Thursday, June 14, 2012

Konsep Jual Beli Salam


Definisi Jual Beli Salam
Kata “salam” berasal dari kata “at-taslim” (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan kata “as-salaf” (السَّلَف), yang mengandung pengertian 'memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil di kemudian hari'. Sedangkan, para ulama mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan 'jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam tanggungan (penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad' (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 148, karya Syekh Shalih Al-Fauzan). Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah 'akad pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan'.


Dengan demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua hal:
1.  Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2.  Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu yang telah ditentukan dalam majelis akad (dari kitab Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj Ath-Thalibin, karya Ar-Ramli.

Rukun Jual Beli Salam
Ada empat rukun dari jual beli as-salam ini, yakni :
Pembeli : “al-muslim”, “al-muslif”, atau “rabb as-salam”.
Penjual :  “al-muslam 'ilaihi” atau “al-muslaf 'ilaihi”.
Nilai pembayaran kontan dimuka / modal as-salam : ra`sumal as-salam.
Barang yang dipesan : “al-muslam fihi” atau “dain as-salam” (utang as-salam). (Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhayaa Iqtishad Al-Mu’asharah, 1:183).

Landasan Syar`i Jual beli Salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma', juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).

Pertama: Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Hadis Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)

Kata “apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”.
Diantara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut yang berbunyi : "Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalah itu) kecuali bila mu'amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya." (Qs. Al Baqarah: 282)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah

Hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang berbunyi, “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)

Ketiga: Ijma` Ulama
Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salamitu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)

Keempat: Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia,
Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).

Oleh karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).

Dengan akad salam ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa :
1.  Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a.  Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
b. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.

SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM
Berdasarkan dalil di atas dan juga lainnya, para ulama' telah menyepakati akan disyari'atkanya jual-beli salam.
Walau demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak.

Syarat Pertama: Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut :
"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  melarang jual-beli piutang dengan piutang." (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama' diantaranya Imam As Syafi'i, Ahmad)

Walau demikian halnya, banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama' telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang."
Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir. At Talkhisu Al Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/406 & Irwa'ul Ghalil oleh Al Albany 5/220-222.

Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebenarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek  untung-untungan." I'lamul Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/20.

Syarat Kedua: Dilakukan Pada Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
Adapun barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, maka tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut :
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan." (Riwayat Muslim)

Syarat Ketiga: Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda:
"Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)

Syarat Keempat: Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan
Kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati menurut kebanyakan ulama' haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." Pada hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mensyaratkan agar pada akad salam ditentukan tempo yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hikmah dan tujuan disyari'atkannya akad salam, yaitu pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual mendapatkan keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari pemesan tersebut yang telah dibayarkan di muka. Oleh karenanya bila tempo yang disepakati tidak memenuhi hikmah dari disyari'atkannya salam, maka tidak ada manfaatnya akad salam yang dijalin. Bada'ius Shanai'i oleh Al Kasaany 4/448, As Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 7/394-396, & Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/402-404.

Pendapat kedua: Ulama' mazhab Syafi'i tidak sependapat dengan jumhur ulama', mereka menyatakan bahwa penentuan tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku, sehingga dibenarkan bagi pemesan untuk memesan barang dengan tanpa tenggang waktu yang mempengaruhi harga barang, atau bahkan dengan tidak ada tenggang waktu sama-sekali.
Mereka beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan.
Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/396 & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.

Syarat Kelima: Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nyata diharamkan dalam syari'at Islam. Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya." (Muttafaqun 'alaih)

Syarat Keenam: Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.

Ketujuh: Tidak dipersyaratkan pedagang adalah pemilik barang obyek salam.
Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa pedagang yang dibenarkan untuk menjalankan akad salam ialah pedagang yang memiliki barang obyek sakad salam. Namun ternyata anggapan ini tidak benar adanya. Oleh karena itu, dahulu semasa hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat tidak pernah bertanya kepada para pedagang yang menerima pesanan mereka : apakah mereka memiliki barang pesanannnya atau tidak. Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan : "Pada suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin Aufa radhiallahu 'anhu. Mereka berdua berpesan: bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabishallallahu 'alaihi wa sallam semasa hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memesan gandum dengan pembayaran lunas di muka? Ketika sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab: Dahulu kami memesan gandum, sya'ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati dari para pedagang Negri Syam. Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu." (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan praktek akad salam yang dilakukan oleh para sahabat ini, maka anda dibenarkan menjalin akad ini dengan para pedagang, walaupun mereka bukan prudusen atau pengrajin atau petani penghasil barang.

No comments:

Post a Comment