Saturday, March 31, 2012

Awas Riba Terselubung di Bank Syariah!


“Bank syariah kok tidak syariah?”
 
“Apa memang seperti itu yang dinamakan syariah?”

“Banyak orang ragu dengan bank dan lembaga keuangan syariah?”
 
140 + X halaman
Begitulah orang berkata. Terasa menyakitkan bagi kita yang sedang berjuang untuk menegakkan ekonomi Islam di Indonesia. Rasanya seperti menyerang, dan apatis. Padahal, sejatinya mereka yang berkata ‘miring’ itu justru mencintai ekonomi Islam—bank dan lembaga keuangan syariah khususnya. Mereka menghendaki sesuatu yang lebih baik, seperti yang sering kita katakan, “Ekonomi Islam adalah konsep keadilan dan kesejahteraan dalam berekonomi.” Untuk itulah, kami mencoba menelusuri dan menemukan beberapa ‘titik rawan’ yang bisa saja menjadi celah untuk pelanggaran ketentuan dalam praktik ekonomi Islam.

Lalu lahirlah buku ini—yang lagi-lagi meramaikan persoalan riba—untuk mendetailkan ‘titik rawan’ tersebut; kemudian dibahas dan diupayakan solusinya. Sebagaimana adanya risiko dalam sebuah bisnis, bank dan lembaga keuangan syariah juga memiliki risiko dalam konteks praktik dan pengawasan syariah. Riba tetap akan menjadi bahasan utama, itu karena bank syariah dimunculkan sebagai ‘bank anti riba’. Konsep yang dibuat hingga standar operasional sudah mengarah pada semangat menjunjung tinggi anti riba itu. Lalu muncul pula pergantian istilah dari ‘kredit’ menjadi ‘pembiayaan’, dan berbagai istilah syariah lainnya. Juga diawali pengharaman ‘bunga bank’ yang sangat identik dengan riba pinjaman. Untuk itu, di bab pertama buku ini akan kembali membahas tentang konsep dasar riba—yang sebenarnya sudah banyak dibahas oleh ekonom muslim—sebagai pengingat kita akan bahaya riba.

Tidak berhenti disitu saja, justru yang menjadi masalah adalah aplikasi dari konsep anti riba itu. Kepedulian kami akan hal itu justru dilandasi karena adanya indikasi riba—yang tidak hanya pada bunga kredit—tetapi pada biaya administrasi pembiayaan. Sebenarnya, beberapa pihak sudah melihat celah tersebut, untuk itu kami membahasnya dalam buku ini yang insya Allah akan menjawab persoalan adanya indikasi ‘riba terselubung’. Tentu bukan tuduhan semata, melainkan penelusuran yang kami lakukan untuk menjadikan masalah tersebut lebih jelas lagi, dan ikut serta memberikan solusinya.

Tidak ada niatan lain dari kami kecuali mengajak pada kebaikan. Terutama soal celah dalam pelanggaran akad, maupun praktik transaksi yang tidak sesuai dengan akad yang telah dibuat. Bila pada kenyataannya praktik tersebut hanya dilakukan oleh beberapa oknum saja, namun kami berusaha seobjektif mungkin dalam mendeteksi kebocoran prinsip syariah itu. Sebagaimana dalam prinsip manajemen risiko, maka saat risiko terdeteksi semestinya ada pengendalian dan pengawasan risiko tersebut. Tentu kami berharap, kesadaran tentang praktik syariah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah semata. Namun, menjadi kesadaran kita semua yang terlibat aktif dalam penegakkan ekonomi Islam. Untuk itu, silakan disimak buku ini, dan mari kita diskusikan. []

Nb. Pemesanan bisa transfer ke rek BSM 030-00-60862 a.n Edo Segara. Harga Rp. 35.000,- (belum termasuk ongkir). Setelah transfer bisa sms alamat ke 082138100707 

Al-`UQUD AL-MURAKKABAH


Salah satu parameter untuk menilai suatu produk apakah telah memenuhi prinsip syariah atau tidak adalah dengan memperhatikan akad-akad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk tersebut. Produk-produk dalam kegiatan keuangan syariah, jika terhadapnya dilakukan al-takyif al-fiqi, beberapa atau bahkan sebagian terbesar ternyata mengandung beberapa akad. Sebagai contoh, dalam transaksi kartu kredit syariah terdapat akad ijarah, qardh, dan kafalah; obligasi syariah mengandung sekurang-kurangnya akad mudharabah (atau ijarah) dan wakalah, serta terkadang disertai kafalah atau wa’d; Islamic Swap mengandung beberapakali akad tawarruq, bai’, wakalah, sharf dan terkadang atau selalau disertai wa’d, dana talangan haji mengandung akad ijarah dan qard. Dalam setiap transaksi, akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau setidak-tidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk tidak bisa ditinggalkan, karena kesemuanya merupakan satu kesatuan. Transaksi seperti itulah yang dalam tulisan ini diistilahkan dengan ”Multi Akd” yang kini dalam peristilahan fiqh muamalat kontemporer (fiqh al-mu’amalat al-maliyah al-mu’ashirah) disebut dengan al-’uqud al-murakkabah.
Perbincangan dan perdebatan mengenai keabsahan multi akad ini muncul bukan tanpa sebab. Sejumlah hadis Nabi –sekurangnya tiga buah hadis—secara lahiriah (ma’na zhahir)—menunjukkan larangan penggunaan multi akad. Misalnya, hadis tentang larangan untuk melakukan bai’ dan salaf, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan shafqataini fi shafqatin. Dengan adanya hadis-hadis tersebut kiranya sangat wajar jika timbul pertanyaan, apakah produk-produk keuangan syariah yang menggunakan multi akad dapat diapandang memenuhi prinsip syariah atau sebaliknya.
A. Definisi Multi Akad
Dalam istilah fiqh, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Sedangkan kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u, yakni mengumpulkan atau menghimpun. (Al-Tahânawi, Kasysyâf Ishthilâhât al-Funûn, (Beirut: Dâr Shâdir, tt.), J. 2, hal. 534 kata al-jam’ menunjukkan berkumpulnya sesuatu (tadhâmm al-syai’))

Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fiqh adalah sebagai berikut:
Menurut penggagasnya, al-uqud al-murakkabah adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Nazih Hammad, Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).

Akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah: "Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad." Nazîh Hammâd, Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005), cet. ke-1, hal. 7

Sedangkan menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah: "Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik-- sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad." Abdullâh bin Muhammad bin Abdullâh al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 46

Hukum Multi Akad
Al-Syâtiby : “Penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari sesuatu kumpulan (akad) tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri”. Al-Syâtiby, Al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146

Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya, artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh.

Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.

Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69

Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan. Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317


Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 383

Al-Syâtiby, Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud). Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284
Pendapat ini juga didukung oleh kaidah fiqhiyah yang mengelompokkan akad, syarat, dan kegiatan keuangan lainnya sebagai kegiatan hubungan sosial. Dalam bidang ini berlaku kaidah umum al-ashlu fî al-mu’âmalah al-ibâhah atau al-‘âdah muhakkamah. Berangkat dari sini, semua kegiatan sosial muamalah hukumnya boleh kecuali yang telah nyata jelas disebutkan keharamannya.35

Ulama lain, terutama dari kalangan Dhâhiriyyah mengharamkan multi akad. Menurut kalangan Dhahiriyah hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama. Kalangan Dhahiriyah beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash-nasah agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan perbuatan seperti ini dianggap melampaui batas agama, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an:“Barangsiapa melampaui ketentuan-ketentuan Allah, maka merekalah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Baqarah : 229)

Dalil lain yang menguatkan pendapat Dhahiriyah ini adalah hadis Nabi Muhammad yang mengatakan: “Dari Aisyah, Nabi bersabda: Tiadalah sekelompok orang membuat syarat-syarat (perjanjian) yang tidak terdapat dalam al-Qur’an?. Setiap perjanjian yang tidak dinyatakan dalam al-Qur’an hukumnya batal, meskipun seratus perjanjian. Ketentuan Allah lebih benar dan perjanjian-Nya lebih kuat”. (HR. Bukhari)

