Wednesday, December 21, 2011

PERLUKAH CREDIT CARD DI SYARI`AHKAN...?


  • Di zaman yang semakin modern ini, Anda tak perlu lagi membawa segepok uang untuk keperluan belanja. Cukup menyimpan kartu plastik berukuran panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter di dompet dan menggeseknya di lokasi belanja berlogo Visa, MasterCard, American Express, Maestro, Diners Club, atau Mondex.
  • Transaksi mendunia tanpa uang tunai mulai menjadi tren sejak ditemukannya kartu plastik (plastic card) atau kartu pintar (smart card) seiring perkembangan ekonomi dan budaya masyarakat yang mulai meninggalkan kebiasaaan memakai uang tunai (cashless society).
  • Kartu substitusi uang ini mencakupi ATM (Automatic Teller Machine) yang merupakan asesoris tabungan atau giro, kartu debet (debit card), kartu tunai (cash card) atau kartu aset (asset card), kartu tagihan (charge card) yang ditagih pada saat jatuh tempo, serta kartu kredit (credit card) sebagai alat pembayaran atau instrumen fasilitas kredit.
  • Bisnis kartu kredit yang kian gebyar ternyata menggoda sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit yang syariah, meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia konsumtif, kredit macet, dan beban utang yang berkelanjutan, sehingga memerlukan penelusuran yang transparan sejauh mana urgensi kartu kredit dalam dunia perbankan syariah di Indonesia lewat lorong yang objektif.
  • Hasil survei The Nilson Report per Maret 2002 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 terdapat 94 juta pemegang kartu kredit (cardholder) terbitan Visa dan 92,1 juta MasterCard dengan total kartu sebanyak 493,4 juta (kartu utama dan supplement). Nilai belanjanya menyentuh angka 818,15 miliar dolar AS dengan pengambilan tunai(cash advance) sebesar 194.9 miliar dolar AS (24 persen).
  • Jumlah kedua kartu yang beredar di Indonesia mencapai 6,6 juta dengan nilai transaksi 2,9 miliar dolar AS, termasuk aktivitas belanja sebesar 1,6 miliar dolar AS yang bervolume 80,1 juta transaksi, meski relatif kecil dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, New Zealand, Hongkong, Taiwan, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Jepang. Padahal kondisi Indonesia masih didominasi oleh masyarakat yang tergolong cash based society (menggunakan uang tunai).
  • Belakangan tren penggunaan kartu kredit tersebut makin marak seiring dengan kemudahan akses untuk berbelanja, tawaran program belanja yang menarik, serta berbagai hadiah yang pernah diluncurkan oleh para issuer seperti VW Beetle, Audi TT, BMW Z3, Toyota RAV4, dan Isuzu Phanter.
  • Selain itu penggunaan produk kartu kredit semakin dikembangkan lewat program cross selling untuk pembayaran kewajiban angsuran premi asuransi, telepon, penarikan tunai, penjualan produk gaya hidup, furnitur, dan elektronik untuk keperluan rumah tangga (merchandising), sehingga berpengaruh terhadap cashflow dan menggerogoti dana darurat (emergency fund) keuangan keluarga akibat kewajiban cicilan yang semakin membengkak.
  • Persaingan bisnis yang terjadi kadangkala mengabaikan prudential banking dengan menerabas standar pendapatan (income) calon pemegang kartu, jumlah kartu kredit yang telah dimiliki, tawaran belanja dengan cicilan berjangka yang melebihi kapasitas finansial, serta lemahnya pengawasan terhadap agen penjualan yang mempengaruhi kualitas acquisition (perolehan account).
  • Konsumsi merupakan faktor pemicu fungsi produksi dan distribusi yang akan menggerakkan roda perekonomian, sehingga menimbulkan tabiat produsen yang berusaha mengeksploitasi need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand.
  • Kondisi di atas secara jeli telah dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk menggaet konsumen lewat kemudahan belanja, keringanan cicilan, aneka hadiah, serta penghargaan terhadap customer loyalty yang menggiring konsumen kepada utang yang berkelanjutan.
  • Pola penawaran yang dilakukan pebisnis kartu kredit tidak terlepas dari dualisme sebagai alat pembayaran (payment system) dan memacu penggunaan (usage) yang menyerang wilayah keinginan (wants) seseorang daripada kebutuhan(needs), sehingga melahirkan tawaran konsumtif yang cenderung boros karena adanya kemudahan belanja, pesta diskon, cicilan ringan dengan minimum pembayaran (minimum payment) berkisar 5 – 10 persen, serta program reward pointyang menyentuh psikologis pembeli (cardholder).
  • Padahal Islam menuntut agar mengkonsumsi sesuatu yang memberikan manfaat dan kemaslahatan serta mengabaikan kemubaziran atau pemborosan yang mengarah konsumerisme seperti firman Allah dalam Surat Al-Israa’ ayat 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. ”
  • Untuk itu diperlukan perencanaan keuangan yang saat ini mulai berkembang dan dikenal populer dengan sebutan financial planning (perencanaan keuangan) atau wealth management (manajemen kekayaan) yang berseberangan dengan perilaku berutang, khususnya utang jangka pendek, terutama kartu kredit yang berbasis bunga tinggi.
  • Hal ini sejalan dengan pandangan Islam yang melarang pengeluaran inefisien terhadap orang yang mengaku beriman yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maaidah: 87).
