Fokus keshalihan dan ketakwaannya seorang muslim sejatinya tak
hanya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, tapi
juga mu`amalahnya sesama manusia.
Hutang-piutang merupakan salah satu permasalahan yang layak
dijadikan bahan kajian. Hutang-piutang merupakan persoalan fikih yang membahas
permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan
ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat
Al-Baqarah ayat 282.
Demikian pentingnya masalah hutang-piutang ini, Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam enggan menshalatkan jenazah orang yang berhutang. Suatu ketika
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendatangi jenazah seorang laki-laki
untuk dishalatkan, maka beliau bersabda, “Shalatkanlah teman kalian, karena
sesungguhnya dia memiliki utang.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Apakah teman
kalian ini memiliki utang?” Mereka menjawab, “Ya, dua dinar.” Maka Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mundur seraya bersabda, “Shalatkanlah teman
kalian!” Lalu Abu Qatadah berkata, “Utangnya menjadi tanggunganku”. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Penuhilah (janjimu)!” Lalu
beliau kemudian menyalatkannya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).
DEFINISI HUTANG
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah
dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang. Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh
ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja
yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat)
sesuai dengan padanannya. Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197).Dikutip dari Mauqif
Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah
Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat
Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya
hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah. “Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Dalil dari Al-Hadits “Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor
anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti
anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu
Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang
telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.”(Muttafaqun
‘alaih)
juga bersabda Nabi “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada
sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR.
. Hadits ini di-hasan-kan Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’
tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain
merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at, ini janji sekaligus
jaminan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:“Barang siapa yang
melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan
melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barang siapa yang memudahkan urusan
orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia
dan akhirat, Barang siapa yang menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di
dunia, niscaya Allah akan menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan
Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong saudaranya.” (HR.
Muslim)
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan
keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi
dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu
berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga
menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang
diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah,
belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari
sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia
masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali
karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid
bin Yazid Ad-Dimasyqi. Sunan Ibnu Majah, no. 2431.
C. PERSAKSIAN DALAM HUTANG PIUTANG
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282)
Mengenai ayat ini, Ibnul Abbas rahimahullah di dalam kitab
Ahkam-nya menyatakan : "Ayat ini adalah ayat yang agung dalam
mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat
ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang
(fikih)". Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247.
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya
untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non
tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengingatkan salah satu ayat : "Hal itu lebih adil di sisi Allah dan
memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan". Tafsir
Quranil Azhim, 3/316.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : "Maka tulislah …" maksudnya
adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu
pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi,
tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia,
sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang
lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan
untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi". Ahkamul
Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
"Maka tulislah…", secara zhahir menunjukkan, bahwa dia
menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim,
apabila suatu saat perkara hutang-piutang ini diangkat kepadanya. Ibid
D. TIDAK ADA KEUNTUNGAN ATAU MANFAAT BAGI SI
PEMBERI HUTANG
Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita
perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah: “Setiap
piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al
Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in,
3/65; Subulus Salam, 4/97, al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi
1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul
Mumthi’ 9/108-109)
Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal: “Setiap piutang yang
mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada
perselisihan di antara para ulama”.
Lalu Ibnu Qudamah kemudian membawakan perkataan Ibnul Mundzir.
Beliau mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang
mensyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu
dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah
riba”.
Lalu kenapa bentuk pengambilan keuntungan dalam utang piutang ini
terlarang? Ibnu Qudamah mengatakan, “Karena yang namanya utang piutang adalah
bentuk tolong menolong dan berbuat baik. Jika dipersyaratkan adanya tambahan
ketika pengembalian utang, maka itu sudah keluar dari tujuan utama mengutangi
(yaitu untuk tolong menolong)”. (Lihat Al Mughni, 9/104).
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Imam Asy Syairazi Asy Syafi’i.
