Thursday, September 15, 2011

Perbandingan Antara Pembiayaan Murabahah (mark-up) dan Berbasis Bunga Tetap (Fixed Interest Based)

Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada perbankan Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan yang menggunakan sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan konvensional. Disini kita akan melakukan perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :

1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan

Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional memberikan pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah
memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk membeli barang-barang yang diperlukan berapapun harganya.

Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan syariah melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak.

Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika ditinjau dan dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang diberlakukan adalah tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, yang juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa mendatang, preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri.

Dan hal itu sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktor-faktor yang melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam untuk memperoleh keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk kemungkinan inflasi yang akan terjadi, perkembangan moneter, marketabilitas barang-barang yang dijual melalui pembiayaan ini serta tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.

Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang pertama bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi penetapan suku bunga pada perbankan konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku bunga dan markup dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan sama.

Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun perbedaan antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari penyalur untuk barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian ditransfer kepada para nasabah murabahah dalam bentuk mark-up yang lebih rendah yang akan menurunkan biaya pembiayaan nasabah.

Namun, kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian barang dilakukan secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika masing-masing nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. Dan kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi. Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah dengan sistem mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang berdasarkan bunga atau bahkan dapat terjadi lebih besar (mahal). Di mana dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku bunga tertentu dalam pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan memberikan pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan untuk dibiayai.

Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir atau personil bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan ini, di mana dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya, kertas kerja yang dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan, melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen ataupun melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan penjualan barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para nasabahnya.


2. Resiko Dalam Pembiayaan

Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari berbagai resiko yang akan menyertainya. Demikian juga halnya dengan pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim murabahah, di mana faktor pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan untuk mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :

a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank Islam terkait dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul dari barang yang dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, maka secara teoritis menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah. Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah menjadi ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam. Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barang-barang yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan.

Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan dengan kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik (lokal). Akan tetapi dalam level perdagangan yang lebih luas (internasional), resiko-resiko semacam itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk menghindari timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam mengantisipasinya dengan menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul-klausul kontrak yang dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam setiap kontrak transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya yang harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga barang dan sebagai dasar bagi penetapan jumlah mark-upnya.

Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar dari penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh bank konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman murni semata. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam pembiayaan murabahah ini mark-up yang ada ataupun total pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional.

b. Resiko yang tekait dengan pembayaran

Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah adalah resiko yang terkait dengan pembayaran angsuran dari nasabahnya. Karenanya untuk menghindari resiko ini, dalam klausul kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam mengharuskan
adanya jaminan. Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini
atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut : Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran hutang tersebut.

Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini menggunakan sistem denda kepada nasabahnya, yang
jumlahnya disesuaikan dengan “tingkat laba yang wajar” pada dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut. Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada nasabah.

Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak
mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian pinjaman ketika jatuh tempo.


 3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli

Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem bunga dan mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada kedua kontrak yang terjadi. Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah “hubungan kemitraan” yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank
konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun juga kondisi yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut, mengingat begitu pentingnya peranan transaksi murabahah dalam perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan melebihi 75 persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.

Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang terjadi membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank dengan nasabah. Di mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara angsuran, termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak. Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.

4. Penyelesaian Hutang

Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran) tidak jauh berbeda dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku bunga tetap pada perbankan konvensional. Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap sebagai hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut sebagai bunga atau laba serta jangka waktu pembayarannya pun
ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak pada kondisi ketika seorang debitur gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.

Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui sistem bunga pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu membayar atau tidak. Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan debitur dalam membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran (toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 280.

Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan

celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya, padahal mereka mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasinya mereka kemudian mengadopsi konsep denda bagi debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, khususnya untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah untuk mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang tepat pada waktunya.

Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan). Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan kepada para nasabahnya.


 Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba

Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank Islam tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba diperbolehkan, kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu kegiatan penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan besar mark-up untuk suatu kontrak murabahah.

Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah tidak ada yang secara khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya tenggang waktu yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam kasus murabahah adalah riba.

Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni. Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu transaksi perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara keduanya.

Perbedaannya adalah hanya terletak pada permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan kontrak utang piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual beli atau
penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi pembiayaan yang berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman
yang berbasis bunga kecuali jika dalam pembiayaan murabahah harga yang disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan pada waktu yang ditentukan (tepat waktu).

Penutup
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan
bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.

Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gampang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.


Dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment