Definisi Jual
Beli Salam
Kata
“salam” berasal dari kata “at-taslim” (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan
kata “as-salaf” (السَّلَف), yang mengandung pengertian 'memberikan sesuatu
dengan mengharapkan hasil di kemudian hari'. Sedangkan, para ulama
mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan 'jual beli barang yang
disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam tanggungan
(penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad' (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 148, karya Syekh Shalih Al-Fauzan).
Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah 'akad
pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan
pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan'.
Dengan
demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki kekhususan
(karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua hal:
1. Pembayaran
dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari sinilah sehingga
“jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2. Serah terima
barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu yang telah
ditentukan dalam majelis akad (dari kitab Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj
Ath-Thalibin, karya Ar-Ramli.
Rukun Jual Beli
Salam
Ada
empat rukun dari jual beli as-salam ini, yakni :
Pembeli
: “al-muslim”, “al-muslif”, atau “rabb as-salam”.
Penjual
: “al-muslam 'ilaihi” atau “al-muslaf
'ilaihi”.
Nilai
pembayaran kontan dimuka / modal as-salam : ra`sumal as-salam.
Barang
yang dipesan : “al-muslam fihi” atau “dain as-salam” (utang as-salam). (Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhayaa Iqtishad
Al-Mu’asharah, 1:183).
Landasan Syar`i
Jual beli Salam
Jual
beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran
dan As-Sunnah serta ijma', juga sesuai dengan analogi akal yang benar
(al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil
dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat
yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan ayat ini
sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo
yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (Hadis Imam
Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata
“apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai
dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila
tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”.
Diantara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu
Abbas radhiallahu 'anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut
yang berbunyi : "Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di
sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalah itu) kecuali bila mu'amalah itu
berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa
atasmu bila kamu tidak menulisnya." (Qs. Al Baqarah: 282)
Kedua: Dalil
dari As-Sunnah
Hadis
Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang berbunyi, “Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma
dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa
yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui
(oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) pula." (Muttafaqun
'alaih)
Ketiga: Ijma`
Ulama
Ulama Islam
telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual
beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir
dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu
Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan
menyatakan, “Semua ulama, yang kami
hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salamitu boleh.” (Al-Mughni,
6:385)
Keempat: Kebolehan
akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan
manusia,
Sebagaimana
dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah
Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah
menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa
sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan
terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli mengambil
keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai harga di
bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh
karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah
Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu
jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena muamalah
ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka,
di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).
Dengan akad salam
ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu
atau ghoror (untung-untungan). Pembeli (biasanya) mendapatkan
keuntungan berupa :
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia
butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga
yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan
kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
a. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang
halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus
membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat
menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
b. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena
biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak
cukup lama.
SYARAT-SYARAT
JUAL BELI SALAM
Berdasarkan
dalil di atas dan juga lainnya, para ulama' telah menyepakati akan
disyari'atkanya jual-beli salam.
Walau demikian,
sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam memiliki
beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan. Persyaratan-persyaratan
tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah dari disyari'atkannya
salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan ghoror
(untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak.
Syarat Pertama:
Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan)
Sebagaimana
dapat dipahami dari namanya, yaitu as
salam yang berarti penyerahan, atau as
salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa
pembayaran pada akad as salam harus
dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau
ditunda.
Adapun bila
pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan
memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan
membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan
setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan
haram hukumnya. Hal ini berdasarkan hadits berikut :
"Dari
sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang jual-beli piutang dengan piutang." (Riwayat Ad Daraquthny, Al
Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama' diantaranya
Imam As Syafi'i, Ahmad)
Walau demikian
halnya, banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah bulat
untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.
Imam Ahmad bin
Hambal berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini
(larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama'
telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang."
Ungkapan senada
juga diutarakan oleh Ibnul Munzir. At Talkhisu Al
Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/406 & Irwa'ul Ghalil oleh Al Albany 5/220-222.
Ibnul Qayyim
berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan
dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama
berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan
dengan as Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila
pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang,
bahkan itulah sebenarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi,
serta termasuk praktek untung-untungan." I'lamul
Muwaqqi'in oleh Ibnul Qayyim 2/20.
Syarat Kedua:
Dilakukan Pada Barang-barang yang Memiliki Kriteria Jelas
Menjadi suatu
keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan
melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan
barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, dengan demikian, ketika jatuh
tempo, diharapkan tidak terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang
yang dimaksud.
Adapun
barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, maka tidak boleh
diperjual-belikan dengan cara salam,
karena itu termasuk jual-beli ghoror (untung-untungan) yang nyata-nyata
dilarang dalam hadits berikut :
"Bahwasannya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan." (Riwayat Muslim)
Syarat Ketiga:
Penyebutan Kriteria Barang Pada Saat Akad Dilangsungkan
Pada akad salam,
penjual dan pembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang
dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan
dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang
diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pada hadits di atas bersabda:
"Barang
siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh
kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Keempat:
Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan
Kedua belah
pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang
pesanan. Dan tempo yang disepakati menurut kebanyakan ulama' haruslah tempo
yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam: "Hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) pula." Pada hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam mensyaratkan agar pada akad salam ditentukan tempo yang disepakati
oleh kedua belah pihak.
Sebagaimana
mereka juga berdalil dengan hikmah dan tujuan disyari'atkannya akad salam, yaitu
pemesan mendapatkan barang dengan harga yang murah, dan penjual mendapatkan
keuntungan dari usaha yang ia jalankan dengan dana dari pemesan tersebut yang
telah dibayarkan di muka. Oleh karenanya bila tempo yang disepakati tidak
memenuhi hikmah dari disyari'atkannya salam, maka tidak ada manfaatnya akad
salam yang dijalin. Bada'ius
Shanai'i oleh Al Kasaany 4/448, As Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd
7/394-396, & Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/402-404.
Pendapat kedua:
Ulama' mazhab Syafi'i tidak sependapat dengan jumhur ulama', mereka menyatakan
bahwa penentuan tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku, sehingga
dibenarkan bagi pemesan untuk memesan barang dengan tanpa tenggang waktu yang
mempengaruhi harga barang, atau bahkan dengan tidak ada tenggang waktu
sama-sekali.
Mereka beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan. Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/396 & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.
Mereka beralasan bahwa: bila pemesanan barang yang pemenuhannya dilakukan setelah berlalu waktu cukup lama dibenarkan, yang mungkin saja penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pemesanan yang langsung dipenuhi seusai akad lebih layak untuk dibenarkan. Al 'Aziz oleh Ar Rafi'i 4/396 & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.
Syarat Kelima:
Barang Pesanan Tersedia di Pasar Pada Saat Jatuh Tempo
Pada saat
menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan
ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan
akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nyata
diharamkan dalam syari'at Islam. Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya
barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan
dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan
menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang. Oleh
karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Dari sahabat Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan
penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci,
janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dari kalian
melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang
saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah
ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain,
dan tidaklah ia menghinanya." (Muttafaqun 'alaih)
Syarat Keenam:
Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Ketujuh: Tidak
dipersyaratkan pedagang adalah pemilik barang obyek salam.
Mungkin
sebagian orang beranggapan bahwa pedagang yang dibenarkan untuk menjalankan
akad salam ialah pedagang yang memiliki barang obyek sakad salam. Namun
ternyata anggapan ini tidak benar adanya. Oleh karena itu, dahulu semasa hidup
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat tidak pernah bertanya
kepada para pedagang yang menerima pesanan mereka : apakah mereka memiliki
barang pesanannnya atau tidak. Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan : "Pada suatu hari aku diutus oleh
Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin
Aufa radhiallahu 'anhu. Mereka berdua berpesan: bertanyalah kepadanya,
apakah dahulu sahabat Nabishallallahu 'alaihi wa sallam semasa hidup
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memesan gandum dengan pembayaran
lunas di muka? Ketika sahabat Abdullah ditanya demikian, beliau menjawab:
Dahulu kami memesan gandum, sya'ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah), dan
minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati dari para
pedagang Negri Syam. Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian
memesan langsung dari para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab:
Kami tidak bertanya kepada mereka, tentang hal itu." (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan
praktek akad salam yang dilakukan oleh para sahabat ini, maka anda dibenarkan
menjalin akad ini dengan para pedagang, walaupun mereka bukan prudusen atau
pengrajin atau petani penghasil barang.
No comments:
Post a Comment