Menurut hadis ini, semua akad, syarat, dan janji dilarang selama tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Artinya, akad yang dibolehkan hanyalah akad yang telah dijelaskan dalam dua sumber hukum tersebut. Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, al-Muhalla, j.5, (Kairo: Dâr al-Turâts, tt.), hal. 15
Menurut penggagasnya, akad rangkap hukumnya mubah berdasar kaidah fikih : al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah (hukum asal muamalah adalah boleh). Maka hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli dalam satu jual beli (baiataini fi baiatin), atau mengharamkan dua akad dalam satu akad (shafqatain fi shafqatin), dipahami hanya perkecualian dari hukum asalnya. (Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer, hal. 13).
Maka alasan kaidah fiqih yang digunakan tidak tepat. Dengan mendalami asal-usulnya, nyatalah kaidah itu hanya cabang dari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh). Padahal nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda (materi), bukan tentang hukum muamalah (perbuatan manusia). (Hisyam Badrani, Tahqiq Al-Fikr Al-Islami, hal. 39).
Kedua, ada nash yang melarang penggabungan akad. Ibnu Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Hadits ini bukan perkecualian, melainkan larangan menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad yang digabungkan bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq yajri ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ala at-taqyid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208).
Muhammad Shiddiq al-Jawi

Batasan-batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:

1. Multi akad dilarang karena nash agama Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli, dan dua transaksi dalam satu transaksi.
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman". (HR. Ahmad) Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-'Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178

Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab al-‘Âlamîn, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, tt.), j. 3, hal. 153

Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, j. 2, hal. 162 juga Ibn Qudâmah, al-Mughniy, j. 6, hal. 334
Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.

Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
Banyak pendapat dari para ulama mengenai maksud dari dua jual beli dalam satu jual beli. Pendapat yang dipilih (râjih) dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba. Pendapat ini menafsirkan bahwa seseorang menjual sesuatu dengan dibayar secara cicil, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada yang menjual dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad seperti ini merupaka hîlah dari terjerumus pada riba, dan sebenarnya tidak terjadi akad jual beli dalam transaksi tersebut.

Jual beli seperti di atas dilarang manakala sebuah akad yang mengandung dua jual beli, salah satu dari jual beli itu dinyatakan sah dan mengikat (lazim) sebelum para pihak berpisah namun tidak ditentukan jual beli manakah yang dinyatakan sah dan mengikat tersebut. 'Illat larangan bentuk jual beli ini adalah ketidakpastian (ررغ) yang timbul dari ketidakjelasan (ةلاهج) nilai harga.

2. Multi akad sebagai hîlah ribawi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah riba fadhl.

a. al-‘înah
Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hîlah riba dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak factual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba nasa', bukan bertujuan pada harga dan barang. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 250
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba. Ibn Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 263 juga Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyâf al-Qanâ’ 'an Matn al-Iqnâ', j.3, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1402 H), hal. 174

b. Hîlah riba fadhl
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri. (Imam Muslim, Sahîh Muslim, j. 3, hal. 1208, juga Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhâry, j. 3, hal. 97)
Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya. (Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 238)

3. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba

Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
a. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi. Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung riba. Abu Barakat Ahmad al-Dardîr, Al-Syarh al-Kabîr ‘ala al-Maqna’, j. 12, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hal. 132, (Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Raudhat al-Thâlibîn, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1412 H), cet ke- 1, hal. 398)

b. Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur riba di dalamnya. (Ibn Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 436, Ibn Taimiyah, Majmû’ Fatâwa Ibn Taimiyyah, j. 29, hal. 334)

4. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182)

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa keharaman multi akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal; dilarang agama atau hîlah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan ketidakjelasan (jahâlah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi akad yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek yang sama. Dengan kata lain, multi akad yang memenuhi prinsip syariah adalah multi akad yang memenuhi standar atau dhawabit sebagaimana telah dikemukakan. Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Tulisan ini proses editing antara tulisan Muhammad Shiddiq al-Jawi dan DR. H. Hasanudin, M.Ag tentang Multi Akad dalam Transaksi Mu`amalat.

HUKUM PERKREDITAN


Macam-Macam Praktek Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang, kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak ketiga.
Dengan demikian pembeli sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua: Pemilik barang.
Pihak ketiga: Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para ulama’:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiindan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur Rayah 4/43 , dan At Tahqiq2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan Muslim.
[5] ) Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.