Terminologi 'ekonomi' bukanlah sebuah istilah teknis semata. Ekonomi adalah sebuah ideologi. Kalau mau dilihat dalam tataran teknisnya maka ekonomi adalah kumpulan formula dan aksioma, yang dilengkapi dengan asumsi-asumsi, dari sebuah ideologi, yakni pembenaran dan penerapan riba. Karena itu kata sifat apa pun yang diletakkan di belakang istilah ekonomi, seperti ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis, ekonomi kerakyatan, bahkan ekonomi Islam sekalipun, tidak mengubah sedikit pun substansi dasarnya: pemberlakuan riba dalam kehidupan.
Sejak masa Orde Baru kita pun selalu diakrabkan dengan frase "Pembangunan Ekonomi" sebagai modus operandi kehidupan berbangsa. Secara internasional, pencapaiannya kemudian diukur dengan berbagai indikator tertentu yang dibakukan, seperti jumlah orang miskin atau penganggur, angka harapan hidup, kesenjangan kaya dan miskin (lewat angka koefisien gini), dan sebagainya, sampai yang paling mutakhir dan dianggap paling "mewakili", karena merupakan "gabungan" sejumlah faktor, yakni Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Sedemikian lazimnya pemakaian indikator-indikator tersebut hingga tidak ada yang mempersoalkan values dan ideologi di baliknya. Lebih-lebih yang kemudian mencari cara pandang lain dalam memahami kemiskinan dan akar penyebabnya.
Dengan satu-dua indikator saja sudah terlihat bahwa umat Islam di Indonesia saat ini makin menderita. Jumlah orang miskin ada 40 juta, bahkan kalau indikatornya adalah pendapatan di bawah US$ 2 per hari, sebagaimana dipakai oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), angkanya mencapai 75 juta. Tingkat pengangguran di atas 10% dari angkatan kerja, sekitar 11 juta orang. Tulisan ini tidak akan mempersoalkan indikator-indikator tersebut lebih jauh, tapi hendak mengajukan satu cara pandang berbeda dalam melihat penderitaan umat dan akar masalahnya, yakni dari kacamata Al Qur'an dan Sunnah. Secara lebih spesifik kerangka yang ditawarkan adalah kerangka muamalat, dengan dua indikator utama, sebagaimana yang dipertentangkan oleh Al Qur'an, yakni perdagangan dan riba.
Riba sebagai Modus Operandi
Dalam al Qur'an Allah SWT menegaskan 'Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba' (Al Baqarah ayat 276). Pernyataan ini perlu dipahami dalam dua hal: ketegasannya dalam mempertentangkan dua cara mencari kekayaan, yakni perdagangan dan riba, di mana yang pertama halal dan yang kedua haram; dan alasannya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang sama, yakni kenyataan bahwa banyak orang menyamakan riba dengan perdagangan. Kebenaran ayat ini mewujud dengan sangat nyata di zaman ini, yang mengakibatkan praktek yang berkebalikan dari hukum Allah, yakni bekerjanya sistem yang menghalalkan riba dan mengharamkan perdagangan. Kita bisa mengenalinya dengan satu ukuran saja yakni nisbah perdagangan (sektor) riil dewasa ini yang hanya 2% dan "perdagangan" (sektor) finansial yang mencapai 98%.
Nisbah di atas menunjukkan kekayaan yang menumpuk pada segelintir orang, sementara penderitaan ditanggung oleh mayoritas masyarakat (para pekerja keras). Hanya dengan perspektif ini kita dapat memahami dengan jernih akar segala penderitaan umat dewasa ini dan menawarkan solusinya secara mendasar, yakni memerangi riba di satu sisi dan menegakkan kembali perdagangan di sisi lain. Dalam kepustakaan akademik sistem kehidupan yang dibangun di atas fondasi riba dan menjadikan riba sebagai doktrin yang absolut inilah yang disebut sebgai kapitalisme. Ideologi kapitalisme ini oleh para perancang negara modern telah ditetapkan dalam konstitusi dengan elemen utama berupa bank sentral, uang kertas, dan perpajakan. Dan inilah yang disebut dengan ekonomi pembangunan itu � dengan dua sayapnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Jadi, bangsa Indonesia sesungguhnya telah memilih kapitalisme, yakni sistem riba, sebagai jalan hidup ketika memproklamirkan dirinya sebagai Republik Indonesia. Ketika kekuasaan kolonialisme secara formal meninggalkan bangsa Indonesia ada dua hal yang ditinggalkannya, disusupkan melalui konstitusi republik baru ini, yang kelak terbukti menjadi instrumen efektif untuk melestarikan cengkeraman penindasannya, yakni bank sentral dan uang kertas. Bank sentral, kini disebut Bank Indonesia, kita tahu adalah metamorfosa dari sebuah bank swasta milik sejumlah Yahudi Belanda, De Javasche Bank. Dan dengan itu, bangsa Indonesia mendapat warisan beban utang pemerintah Hindia Belanda, sebesar 4 milyar dolar AS, yang kelak - 65 tahun kemudian - telah beranak-pinak tak terkendali, menjadi sekitar 140-an milyar dolar AS.
Akibatnya, sesudah 65 tahun "merdeka'', umat Islam Indonesia bukan saja masih tapi makin menderita. Kenyataan ini dapat diukur dengan satu indikator tunggal, yakni daya beli mata uang kertas rupiah, yang dalam 65 tahun ini telah merosot sekitar 200 ribu kali. Ini bermakna, secara riel, bangsa Indonesia telah mengalami pemiskinan 200 ribu kali dibanding dengan sebelum "merdeka". Tak lama sesudah "merdeka", Oktober 1946, Pemerintah RI mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Ketika itu harga dinar emas adalah Rp 8.5/koin, pada bulan Mei 2011, harga dinar emas telah mencapai Rp 1.850 ribu/koin. Akar penyebabnya, tiada lain, adalah sistem riba yang kita jalani selama ini.
Muamalat Jalan Keluar dari Jerat Ekonomi
Dalam konteks ini ada dua pernyataan Rasulullah, salallahualayhi wassalam, yang mendapatkan bukti kebenarannya. Pertama, bahwa akan datang suatu zaman saat kita tidak dapat menemukan seorang pun di dunia ini yang tidak memakan riba dan bahkan orang yang menlak makan riba pun akan ikut terkena debunya (dari hadits riwayat Abu Daud). Kedua, akan datang suatu zaman ketika tidak ada yang tertinggal yang dapat dimanfaatkan (karena habis daya belinya) kecuali dinar dan dirham (dari hadits riwayat Ahmad).
Maka, memahami ekonomi (baca: kapitalisme) dalam perspektif muamalat akan memberikan pemahaman yang tepat tentang riba, dan segala akibatnya sebagaimana telah dinyatakan oleh hadits-hadits tersebut. Dengan pemahaman yang tepat tentang riba ini, yakni sistem ekonomi dengan segala perangkatnya itu, kita dapat mencari solusi untuk memeranginya, sebagaimana juga dengan tegas dinyatakan dalam al Qur'an, bahwa Allah dan Rasul SAW, menyatakan perang terhadapnya.
Secara ringkas muamalat memiliki lima pilar, yaitu mata uang riil, pasar terbuka, pedagang dan paguyuban pedagang mandiri, satuan-satuan produksi mandiri, dan kontrak-kontrak bisnis dan komersial yang halal, yakni qirad, syirkat, dengan segala variasinya. Tanpa harus disebut sebagai "muamalat kerakyatan", dengan sendirinya pilar-pilar mumalat ini adalah untuk rakyat. Penghapusan riba akan membuka akses finansial, produksi dan pasar, kepada semua orang secara sama. Muamalat memastikan perlindungan kepada seluruh pelaku usaha. Tidak ada pemajakan, tidak ada riba, tidak ada monopoli, tidak ada inflasi. Hukum alam, mekanisme fitrah, akan sepenuhnya berjalan tanpa manipulasi, melalui kebijakan fiskal dan moneter tersebut di atas.
Muamalat adalah satu-satunya jalan keluar bagi kita dari jerat ekonomi. Kita tidak bisa keluar dari persoalan ekonomi dengan jalan ekonomi itu sendiri. Sebab ekonomi adalah akar persoalannya bukan obat bagi penyakitnya. Bahkan bila itu disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan atau Ekonomi Islam sekalipun.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com
www.wakalanusantara.com
No comments:
Post a Comment