  • Perilaku hidup sederhana dan tidak konsumtif merupakan tuntutan hidup seorang Muslim. Islam melarang umatnya berlaku kikir dan tidak dibenarkan membelanjakan harta secara berlebihan melampaui kewajaran seperti tuntutan Allah SWT dalam Surat Al-Furqaan Ayat 67) ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
  • Pola konsumsi yang dianut jangan sampai menimbulkan masalah ekonomis yang berujung pada realitas lebih besar pasak daripada tiang (berutang). Untuk itu dituntut selektif disertai skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan agar tidak bermewah-mewah, sehingga terhindar dari sinyalemen yang diingatkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (Al-Takaasur 1-2)
  • Harus ada skala prioritas dalam penerapan aktivitas kehidupan sehari-hari menurut Islam. Misalnya dalam penggunaan kartu kredit syari’ah dan sejenisnya bukanlah pada tingkatan martabat dharuriyat (primer) karena selama masih ada jenis pembiayaan lain yang lebih Islami, kartu ini tidak diperlukan. Jadi kartu kredit syari’ah dan sejenisnya masuk dalam kategori martabat hajjiyat (sekunder) atau malah martabat tahsinat (pelengkap) apabila masih dapat digunakan jenis pembiayaan lain, misalnya kartu debet.
  • Kerawanan kartu kredit terletak pada pembebanan bunga ketika pemegang kartu tidak mampu membayar pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan penggandaan bunga yang berlipat dan terpuruk dalam perangkap kapitalisme global. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak melunasi ketika tagihan jatuh tempo.
  • Kartu kredit syariah pertama di dunia diluncurkan oleh AmBank Malaysia (semula dikenal Arab-Bank Malaysian Bank Berhad) dengan nama Al Taslif Credit Card tahun 1996 yang menimbulkan pro dan kontra dengan skim bai bithaman ajil(bayar tangguh). Kemudian diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pertengahan 2002 dengan nama Bank Islam Card dan ArabBangking Corporation (ABC) Islamic Bank Bahrain pada akhir 2002, serta As Shamil Bank danTadamon Islamic Bank. Namun di Malaysia kurang berkembang pesat hingga kini (Republika, 21 Juli 2005).
  • Proses pembuatan kartu kredit syariah mengalami kendala dalam hal penetapan harga jual, karena harga pada akad jual beli ditentukan di awal sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Sedang harga tangguh suatu barang dan jasa pada kartu kredit bisa berubah akibat semakin lamanya pembayaran, sehingga sulit menentukan harga jual yang akurat.
  • Selain itu bagaimana mengawasi keabsahan berbagai item transaksi barang dan jasa yang menyangkut perbedaan akad, serta mendeteksi transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah, meski bisa dilakukan dengan cara menambah chip yang berfungsi mendeteksi barang dan jasa yang haram seperti yang telah dipraktikkan oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada produknya Bank Islam Card?
  • Bagaimana bila seseorang melakukan pembelian perhiasan emas dengan menggunakan kartu kredit, lalu perhiasan tersebut dijual untuk mendapatkan uang tunai? Bagaimana pula jika dipakai untuk membeli makanan yang tidak jelas kehalalannya seperti di restoran yang tidak memiliki sertifikasi halal? Mungkin masih banyak pertanyaan lain yang menganga lebar dalam menerapkan standar ideal di negeri yang lemah fungsi pengawasannya.
  • Menurut data Bank Indonesia, transaksi kartu kredit di Indonesia per 31 Desember 2004 telah mencapai Rp 37 triliun (bandingkan dengan tahun 2001 yang berkisar Rp 28 triliun) dan di antaranya senilai Rp 11 triliun (30 persen) berbentuk cicilan (kredit), sehingga terdapat angka kredit macet sebesar Rp 1,2 triliun (11 persen).
  • Angka ini sungguh fantastis dan jauh melebihi batas toleransi Non Performing Loan (NPL) kredit standar yang hanya lima persen, sehingga menjadi faktor potensial yang berkontribusi terhadap kredit bermasalah yang terus menggayuti perbankan nasional. Kondisi ini sekaligus dapat dijadikan acuan terhadap rencana penerbitan kartu kredit syariah agar kelak tidak terjadi shifting (pengalihan) persoalan dari konvensional ke syariah yang berdampak terhadap reputasi perbankan syariah yang berbasis sektor riil.
  • Peluang bisnis yang ingin ditangkap bank syariah untuk segmen pasar kartu kredit dapat dilakukan dengan pengembangan bisnis merchandising. Karena tingkat suku bunga yang ditawarkan merchandising unit kartu kredit relatif lebih tinggi dibanding kredit biasa, sehingga dapat diterapkan jual beli (murabahah) yang murah dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, asalkan dilakukan secara langsung, selektif, dan prudential.
  • Wacana peluncuran kartu kredit versi syariah perlu dipikirkan secara matang tanpa dipengaruhi emosional sesaat, karena dapat menciptakan paham konsumerisme yang berbasis utang. Padahal Rasulullah Muhammad saw telah mengingatkan umatnya agar bersikap hati-hati dalam berhutang dan menjadi pertanyaan pertama yang diajukan sebelum jenazah diusung.
  • Untuk memberikan kemudahan dalam payment system dapat digunakan kartu debit (debit card), bukan berbasis kartu kredit. Lihat tuah kepada yang menang dan mencontoh yang ada bagaimana kenyataan mudarat kartu kredit yang dikonsumsi masyarakat. Itulah kebijakan yang rasional. Tinggalkan budaya buy now pay later.

