Macam-Macam Praktek
Perkreditan.
Diantara salah satu bentuk
perniagaan yang marak dijalankan di masyarakat ialah dengan jual-beli dengan
cara kredit.
Dahulu, praktek perkreditan
yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekwensi langsung
dari kesederhanaan metode kehidupan mereka. Akan tetapi pada zaman sekarang,
kehidupan umat manusia secara umum telah mengalami kemajuan dan banyak perubahan.
Tidak pelak lagi, untuk dapat
mengetahui hukum berbagai hal yang dilakukan oleh masyarakat sekarang, kita
harus mengadakan study lebih mendalam untuk mengetahui tingkat kesamaan antara
yang ada dengan yang pernah diterapkan di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bisa saja, nama tetap sama, akan tepai
kandungannya jauh berbeda, sehingga hukumnyapun berbeda.
Adalah kesalahan besar bagi
seorang mujtahid ketika hendak berijtihad, hanya berpedoman kepada kesamaan
nama, tanpa memperhatikan adanya pergeseran atau perkembangan makna dan
kandungannya.
Diantara jenis transaksi yang
telah mengalami perkembangan makna dan penerapannya adalah transaksi
perkreditan.
Dahulu, transaksi ini hanya
mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan
konsumen. Akan tetapi di zaman sekarang, perkreditan telah berkembang dan
mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung, dengan melibatkan pihak
ketiga.
Dengan demikian pembeli
sebagai pihak pertama tidak hanya bertransaksi dengan
pemilik barang, akan tetapi ia bertransaksi dengan dua pihak yang berbeda:
Pihak kedua:
Pemilik barang.
Pihak ketiga:
Perusahaan pembiayaan atau perkreditan atau perbankan. Perkreditan semacan ini
biasa kita temukan pada perkreditan rumah (KPR), atau kendaraan bermotor.
Pada kesempatan ini, saya
mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengkaji hukum kedua jenis perkreditan
ini.
Hukum Perkreditan Langsung
Perkreditan yang dilakukan
secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi
perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap
berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan
harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya
miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan
ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Dalil pertama:
Keumuman firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Ayat ini adalah salah satu
dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit
adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar
dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua:
Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.
اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli
sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan
beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membeli
bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau
menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya
jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk
jual-beli dengan pembayaran dihutang.
Dalil ketiga:
Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka
Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan
dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah
bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga
dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallammemerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash
untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran
dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang
begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan
demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena
pembayaran yang ditunda (terhutang).
Dalil keempat:
Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).
Diantara bentuk perniagaan
yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan
pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi
kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak
mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang
langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:
من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه
“Barang siapa yang membeli
dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun
‘Alaih)
Pemahaman dari empat dalil di
atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan
bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para
ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang
mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal
untuk dilakukan.
Adapun sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره
“Barang siapa yang menjual
jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga
yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat
At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah
larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang
menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian
seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan
dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Hukum Perkreditan Segitiga
Agar lebih mudah memahami
hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang
perkreditan jenis ini:
Bila pak Ahmad hendak membeli
motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu
showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih
motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta
mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan
barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan
pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara
kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.
Setelah akad jual-beli ini
selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli,
maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu
ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan
transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.
Praktek serupa juga dapat
kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.
Keberadaan dan peranan pihak
ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan
cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi
dan menerima motornya?
Jawabannya sederhana: karena
Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak
showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank
berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan
konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga
bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani
formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa
pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi
nasabah bank terkait.
Praktek semacam ini dalam
ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak
ketiga dengan ketentuan tertentu.
Pada dasarnya, akad hawalah
dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala
hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk
mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli
dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang
sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.
Bila kita berusaha mengkaji
dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua
penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama.
Kedua penafsiran tersebut adalah:
Penafsiran pertama: Bank
telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam
waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli
motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang
tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka
ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang
disebutkan dalam hadits berikut:
عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم
Dari sahabat Jabir radhiallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam telah
melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba
(nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau
juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)
Penafsiran kedua: Bank telah
membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli
tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual
motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke
tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya
menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut
semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama
bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang
terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang
jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه
“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu
‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli
bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”
Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya
seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat Ibnu ‘Abbas ini
selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit t berikut:
عن ابن عمر قال: ابتعت زيتا في السوق، فلما استوجبته لنفسي لقيني رجل فأعطاني به ربحا حسنا، فأردت أن أضرب على يده، فأخذ رجل من خلفي بذراعي، فالتفت فإذا زيد بن ثابت فقال: لا تبعه حيث ابتعته حتى تحوزه إلى رحلك فإن رسول الله e نهى أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يحوزها التجار إلى رحالهم. رواه أبو داود والحاكم
“Dari sahabat Ibnu Umar ia
mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya
telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak
tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun
hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut)
tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun
menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata:
“Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau
pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang
dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang
tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.”
(Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])
Para ulama’ menyebutkan
beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan
penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu
sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll,
sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya
kepada pembeli kedua tersebut.
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas t ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.
Saya bertanya kepada Ibnu
‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang
terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya
ditunda.”([4])
Ibnu Hajar menjelaskan
perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan
makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut
kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli,
kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia
langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual
masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah
menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120
dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya
berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi
perniagaan lainnya-pen).”([5])
Dengan penjelasan ini, dapat
kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan
yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu
bentuk perniagaan riba.
Solusi
Sebagai solusi dari
perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat
menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari
pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad
al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang
pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang
dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada
pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran
dicicil/terhutang . Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.
Dan bila solusi pertama ini
tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca
untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang
yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi.
Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan
diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai
rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih
mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar
mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan
karunia-Nya kepada kita:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Qs.
Ibrahim: 7)
Dan hendaknya kita senantiasa
yakin bahwa barang siapa bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan
meninggalkan larangan, niscaya Allah akan memudahkan jalan keluar yang penuh
dengan keberkahan.
ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang bertaqwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Dahulu dinyatakan oleh para
ulama’:
من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه
“Barang siapa meninggalkan
suatu hal karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang
lebih baik.”
Wallau Ta’ala a’alam
bisshowab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad
Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
Artikel www.pengusahamuslim.com
Footnote:
[1] ) Sebagaimana beilau
jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiindan Hasyi’ah
‘ala Syarah Sunan Abi Dawud.
[2] ) Sebagian showroom tidak
mensyaratkan pembayaran uang muka.
[3] ) Walaupun pada sanadnya
ada Muhammad bin Ishaq, akan tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia
mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana hal ini dinyatakan
dalam kitab At Tahqiq. Baca Nasbur
Rayah 4/43 , dan At
Tahqiq2/181.
[4] ) Riwayat Bukhary dan
Muslim.
[5] ) Fathul
Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 4/348-349.
No comments:
Post a Comment