Beliau mengatakan, “Diriwayatkan dari Abu Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhum, mereka semua melarang piutang yang di dalamnya terdapat
keuntungan. Alasannya, karena utang piutang adalah untuk tolong menolong
(berbuat baik). Jika dipersyaratkan adanya keuntungan, maka akad utang piutang
berarti telah keluar dari tujuannya (yaitu untuk tolong menolong)”. (Al
Muhadzdzab, 2/ 81)
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah
diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah
tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri
anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau
dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku
sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk
ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang
berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa
syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar
Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51.
Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada
orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh
kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini
dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini
biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka
paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi,
bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini
menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi
untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang
beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh
Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)
Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya,
tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang
yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang
dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan
harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak
membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan
harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam
kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan
kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami
kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang
yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini
karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni
orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan
agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara
tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)
E. HUTANG TIDAK BOLEH DISERTAI DENGAN
JUAL BELI
Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada salaf (piutang) bersamaan dengan jual beli (mencari
keuntungan).” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf
adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen).
Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat,
karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan
(pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka
akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam
asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)
Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk
berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan
keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau
dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad
al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa
juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119,Nihayatu
al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)
Dalam lafazh lain dikatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang adanya piutang dan jual beli bersamaan dalam satu akad.” (HR.
Tirmidzi dan An Nasaa’i. hasan shahih)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan apa yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang
diharamkan Allah dengan sedikit tipu muslihat." (Riwayat Ibnu Batthah
dan dihasankan oleh Ibnu Katsir)
F. AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG
HUTANG
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 280)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata. “Artinya :
Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya
dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian”. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah,
no. 2305
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata. “Aku
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. Shahih
Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang mengambil
harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya),
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
membinasakannya” Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387.
“Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam
urusan hutang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya
seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh
kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia
tak akan masuk Surga, sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.”Hadits riwayat
An-Nasa’i, lihat Al Mujtaba, 7/314; Shahihul Jami’, 3594.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak
akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk
pembayaran hutang”. HR Bukhari no. 2390.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. : “Seseorang menagih
hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan
kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak
berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para
sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari
untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya,
kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling
baik dalam pembayaran”. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390.
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang
yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah.:
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Menunda
pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga)
keehormatannya”.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” Ibid, no. 2401.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” Ibid, no. 2401.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa yang mendapatkan
hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta
tersebut dari yang lainnya” Ibid, no. 2402.
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi
oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi
apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh
memerdekakan, menjual atau membeli” Fathul Bari (5/62)
Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia
tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan,
maka dikembalikan” Ibid (5/54)
Pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Tangan bertanggung jawab atas semua
yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” HR Abu Dawud, Al-Buyu,
Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain.
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia
melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan
harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, telah bersabda Rasulullah : “Menunda pembayaran bagi orang yang
mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan
kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. HR Bukhari, Al-Hawalah,
no. 2288.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku)
Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku
memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah
hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun
tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu
sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu
kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun
melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan
menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak
disentuh. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405.
“Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang
melilit nan memberatkan?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah
terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila
berjanji, ia ingkar.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Barang siapa yang menunda atau memaafkan utang orang yang
kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang
padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (Riwayat Bukhari, Muslim,
At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy)
“Barang siapa yang menunda atau memaafkan piutang orang yang
kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang
padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (Riwayat Bukhari, Muslim,
At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy)
“Barang siapa yang melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di
dunia, niscaya Allah akan melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barang
siapa yang memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat, Barang siapa yang menutupi
kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah akan menutupi
kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba
selama ia juga menolong saudaranya.” (Riwayat Muslim)
“Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang kesusahan, niscaya
Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (Riwayat Ibnu
Majah)
“Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan
zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka
hendaknya iapun menurutinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat
dari dosa yang ia kerjakan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim)
“Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang
hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah“. (Riwayat
Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi)
“Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari
seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta
zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang
beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali
menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap
berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia
adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.”(Muttafaqun
‘alaih)
“Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah
kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk
membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa
telah cukup membalas kebaikannya tersebut.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada
umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi
tanggungan utangnya: Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi
sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku
mohon bantuan kepadamu.” Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya:
“Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau
menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk
melunasinya. Ucapkanlah: “Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan
rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah
kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.” (Riwayat
Ahmad, At Tirmizy)
"Sahabat Hudzaifah radhiallahu a'nhu menuturkan, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, '(Pada hari kiamat kelak) Allah
mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan,
kemudian Allah bertanya kepadanya, 'Apa yang engkau lakukan ketika di
dunia?' [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs.