Menemukan (Kembali ) Ekonomi Islam

Dalam sebuah jurnal International Islamic Finance Servivce Vol 1 No 4  Jan-Maret tahun 2000, ada hal yang menarik untuk kembali kita simak, akan adanya kecemasan para akademisi ekonomi islam di  bumi Pakistan dan Timur Tengah akan kecenderungan gaya berekononomi orang Islam kembali akan hilang arah setelah hampir menemukan jatidirinya sebagai seperangkat system ekonomi yang utuh dan komprehensif melalui Sistem Ekonomi Syariah yang selama ini kita ketahui.

Kecemasan mereka bukan pada apakah sebagain aplikasi dari system ekonomi yang saat sedang sedang berjalan dan menikmati momentumnya sudah sesuai syariah atau belum. Tetapi kecemasan mereka melihat jati diri dan substansi apa yang disebut sebagai Islamic Finance telah terkaburkan dengan pemeliharaan tradisi intelektual yang mulai tercemar khazanah dan pandangan hidup barat dalam hal rekonstruksi pendidikan ekonomi Islam atau pun perhubungan antar satu entitas yang mana entitas satu berdiri di atas kaidah-kaidah syariah dan yang lain berasal dari saudaranya yang konvensional.

Kecemasan mereka, ada pada tataran pertanyaan, apakah yang selama kita jalankan merupakan bagian  dari proyek besar Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau malah Mirrorisasi Keuangan Islam terhadap pola dan metodologi Barat dalam membuat justifikasi keyakinan yang value laden melalui pola-pola akad yang pragmatis. Dan pola-pola akad ini yang paling banyak mendapatkan kritikan baik dari internal akademisi ekonomi Islam atau dari kalangan luar yang berdiri sudah lama menantikan momentumnya, Ekonomi Islam mulai kabur. Apakah ada yang salah dengan akad-akad tersebut. Bukan akadnya tetapi siapa yang menggunakan dan dan untuk apa manfaatnya.

Topic-topik yang termuat dalam FPRS Bank Indonesia mengangkat mengenai pern bank syariah dalam pengentasan kemiskinan. Di antara beberapa topic tersebut ada yang mengangkat mengenai optimalisasi bank syariah dengan lembaga amil zakat dalam empowering peoples. Event dengan topic-topik seperti ini dapat mengurangi persepsi masyarakat yang terlanjur melekat mengenai bank syariah. Dari mulai persepsi mengenai akad murabahah yang justru tidak mencerminkan bank syariah dengan model profit and loss profit sharingnya hingga peran bank syariah bagi kalangan idealis melupakan ashalah yaitu peran pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah kewajiban entitas bisnis baik itu syariah atau bukan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Include kegelisahan mereka yang seolah-olah Ekonomi Islam sudah semakin susut dengan citra similarisasi lembaga keuangan syariah. 
Prof Masudul Alam Choudury  ( 2000 ) mengkritisi kehilangan jati diri ekonomi islam dengan mengasumsikan saat ini,arus mainstream yang awalnya berinisitif mengembangkan disiplin ekonomi islam sebagai bagian dari islamisasi Pengetahuan sebagai aksi dari rusaknya alam pengetahuan di bawah pandangan hidup peradaban barat. Namun seiring berjalannya waktu, apa yang disebut sebagai islamisasi pengetahuan mengalami masa stagnasi dan kehilangan banyak momentum dalam memompa kembali tradisi kelimuan dunia islam yang hilang dalam the corruption of adab.  Oleh karena itu, menurut Profesor Masudul Alam Choudury, ekonomi Islam tidak bisa tidak untuk tumbuh di atas akar dan kakinya sendiri. Untuk kemudian itu Prof Masudul Alam Choudury mempertanyakan setelah hampir enam puluh tahun lamnya baik itu individu dan kelompok-kelompok studi atau lembaga penelitian berkecimpung di bidang ini, apa kontribusi nyat dalam memberikan paradigm baru dan social well being yang ditransformasikan dan dapatkan itu diklasifiksikan sebagai keberhasilan ekonomi islam?? 
Pertanyan seorang tokoh ekonomi islam dari bumi Pakistan ini bukan tanpa alasan. Bank syariah semakin berjamur dan lembaga keuangan syariah walau mengalami perlambatan market share tetapi tetap menjadi acuan untuk sebagai alternative. Di saat yang sama angka kemiskinan dan penangguran belum jua turun. Sejumlah regulasi telah diterbitkan namun mengapa perkembangan perbankan syariah masih pada titik yang mengkhawatirkan ? Tanya Prof Masudul Alam Choudry ini . dalam papernya yang lain dan juga dimuat oleh jurnal internasional Islamic finance tahun 1999,mempersoalkan cara pragmatis sejumlah akademisi ekonomi Islam yang merasa perlu untuk meminjam  khazanah Barat untuk merekontruksi bangunan Ekonomi Islam yang sedang kita tata ini. Menurut beliau, kita harus siap dengan worldview barat yang tidak sama dengan worldview orang Islam memandang kehidupan ekonominya. Bagaimanapun mereka tidak dan belum bisa lepas dari masalah epistemologisnya.

