Monday, October 10, 2011

Lima Pilar Muamalat

Para ulama membedakan transaksi hidup (dien) menjadi dua, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Yang pertama disebut ibadah, yang kedua muamalat.

Yang jadi soal di sini adalah timbulnya salah pengertian seolah keduanya tidak saling mengait, atau tepatnya, muamalat bukan bagian dari ibadah. Akibat lebih jauh lagi adalah dalam beribadah orang bersikap hati-hati, taat syariat, sementara dalam bermuamalat sangat longgar. Bukan saja syariat bermuamalat dilupakan, tapi kita "bermuamalat" dengan syariat dien lain, bukan dienul Islam.

Lihat sekeliling kita. Masyarakat Muslim umumnya sangat strick dalam urusan-urusan pribadi: salat, puasa, atau haji. Sedangkan dalam urusan-urusan sosial, yang justru merupakan kehidupan itu sendiri, tidak peduli: dalam jual-beli, utang-piutang, perdagangan, hubungan kerja, dan seterusnya. Syariat Islam tidak lagi diindahkan.

Maka, dienul Islam tinggal separuh (ibadah pribadi), separuhnya lagi (ibadah sosial, muamalat) mati. Dalam bermuamalat sehari-hari, umat Islam sama sekali tidak dapat dibedakan dari umat non-Islam, mengacu pada tata cara yang bahkan bertentangan dengan syariat Islam. Rasulullah SAW pernah menperingatkan kita: akan tiba suatu zaman ketika semua orang terlibat di dalam riba, bahkan yang tidak bermaksud memakannyapun, ikut terkena debunya. Zaman itu agaknya telah sampai di tengah kita. Kegiatan jual-beli, utang-piutang, serta perdagangan yang kita jalani sehari-hari, saat ini, tak ada yang tak terkait dengan riba.

Tetapi, Allah SWT, dengan tegas menyatakan agar kita meninggalkan sisa-sisa riba, seujung rambut sekalipun. Dengan kata lain tugas kita semualah untuk menegakkan muamalat. Dan itu sepatutnya kita lakukan dalam 'amal sehari-hari, bukan secara teori. Secara historis, 'amal muamalat di kalangan kaum Muslim, dapat kita kenali di dalam lima pilar muamalat.

1. Pasar
Pilar pertama yang kini hampir sepenuhnya runtuh adalah pasar, yakni tempat-tempat umum untuk masyarakat berdagang. Rasulullah SAW menyatakan bahwa pasar sama dengan masjid, tidak boleh dimiliki secara pribadi, tidak ada sewa, tanpa pajak, dan tidak ada bangunan permanen: terbuka penuh bagi siapa pun. Yang ada di sekeliling kita saat ini, bahkan yang disebut sebagai "Pasar Tradisional" sekalipun, bukanlah pasar menurut hukum syariat. Bangunan-bangunan permanen tersebut adalah kumpulan kios milik orang-perorang, yang untuk pemilikannya pun dikenai berbagai pajak pula.

Penyelenggaraaan Festival Hari Pasaran Dinar Dirham Nusantara, sebagaimana telah dimulai di Geger Kalong, Bandung, awal Mei 09 lalu, adalah awal dari upaya pengembalian pasar-pasar terbuka.

2. Dinar dan Dirham
Pilar kedua adalah alat tukar (uang) yang halal. Rasul SAW menyebutkan enam jenis alat tukar ini, yakni emas, perak, gandum, barley, kurma, dan garam (dalam riwayat lain disbut kismis). Ringkasnya alat tukar yang halal haruslah berupa komoditi yang umum dipakai sebagai alat jual-beli, yang paling lazim di antaranya adalah uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Tanpa alat tukar berbasis komoditi berbagai transaksi muamalat -khususnya utang-piutang dan jual-beli- tidak dapat berlaku adil, karenanya bersifat batil.

3. Pedagang Keliling
Pilar ketiga, sesudah pasar dan mata uang, tentu saja, adalah keberadaan para pedagang itu sendiri, baik secara sendiri-sendiri atau berombongan dalam rombongan keliling, dulu dikenal sebagai kafilah-kafilah (karavan). Para pedagang adalah penggerak utama ekonomi, baik dengan modal sendiri, maupun bermitra dengan para investor. Rasulullah SAW mengindikasikan bahwa "9/10 rezeki ada pada perdagangan". Lagi-lagi, yang kita lihat di sekeliling kita saat ini, bukanlah pedagang dan perdagangan. Mereka adalah "buruh-buruh lepas" pabrikan, yang diperlakukan sebagai outlet-outlet distribusi produk mereka.

4. Paguyuban Produsen
Pilar keempat, ketika pasar telah tersedia dan ramai dikunjungi para pedagang dan pembeli, maka produksi akan tumbuh kembali di tangan masyarakat, melalui syarikat-syarikat (paguyuban) produksi. Dalam syarikat-syarikat produksi (di Eropa dikenal sebagai gilda) inilah bekerja sebagian besar orang sebagai para pemilik atau mitra-pemilik (co-owner). Dalam muamalat posisi majikan-buruh adalah perkecualian belaka, berkebalikan dengan keadaan saat ini, ketika pemilikan adalah perkecualian, dan perburuhan adalah kelaziman.

5. Kontrak Bisnis Berkeadilan

Pilar kelima, sebagai konsekuensi dari kembalinya keempat pilar di atas, adalah kontrak-kontrak bisnis dan komersial menurut syariat: qirad, syirkat, muzara'ah, dan sebagainya. Qirad adalah kontrak kemitraan usaha dagang, antara pemodal dan agen yang ditunjukknya. Syirkat adalah kemitraan produksi sekunder. Muzara'ah adalah kemitraan produksi primer, seperti dalam pertanian dan perkebunan.

Sekarang kontrak-kontrak ini bukan saja telah hilang, tapi malah diambil-alih oleh sistem perbankan untuk membenarkan praktek haram mereka. Istilah-istilah dalam muamalat ini dimanipulasi dan dipakai untuk praktek-praktek yang bertentangan dengan hukum syariat. Perbankannya pun disebut sebagai perbankan syariat.

Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com

No comments:

Post a Comment