an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan
kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan
kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan)
orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian
Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah
hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali
hutangnya”. HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin
Ash
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, “Barangsiapa
yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal,
niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan
(ketiga) dari tanggungan hutang”. (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan
At-Tirmidzi IV/138 no: 1573).
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda. “Jiwa orang mukmin
bergantung pada hutangnya hingga dilunasi”. (HR. Ibnu Majah II/806
no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078).
Dari Ibnu Umar. “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan
menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan
diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak
(pula) Dirham”. (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414).
Dari Abu Qatadah , bahwasannya Rasulullah pernah berdiri
ditengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa
jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal.
Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana
pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku kepadanya
akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah Ya, jika engkau gugur di
jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril
’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku”. (HR. Muslim III/1501 no:
1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157).
Berhati-hatilah dalam berhutang. Sesungguhnya utang itu suatu
kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. (Hadist Riwayat
Al-Baihaqi)
Letih Jiwa Karena Memikirkan Hutang. Berusaha Mencari Solusi
Sebelum Berhutang,Usahakan Hutang Merupakan Solusi Terakhir.
HAPPY NEW YEAR HAPPY NEW YEAR HAPPY NEW YEAR
ReplyDeleteDARI-rossastanleyloancompany
Apakah Anda membutuhkan kredit yang urg?
Sangat Cepat dan Transfer Instan ke rekening bank anda
Bayar kembali bulan setelah Anda
akun bank
* Suku bunga rendah 2%
* Pengembalian jangka panjang (1-30) Panjang
* Pinjaman fleksibel dan gaji bulanan
*. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membiayai? Setelah mengajukan pinjaman
Anda mungkin mengharapkan jawaban kurang dari 24 jam
pembiayaan dalam 48 Jam setelah menerima informasi yang mereka butuhkan
Dari kru Di perusahaan pinjaman ROSSA STANLEY, kami adalah perusahaan pembiayaan yang berpengalaman yang menyediakan fasilitas pinjaman mudah untuk tulus, korporat, legal dan publik dengan tingkat bunga 2%. Kami memiliki akses ke koleksi uang tunai untuk diberikan kepada perusahaan dan mereka yang memiliki rencana untuk memulai bisnis tidak peduli sedikit atau besar, kami memiliki uang tunai. Yakinlah yang kesejahteraan dan Kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami, di sini kami di sini untuk mengurus Anda.
Hubungi perusahaan pinjaman yang sah dan dapat dipercaya dengan track record layanan yang memberikan kebebasan finansial kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Untuk informasi lebih lanjut dan pinjaman yang meminta untuk bisnis anda, belilah rumah, beli mobil, liburan, hubungi kami via,
E-mail Resmi: rossastanleyloancompany@gmail.com
Instagram resmi: Rossamikefavor
Twitter resmi: Rossastanlyloan
Official Facebook: rossa stanley favor
CSN: +12133153118
untuk respon cepat dan cepat.
Silahkan mengisi aplikasi di bawah ini dan kami akan memanggil Anda lagi, Kami tersedia 24/7
DATA PEMOHON
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Status Perkawinan:
6) Pekerjaan:
7) Nomor Telepon:
8) posisi saat bekerja:
9) Penghasilan:
10) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
11) Durasi Pinjaman:
12) nama facebook:
13) nomor Whatsapp:
14) Agama:
15) Tanggal lahir:
SALAM,
Mrs.Rossa Stanley Favor
ROSSASTANLEYLOANCOMPANY
Email rossastanleyloancompany@gmail.com