Epistemologi, bagi sebagian kalangan penggiat ekonomi Islam adalah akar dari bangunan ekonomi Islam sendiri yang memformulasikan Tauhid dengan akidah,syariah dan akhlak dalam system Islam. Dalam kajian filsafat paripatetik, Epistemologi dikenali sebagai induknya ilmu, yang membentuk teori-teori. Dan yang melahirkan asumsi-asumsi dengan model-modelnya. Maka menggunakan seperangkat pengalaman barat untuk menemukan kembali ekonomi Islam sama saja menciptakan masalah baru bagi dunia Muslim sekalipun ada sejumlah titik persamaan yang menjadi sunnatullah. 
Sementara di seberang sana, yang dalam jurnal keuangan Islam Internasional, Humayon A Dar & John Presley mengkritik sejumlah pemikir muslim yang tidak mau membuka dialog dengan Barat dan lebih terfokus pada literature dari kalangan muslim itu sendiri. Padahal, menurut Humayoun A Dar & John Presley  (1999 ) ada sejumlah titik poin antara pemikiran ekonomi klasik yang berasal dari khazanah peradaban barat dengan pemikiran ekonomi Islam yang sama-sama mengeliminir riba dari system keuangan. Akhirnya Humayoun A Dar & John Presley ( 1999)  menyarankan Islamic scholars menggali lebih banyak kekayaan argument yang dapat ditemukan dalam literature Barat dibandingkan dengan menggali darii khazanah Islam itu sendiri namun sulit untuk mendapatkan tempat sebagai implementasi. Kalau di Indonesia, banyak yang melihat bahwa saat ini Ekonomi Islam masih berada dalam tataran normative maka di luar sana, para pakar mengkhawatirkan tidak saja rekayasa keuangan Islam menjadi lekat dan identik dengan produk konvensional namun saat kehilangan epistemologicalnya, menurut Prof Masudul Alam Choudry, No Breakthrough has ever occurred without without epistemology. Akhinya apa yang saat ini disebut sebagai  Islamic Economic, only leave a cover. Tanpa substansi. 
Untuk itulah kita perlu memperhatikan kembali perjalanan Ekonomi Islam yang sedang kita perjuangkan ini. Agar tidak ada lagi kekhawatiran sebagaimana yang banyak diresahkan oleh sejumlah akademisi Ekonomi Islam atau bahkan dari dalam arus utama ekonomi Islam sendiri mulai melihat ada yang harus diperbaiki dalam perjalanan panjang ini. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Aslam Haneef (2000) yang papernya dimuat di Jurnal Islamia “Apa Yang Salah Dengan Pengembangan Ekonomi Islam “ Aslam Haneef (2000) meresahkan akan apa yang disebut sebagai Islamic Economic menjadi sub domain lain dalam wilayah studi Ekonomi Modern yang berasal dari Barat. Bukan menjadi solusi atas penyelesaian namun malah tools dari Ekonomi Modern itu sendiri untuk kembali mampu bertahan dari kritik demi kritik yang menimpanya sebagai sebab dari pelbagai krisis keuangan dan resesi di seluruh dunia.

Tahun 2010 akan segera berakhir, meninggalkan bagi kita catatan-catatan penting seputar pergulatan dan perjuangan kita membumikan kembali ekonomi Islam. Tanpa bisa disadari, mungkin kita mulai berpikir ada benarnya apa yang dikemukakan Ziaudin Sardar dalam bukunya The Future of Islam, rekontruksi mengembalikan umat dari tidurnya tidak mungkin dengan proses adaptasi dan adopsi doktrin Ekonomi Islam pada ilmu Ekonomi Modern. Sekalipun melalui proses ta’shil atau penyaringan setelah melihat stagnasi Ekonomi Islam hari ini mewujudkan cita-citanya. Tetapi persoalannya apakah ada elemen politik yang bisa diandalkan untuk mewujudkan itu semua. Itu permasalahannya. 

PRO KONTRA CREDIT CARD SYARI`AH

Bila dibandingkan dengan kartu debet syariah, pertumbuhan kartu kredit syariah di tanah air, cenderung kurang bergairah. Kondisi tersebut disebabkan masih adanya perdebatan apakah kartu kredit syariah bisa menjadi salah satu layanan perbankan syariah atau tidak. Kalangan yang tidak memperbolehkan beranggapan, penerbitan kartu kredit pada bank syariah hanya akan menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat, disamping berpotensi menimbulkan rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing-NPF). Sebaliknya pihak yang memperbolehkan menyatakan kartu kredit syariah akan memudahkan nasabah bank syariah melakukan transaksi.

