntutan “pasar’ untuk memberikan ketenteraman kaum muslimin dalam mengkonsumsi makanan, obat-obatan dan kosmetika yang halal. Berikut dikemukakan beberapa contoh kasus sertifikasi halal makanan, obat-obatan. Dodol Garut; Sosis dan Bakso; Jam dan Obat Batuk
            Dodol Garut adalah makanan khas dari kabupaten ‘Garut Jawa Barat, makanan yang dibuat dari tepung beras ketan, santan kelapa, air, gula, dan full cream. Dodol Garut bermasalah kehalalnya karena full cream atau tepung susu bisa dibuat dari susu ternak halal sebagaimana terbuat dari ternak haram, yakni babi. Perusahaan Dodol Garut melakuklan kontrak dagang dengan Malaysia dengan syarat ada jaminan bahwa semua komponen dijamin halal dan dibuktikan dengan sertifikat halal yang resmi (MUI). Maka MUI jawa Barat pun diminta melakukan sertifikasi. Tentu saja MUI menunjuk auditornyua untuk turun ke lapangan, pabrik Dodol Garut untuk menelusuri alur produk dan asal-usul bahan bakunya. Auditor menemukan bahan baku susu bubuknya belum memiliki sertifikasi halal dari Negara asalnya yakni Australia. Maka MUI Jawa Barat merekomondesaikan mengganti bahan bakunya dari produk yang bersertifikasi halal dari negara asalnya. Karena MUI Jawa Barat “menolak” menerbitkan sertifikasi halal, maka pengusaha Dodol Garut meminta sertifikasi halal dari MUI Pusat, Jakarta. Karena kalau dia mengambil susu bubuk dari merek lain maka akan menimpa kerugian yang besar pada pengusaha susu bubuk langanya. MUI Pusat bersedia mensertifikasinya dengan syarat Pengusaha membiayai auditor MUI untuk melakukan penelitian di Negara asal susu bubuk di Australia. Maka auditor MUI pun berangkat ke Australia. Disini terdapat bukti bahwa hukum mempunyai pengaruh pada kehidupan ekonomi!
            Sosis dan Bakso; Masalah hukum sosis dan baso ada dua hal utama. Pada sosis ada bahan baku yang disebut collagen cashing yang dapt dibuat dari bahan baku nabati dan hewani. Bahan baku nabati tidak ada masalah hukumnya; semuanya halal. Akan tetapi bahan baku hewani bermasalah karena hanya bahan baku berasal dari tulang belulang ayam dan atau tulang belulang dan kulit babi. Kalau auditor menemukan asal asul bahan baku tulang belulang ayam maka auditor mesti berlanjut pada penelusuran bagaimana ayam itu disembelih; secara Islam, sesuai tuntutan hukum Islam atau tidak. Kalau asal-usulnya dari tulang belulang dan kulit babi jelas sekali haramnya. Masalah berkutnya adalah apabila produk sosi dan bakso itu diproduksi dalam satu pabrik: sosis-baso ayam, sapid an babi dibuat dalam pabrik yang sama. Karena “wajan” alat pembuatnya dalam wadah yang sama, tentu telah bercampurnya bahan baku yang halal dan yang haram; Maslah hukum yang lain bila produk sosis-baso ayam, sapi dan babi itu “artificial”, yakni menggunakan “rasa” ayam, sapi, dan babi. Padahal semua bahan bakunya terbuat dari bahan baku yang sama dan halal, yakni cangkang kacang tanah; hanya dibuat bumbu rasanya aja yang berbeda. Temuan disini: Teknologi makanan memeerlukan partisipasi pakar hukum dalam pemasaran produknya.
            Seorang apoteker meminta fatwa apakah ia berhenti menjalani profesinya sebagai apoteker atau terus dengan profesinya dengan resiko membuat obat dari bahan baku lemak babi. Salah satu contoh kasusnya adalah obat batur. OBH (Obat Batuk Hitam yang seringkali diplesetkan Obat Batuk Haji) adalah obat batuk yang ada dedaknya seperti minuman kopi. Mengapa demikian, karena OBH tidak ada campuran lemak babinya. SEtiap obat batuk yang larut pasi dicampur dengan lemak babi. Akan tetapi keajaiban obat batuk yang larut itu apabila diurai ulang secara kimiawi maka asal-usul lemak babi tidak dap dideteksi. Berbeda dengan bahan makanan dan atau kosmetika yang mengandung daging babi, kini ada tester yang secara otomatis dapa mendeteksi asal-usul dari daging babi. Lemak babi bias luluh dan menyatu dengan secara kimiawi dengan bahan baku lain yang halal. Fatwanya adalah pada perubahan benda. Bagaikan khamar bila elah berubah dzatnya menjadi cuka, maka menjadi halal; atau bagaikan air suci dan mensucikan menjadi tidak suci dan tidak mensucikan bahkan menjadi benda najis apabila telah berubah, warna, rasa, dan baunya. Maka, berdasarkan mafhum mukhalafah dan muwafaqah: lemak babi yang haram menjadi halal apabila telah berubah wujudnya; warana, rasa, dan baunya.  Disini ditemukan pembenaran kaidah: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman.
            Jam adalah makanan pelengkap roti. Ada beberapa rasa jam, nenas, strawberry dsb. Alat pengikat rasa pada jam itu adalah alcohol; Pada kasus Jam rasa nenaslah yang paling bermasalah, karena kadar alcohol sebagai pengikat rasanya relative tinggi. Kasus Jam ini seperti kasus air tape dengan room yang dijadikan bahan baku pembuat kueh. ADa pengusaha produk makanan menghindari room karena kadar alkoholnya tinggi dan menggantinya dengan air tape ketan. Akan tetapi, setelah MUI Jawa Barat bekerjasama dengan Laoratoriium Institut Teknologi Bandung (ITB) dijumpai kadar alcohol air tapae itu tinggi sekali dan masuk katagori yang haram. Hal serupa terjadi pada kasus pembuatan tahu yang menggunakan asam tahu untuk pengeras tahu. Asam tahu dibuat dari saripati kadelai yang telah difermentasi maka kadarnya sama dengan etanol: tidak memabukkan kalau diminum; tetapi hanya mematikan. Akan tetapi, ajaibnya, kalau asam tahu tahu itu disiramkan kepada “adonan” tahu, maka tahu akan mengeras dan mudah diiris menjadi tahun yang enak dan sama sekali tidak memabukkan, malah membuat tahu menjadi enak dan lezat. Lagi-lagi ini temuan yang membuktikan kebenaran kaedah perubahan hukum Ibn al-Qoyyuim al-Jawziyyah.
            Manakala tahun 1992 Presiden Soeharto mensponsori berdirinya Bank Mu’amalah, maka institusi perbankan syariah terus berkembang. Peran sentral MUI dipertaruhkan, akan tetapi menimbulkan masalah hukum. Mungkinkah MUI mengatur hukum public, perbankan; Bisakah lembaaga privat mengatur lembaga public. Dalam teori hukum itu tidak mungkin terjadi Jalan keluarnya adalah MUI membentuk badan untuk kepentingan perlindungan syariah. Maka didirikan Dewan Syariah Nasional, tempat dan institusi yang bertuga mengawasi operasional perbankan syariah agar sesuai dengan nilai dan norma serta hukum syariah.

DSN (Dewan Syariah Nasional)
dan Pembinaan Hukum Perbankan Syariah

            Sejak didirikanya, DSN telah banyak memproduksi Fatwa Hukum, terutama mengenai produk-produk perbankan syariah dan membuat pedoman bagi anggota Dewan Pengawas Syariah pada Perbankan Syariah di tanah air termasuk pedoman akuntansi syariahnya. Produk-produk fatwa DSN banyak yang diadopsi menjadi materi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diterbitkan Mahkamah Agung RI dan melalui surat edaranya KHES harus menjadi pedoman para hakim di Peradilan Agama dalam memutus perkara atau sengketa ekonomi syariah sesuai Undang Undang No.3/2006. Dengan demikian disini ditemukan bahwa fatwa hukum Islam di Indonesia telah memasuki dan menjadibagian dar pembinaan hukum nasional dalam dunia perbankan syariah.

Penutup
            Berdasarkan uraian singkat di atas, maka saya ingin merekomendasikan beberapa hal berikut di bawah ini:
  1. Status MUI ditingkatkan menjadi lembaga fatwa nasional yang mempunyai kekuatan hukum dan law enforcement. Dalam hal ini perlu disiapkan Standard Operational Procedure (SOP) menyangkut institusi, personalia, struiktur, substansi dan materi hukum yang memadai;
  2. Perlu kajian institusi MUI yang berkelanjutan dan mengembangkan produk-produk fatwa yang meaningfull bagi pembinaan hukum di Indonesia sehingga hukum Islam menjadi inseparable living law dalam system hukum nasional.
Disampaikan dalam Diskusi Terbatas Hukum Islam di Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (PPs FIAI UII) Yogyakata, Jumat 5 November 2010
 http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=57