Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluarga, dan sahabatnya. Amin
Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu
dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia
dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena
itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi
disekitar anda.
Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang
buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya. Di antara
bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah
praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian
rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia.
System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan
perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh
penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam.
Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.
Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami
berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan
mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya
dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.
PRAKTIK PERTAMA : KREDIT
SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas
dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah
kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah
dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli
dan pihak pembiayaan.
Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang
kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya
pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya
dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama. Sekilas ini adalah jual
beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :
- Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
- Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
- Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
- Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama
Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu
pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya
dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan. Jauh-jauh hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana
disebutkan pada hadits berikut.
“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga
ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya
berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat
Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]
Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini
kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang
belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.
Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau
(Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi
adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya
kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]
PRAKTIK KEDUA :
PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah
menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai
yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola
ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka
kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak
diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba
karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ
رِبًا
Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”
[1]
Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah
bahwa :
Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang),
miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya”. [Riwayat Imam
Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]
PRAKTEK KETIGA :
MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG
Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan
nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang
sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat
membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang
yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika
pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya
bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus
membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.
Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba,
berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang
adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada
pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang
kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran
tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.
“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah
melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang
yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim didunia, niscaya
Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa
menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim
hadits no. 7028]
Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat.
Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi
dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya
tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang
yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.
PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR
TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah
emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap
uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini
terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:
"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma
dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya)
harussama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat
riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no.1584]
Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya
ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran
dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil
penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang
diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada
praktik barter barang sejenis.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi
pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut
datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh
kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab,“Tidak, Ya Rasulullah, sungguh
demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma
lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan
uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu
terbaik tersebut”
“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh
(itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila
engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang
mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil
penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits no 2089 dan
Muslim hadits no. 1593]
PRAKTIK KELIMA : JUAL
BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa
terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu
canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai
pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau
lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa
dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya.
Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan
sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda Walau
demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at
sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at
yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli
emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah
terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini
benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya
surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli
menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari
keduanya.
Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat
ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:
“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan
kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba,
penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]
PRAKTIK KEENAM : KARTU
KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2]
dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang
dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit.
Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam
tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.
Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu
kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap
keterlambatan adalah riba.
Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan?
Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak
membayar riba atau bunga”.
Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehinggatidak
pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan
atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya
anda meremehkan.
Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang
kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya
adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda
menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah
tagihan dari tabungan anda.
PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam
yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud
dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3]
kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee,
serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.
Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya,
berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual
suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk,
misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati
pula :
- Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
- Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama.
Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan
bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.
Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :
Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah,
sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan
lancar.
Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang
bersangkutan[4]
Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan
mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa
yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena
penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo
seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual
sebenarnya yang berlaku di pasar.
Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik
‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan
harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya
dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli
‘inah ini dicela pada hadits berikut.
“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan),
merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan
kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada
agama kalian” [5]
Karena itu International Islamic
Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam keputusannya yang bernomor
178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar pembelian kembali sukuk
mengikuti harga yang berlaku dipasar pada saat pembelian dan bukan menggunakan
harga jual pertama pad saat penerbitan.
PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktik-praktik riba yang
banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktik-praktik riba yang belum
saya kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh
bagi anda sehingga anda semakin waspada terhadap berbagai perangkap riba. Pada
akhirnya, saran dan kritik dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala
senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi
kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 2, Tahun ke-II/Syawal 1432 (Sept-Okt 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah
: 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir
5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam
jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/ )
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk
diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad : 2/42, Abu Dawud hadits no. 3464, dan dinyatakan shahih
oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah hadits no. 11
Oleh.
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA
Oleh.
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA
No comments:
Post a Comment