Ekonomi Islam, Bank Syariah dan Emas



Ekonomi Islam
            Ekonomi Islam berbicara mengenai permasalahan riba, yang didalamnya mencakup masalah interest dan usury. Riba adalah haram, tidak ada satupun umat muslim yang menyangkalnya karena hal itu sangat tegas dalam Al Quran. Riba tidak membedakan tambahan atas pokok yang sedikit ataupun banyak, keduanya adalah riba dan berarti haram. Dalam bahasa Indonesia kita juga hanya mengenal satu kata yaitu bunga, namun dalam bahasa Inggris kita mengenal dua kata, yaitu interest dan usury. Terjemahan bebas interest adalah bunga yang sedikit, sedangkan usury adalah bunga yang banyak.
Samuel Hayes dan Frank Vogel lebih memilih usury sebagai pengganti riba, karena dalam praktek keuangan Islam sekarang ini secara implisit dapat dibuktikan masih terdapat opportunity rate of capital. Namun MUI pada fatwa bunga secara tegas menyebut bahwa yang dimaksud riba adalah interest. Fatwa MUI tersebut juga sejalan dengan The Supreme Court of Pakistan yang juga telah mengkaji masalah interest dan usury, dan secara tegas menyebutkan baik interest dan usury keduanya adalah riba.
Ketika riba hanya mencakup usury, maka fokus pengembangan ekonomi Islam kedepan akan mengarah pada penyempurnaan dan kelengkapan regulasi dari infrastruktur ekonomi Islam saja, yang didalamnya mencakup lembaga keuangan Islam, baik bank syariah, pasar modal syariah dan sebagainya. Namun ketika riba adalah interest (yang secara otomatis usury juga adalah riba), maka fokus pengembangan ekonomi Islam kedepan selain mengarah pada penyempurnaan regulasi dan aturan main dari institusi keuangan Islam yang berdimensi jangka pendek-menengah, dengan merunut pada sejarah interest itu sendiri rasanya juga akan mengarah pada tatanan makro ekonomi dan pengelolaan moneter yang berbasis emas pada dimensi jangka panjang.
Bank Syariah dan Dinar Emas
Kalangan pendukung ekonomi Islam saat ini ada yang lebih terfokus pada pengembangan regulasi, institusi perbankan syariah dan pasar keuangan Islam yang berdimensi jangka pendek-menengah, sementara sebagian pendukung ekonomi Islam lainnya lebih tertarik pada konsep implementasi emas atau dinar yang berdimensi jangka panjang. Keduanya sebenarnya sangat berkaitan dan diperlukan dalam pengembangan ekonomi Islam yang bebas interest dan bebas usury secara integral dan komprehensif.
Dengan demikian kesiapan institusi keuangan Islam, baik bank syariah, pasar modal syariah, asuransi syariah dsb yang beroperasi tanpa bunga tetap diperlukan sebagai infrastruktur ekonomi Islam. Sehingga apabila suatu saat tatanan makro ekonomi dan sistem moneter secara jangka panjang kembali berbasis emas, maka telah tersedia infrastruktur berupa institusi keuangan Islam yang sejalan, baik berupa bank syariah maupun baitul tamwil.
Pada jaman Rasulullah, jenis uang yang digunakan dalam perekonomian adalah dinar emas. Namun dalam sistem ekonomi dinar emas ini praktek riba ternyata juga ada sampai akhirnya turunlah ayat-ayat mengenai penghapusan riba. Meskipun sistem ekonomi moderen ini dikembalikan pada ekonomi berbasis dinar emas, dalam pemenuhan kebutuhan modal usaha akan tetap mudah tergelincir pada praktek riba. Pinjaman modal usaha seratus dinar emas akan dikembalikan menjadi seratus dua puluh dinar emas. Artinya implementasi dinar emas saja tidak serta merta menghapus riba, karena itu pengembangan lembaga keuangan seperti bank syariah yang bebas riba tetap kita perlukan.
Pengembangan infrastruktur institusi keuangan Islam telah memasuki fase implementasi, namun dinar-emas karena mencakup aspek makro yang kompleks masih ketinggalan pada tataran konsep.
Dinar Emas dalam Perspektif Jangka Panjang
Dalam berbagai teori, maka fungsi uang yang umum dikenal adalah sebagai (1) medium of exchange, (2) store of value dan (3)unit of account. Gagasan implementasi dinar emas sebagai uang tentunya tidak terlepas dari fungsi uang secara teoritis. Pada fungsi uang sebagai medium of exchange, maka terdapat gagasan mengganti mata uang dengan dinar emas sebagaimana didukung olehVadillo dan kelompok Murabitun. Dalam jangka pendek-menengah, gagasan ini dapat diaplikasikan pada transaksi ekonomi rumah tangga atau dalam kondisi ekonomi tertutup. Dalam jangka pendek-menengah, gagasan ini diperlukan dengan tujuan sebagai awareness masyarakat terhadap emas.
Namun dalam situasi ekonomi terbuka saat ini, apabila gagasan itu ditujukan untuk menggantikan mata uang rupiah dalam jangka pendek-menengah, maka gagasan tersebut cenderung tidak menguntungkan bagi negara. Gagasan lain yang sejenis adalah kembali pada jaman sebelum Bretton Woods, dimana mata uang diikatkan dengan emas. Gagasan ini efektif bila seluruh negara yang memiliki mata uang mengikatkan diri kembali kepada emas yang hanya mungkin tercapai pada jangka panjang. Namun jika hanya Indonesia dan beberapa negara lain saja yang melakukan hal ini, tentunya akan merugikan.
Kita perlu mengingat kembali hukum Gresham, dimana "Bad money drives good money out of circulation", atau lengkapnya "Bad money drives out good if they exchange for the same price". Semua mata uang moderen yang merupakan fiat money saat ini adalah "bad money" sedangkan dinar emas atau mata uang yang diikatkan dengan emas adalah ”good money”. Lebih lanjut Ibnu Taimiyah yang mendahului Sir Thomas Gresham juga mengingatkan bahwa ”apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerah asalnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan hancur”.
Dalam situasi ekonomi terbuka dan globalisasi seperti sekarang ini, dimana aliran modal dan uang dalam berbagai currencytidak bisa dibatasi oleh sekat antar negara, maka gagasan tersebut apabila diimplementasikan dalam jangka pendek-menengah tidak menguntungkan bagi umat Islam dan Indonesia pada khususnya. Mata uang negara lain yang berupa fiat money, akan mudah ditukarkan melalui transaksi pasar uang dengan dinar-Indonesia yang berupa emas, sehingga terjadi aliran kepemilikan emas keluar yang menggerogoti cadangan emas kita. Dengan demikian gagasan menggantikan mata uang dengan dinar emas atau kembali pada sistem ekonomi neo klasik berbasis emas berdimensi jangka panjang daripada jangka pendek-menengah.
Emas dalam Perspektif Jangka Pendek-Menengah
Gagasan lain berupa transaksi perdagangan bilateral dengancurrency dinar emas sebagaimana yang digagas oleh Tan Sri Nor Mohamed Yackop dan Dr. Mahathir, bertumpu pada fungsi uang sebagai unit of account dan store of value. Intinya adalah bagaimana negara-negara muslim yang bertransaksi mendapatan manfaat peningkatan kekayaan cadangan emas sebagai hasil transaksinetto-nya.
            Emas memiliki fungsi uang yang sebenarnya yaitu store of value, dimana fungsi ini tidak dimiliki oleh fiat money. Sehingga pesan yang disampaikan dalam ekonomi Islam agar nilai kekayaan kita tetap atau bertambah adalah melalui emas. Meskipun dalam bahasa akuntansi kekayaan adalah modal ditambah hutang, namun yang dimaksud disini adalah kekayaan yang kita miliki sebenarnya berupa modal dikurangi hutang. Meskipun secara teori keuangan, hutang memiliki leverage yang lebih baik daripada modal untuk meningkatkan aset, namun teori itu berlaku bagi perusahaan ketika faktor biaya bunga menjadi pengurang pajak. Sedangkan dalam kehidupan bernegara kondisi yang kita hadapi adalah berbeda, kekayaan kita adalah seberapa mampu kita mandiri tanpa hutang, karena dengan hutang maka dapat terjadi intervensi kebijakan sebagaimana yang disampaikan oleh John Perkins.
Kekayaan bersih kita tercermin pada cadangan devisa yang kita miliki, yang menjadi tumpuan dalam mempertahankan stabilitas ekonomi nasional. Dengan demikian dalam jangka pendek-menengah, perlu menjadi pemikiran kita bersama agar cadangan devisa yang kita miliki selain harus selalu meningkat, juga perlu peningkatan cadangan kita dalam bentuk emas sehingga mengurangi ketergantungan terhadapdollar. The Fed merupakan pemilik kekayaan emas terbesar di dunia, demikian juga bank sentral China yang sering disebut memiliki daya tahan ekonomi yang kuat.
Penutup : Menciptakan Sinergi
Kekayaan bersih hanya bisa kita ciptakan apabila kita memiliki sumber pendapatan yang cukup dan tidak memiliki hutang yang permanen dan bersifat jangka panjang. Dengan demikian prioritas jangka pendek-menengah dalam implementasi ekonomi Islam adalah bagaimana agar Indonesia dapat segera melepaskan diri dari ketergantungan hutang, baik hutang dalam negeri maupun luar negeri. Untuk dapat membayar hutang-hutang dan meningkatkan kekayaan kita, maka diperlukan pengamanan terhadap aset-aset kita, profesionalisme pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan meningkatkan aktivitas ekonomi khususnya sektor riil sehingga mengurangi ketergantungan impor. Ekspor juga perlu diarahkan secara konsisten menjadi lebih besar dari impor, yang selisih netto-nya dibayar dalam bentuk dinar emas apabila memungkinkan. Tidak salah apa yang disampaikan oleh para ekonom dan politisi kita, bahwa dukungan regulasi, stabilitas politik dan kepastian hukum, peningkatan kualitas SDM serta moralitas anti korupsi sangat diperlukan untuk penguatan ekonomi negara kita.
Sebagai catatan akhir, integrasi implementasi ekonomi Islam baik pada jangka pendek, menengah dan panjang akan efektif apabila ada perspektif yang sama dari praktisi perbankan syariah, ulama dan akademisi ekonomi Islam serta pengamat dan pejabat ekonomi. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda namun sebenarnya bersifat saling melengkapi dan saling mendukung. Meskipun tulisan ini tidak bersifat karya ilmiah yang memenuhi kaidah riset melalui pengembangan model ekonometrik serta statistik, namun setidaknya pemikiran ini bisa menjadi masukan dalam penyusunan Arsitektur Ekonomi Islam Indonesia. Wallahu a’lam bishawwab.

Wahyu Avianto
Praktisi Perbankan Syariah

Antara Pendidikan Jahiliyah Modern dan Pendidikan Islami (2)

Negara ini (Indonesia) dalam peringkat negara-negara di dunia saat ini masih dikatagorikan sebagai ’negara yang sedang berkembang’. Indonesia belum dianggap sebagai negara maju karena dianggap belum dapat menerapkan seluruh sistem jahiliyah secara 100%. Di dunia sekarang ini, kasta negara-negara ditentukan oleh sederet angka sebagai tolok ukur. Angka-angka tersebut sebenarnya merupakan angka-angka mati yang bisa saja berarti baik atau buruk tergantung bagaimana mengartikannya. Namun angka-angka tersebut kemudian dimunculkan untuk menciptakan pencitraan tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh pemakainya. Angka kematian penduduk (salah satu tolok ukur) masih tinggi, angka korupsi masih termasuk ranking sepuluh besar, income per-kapita masih rendah dan perolehan pajak masih kecil dan sejumlah tolok ukur jahiliyah lainnya, baik yang dapat dikatagorikan termasuk ma’ruf atau mungkar secara Islam maupun jelek atau bagus menurut nilai jahiliyah sendiri.

Tuesday, December 20, 2011

Talangan Haji: Contoh Nyata Transaksi Riba


Ketika sedang menunggu shalat berjamaah di salah satu masjid, tiba-tiba ada seorang jamaah yang menyapa saya, "Mas, daftar haji untuk tahun ini, baru bisa berangkat 2018. Untuk bisa daftar, cukup dengan modal 5 jutaan. Nanti, bayar DP 5 jutaan di bank-bank syariah. Sambil melunasi, kita bayar ujrah sekitar 1,5 juta." Merasa penasaran, saya balik bertanya, "Kok, malah kita disuruh bayar, kita 'kan yang naruh uang di bank?" Bapak itu, yang kebetulan pemilik salah satu KBIH di Yogyakarta, akhirnya melengkapi penjelasannya, "Kita bayar 5 juta, nanti bank syariah memberikan fasilitas talangan haji sebesar 25 juta. Ujrah itu sebagai ganti dari biaya talangan haji yang diberikan bank."

Sedikit memahami proses transaksi yang beliau sampaikan, saya pun menyelai, "Oh ..., itu transaksi riba!" Sang Bapak terheran, "Masak riba? Itu, pelaksananya bank syariah." Saya mencoba menjelaskan, "Tapi, hakikatnya 'kan bank meminjamkan uang ke kita untuk pelunasan biaya haji, dan kita membayar bunga pinjaman ke bank. Itu riba ...." Sang Bapak masih belum bisa menerima, "Ah, enggak lah .... Masak riba? Mestinya 'kan sudah direkomendasi dewan syariah yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan transaksi bank syariah." Sesaat sebelum iqamah dikumandangkan, Sang Bapak mengatakan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?” Sebelum sempat menyempurnakan diskusi, iqamah dikumandangkan.
Ya, itulah sekilas gambaran pemahaman orang awam terkait dengan transaksi yang dijalankan oleh bank-bank syariah di tempat kita. Nama nge-tren "syariah", yang dipampang mengiringi kata "bank", telah menjadi legitimasi tersendiri bagi semua kegiatan transaksinya. Dengan nama ini, banyak orang yang menganggap semua transaksi di bank tersebut telah dijamin seratus 100% halal, la raiba fihi (tanpa ada keraguan di dalamnya).
Di sisi lain, kesadaran kaum muslimin di tempat kita akan bahaya dan haramnya riba (baca: bunga bank) banyak mengalami kemajuan. Ini adalah satu realita yang patut kita banggakan dan kita syukuri. Realita ini setidaknya telah membuat mereka sedikit selektif dalam melakukan transaksi keuangan.
Dua fenomena di atas tidaklah membuat bingung para penggiat kegiatan perbankan. Semenjak munculnya fenomena "bank syariah" dan "BMT", semua lembaga bank konvensional berduyun-duyun menjelmakan dirinya menjadi “bank syariah”. Semua berusaha bernaung di bawah legitimasi “syariah”. Tidak hanya itu; semua istilah yang biasanya digunakan dalam transaksi bank konvensional, “dipaksa” untuk disesuaikan dengan istilah yang ber-”bau” syariah.
Terkait dengan hal ini, saya teringat sebuah hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتى الخمر يسمونها بغير اسمها
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namanya." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليشربن ناس من أمتي الخمر . يسمونها بغير اسمها . يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات يخسف الله بهم الأرض . ويجعل منهم القردة والخنازير
"Sungguh, akan ada sekelompok manusia di kalangan umatku yang meminum khamar dan mereka menamakannya dengan selain namannya, sambil ditabuhnya alat-alat musik di dekatnya, kemudian Allah menenggelamkan (sebagian) mereka ke bumi, dan sebagian lagi dikutuk menjadi kera dan babi." (HR. Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Semua orang paham bahwa maksiat itu jelek. Semua orang paham bahwa barang haram itu tidak boleh dikonsumsi. Karena itu, kita tidak jumpai ada dukun yang mempromosikan dirinya dengan nama “dukun” atau “penyihir”. Demikian pula, kita tidak jumpai ada minuman keras yang diiklankan dengan nama “khamar”, namun mereka gunakan nama yang sangat indah: bir (dalam bahasa Arab: البِرّ, artinya: 'berbakti' atau 'berbuat baik').
Pada kasus yang sama, ketika banyak orang mulai sadar akan haramnya riba (baca: bunga), mereka gunakan nama “ujrah” (dalam bahasa Arab: أجرة, artinya 'upah') untuk menyebut “bunga pinjaman”, dan “bagi hasil” untuk menyebut “bunga tabungan”.
Hilah (kamuflase kemaksiatan)
Permasalahan akan lebih ringan, ketika perbuatan maksiat itu dilakukan tanpa diiringi dengan hilah (trik untuk menghalalkan perkara yang haram). Ketika orang yang melakukan perbuatan maksiat itu tahu bahwa yang dia lakukan adalah kemaksiatan, masih ada peluang baginya untuk bertobat. Karena itu, balasan bagi orang yang melakukan hilah lebih berat dibandingkan kemaksiatan yang tidak disertai dengan hilah. Saat menjelaskan hadits dari Abu Malik Al-Asy'ari di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
في هذا الحديث وعيد شديد على من يتحيل في تحليل ما يحرم بتغيير اسمه
"Pada hadits ini terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan rekayasa untuk menghalalkan hal-hal yang telah Allah haramkan dengan cara mengubah namanya." (Fathul Bari, 10:56)
Bahkan, di antara sebab siksaan yang diberikan kepada orang Yahudi adalah kebiasaan mereka melakukan hilah untuk menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan. Allah berfirman,
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْت  فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Sungguh, kalian telah mengetahui tentang orang-orang yang melampaui batas di hari Sabtu. Maka, kami firmankan, 'Jadilah kalian kera yang hina!'” (QS. Al-Baqarah:65)
Hukuman ini diberikan oleh Allah ketika mereka melakukan hilah untuk melanggar hal yang Allah larang. Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini menceritakan tentang penduduk kampung yang durhaka terhadap aturan Allah dan melanggar perjanjian dengan-Nya, di saat Allah memerintahkan mereka agar mengagungkan hari Sabtu sebagai waktu beribadah (sehingga mereka dilarang untuk menangkap ikan). Akan tetapi, mereka melakukan hilah dengan menangkap ikan di hari Sabtu, (yaitu dengan cara) memasang jaring dan perangkap ikan di hari Jumat. Ketika hari Sabtu, banyak ikan-ikan yang berdatangan dan masuk dalam perangkap mereka. Malam harinya (setelah berlalunya hari Sabtu), mereka mengambil ikan-ikan itu. Karena perbuatan mereka ini, Allah mengubah mereka menjadi kera.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)
Inti pelanggaran penduduk kampung Yahudi ini adalah perbuatan hilah yang mereka lakukan, dalam rangka melanggar aturan Allah. Ini merupakan beberapa hikmah sehingga Allah mengubah mereka menjadi kera; kera merupakan binatang yang paling mirip dengan manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Dengan menimbang bahwa perbuatan dan hilah yang mereka lakukan itu bentuknya mirip dengan kebenaran secara zahir (yang nampak) namun aslinya bertolak belakang dengan kebenaran secara batin (tidak nampak), maka balasan yang mereka terima itu sejenis dengan amalnya (yaitu diubah menjadi hewan yang mirip dengan manusia).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1:228)
Kaidah penting dalam memahami istilah
Berdasarkan hadits Abu Malik Al-Asy'ari di atas dan beberapa hadis yang semakna, para ulama menetapkan sebuah kaidah:
الأسماء لا تغير الحقيقة والحكم
Perubahan nama tidak mengubah hakikat dan hukum.”
Inilah kaidah yang selayaknya kita pegang dalam memahami berbagai fenomena baru. Lebih-lebih, terkait dengan aturan halal-haram. Betapa banyak orang yang berupaya untuk berusaha menghalalkan sesuatu yang Allah haramkan.
Di antara sikap yang tepat, terkait muamalah, jangan sungkan-sungkan untuk menanyakan setiap transaksi baru kepada ahlinya. Setidaknya, ini bisa menjadi langkah hati-hati bagi kita dalam bermuamalah.
Transaksi sosial bukan untuk mencari keuntungan
Di bagian akhir diskusi yang tidak seimbang antara saya dengan Sang Bapak, ada bagian penting untuk kita perhatikan, “Kalau itu dilarang, terus, dari mana bank dapat uang?”
Saudaraku, kaum muslimin, patut untuk kita pahami bahwa transaksi keuangan yang kita lakukan secara umum bisa kita kelompokkan menjadi dua:
Pertama: Transaksi mu'awwadhat (komersial). Misalnya: jual beli, sewa-menyewa, permodalan, dan yang lainnya. Untuk transaksi model pertama ini, kita diperkenankan mengambil keuntungan sesuai dengan yang kita inginkan.
Kedua: Transaksi tabarru'at (sosial). Misalnya: utang-piutang atau pinjam-meminjam. Dalam transaksi yang murni untuk maksud sosial, para ulama menyepakati terlarangnya mengambil keuntungan dari salah satu pihak. Hal ini berdasarkan riwayat dari Fudhalah bin Ubaid radhiallahu 'anhu, bahwa beliau mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keuntungan yang dimaksud dalam riwayat di atas mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu,
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki beberapa penguat)
Dalam riwayat yang lain, dari Abdullah bin Sallam, bahwa beliau mengatakan, “Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari)
Ketika seseorang tidak sanggup melakukan transaksi sosial tanpa keuntungan, sebaiknya dia tidak coba-coba memaksa dirinya untuk melakukannya, karena justru dia akan terjerumus ke dalam perbuatan dosa yang lebih besar.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari jaring-jaring riba. Amin.
***
Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.