Saturday, March 31, 2012

Al-`UQUD AL-MURAKKABAH


Salah satu parameter untuk menilai suatu produk apakah telah memenuhi prinsip syariah atau tidak adalah dengan memperhatikan akad-akad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk tersebut. Produk-produk dalam kegiatan keuangan syariah, jika terhadapnya dilakukan al-takyif al-fiqi, beberapa atau bahkan sebagian terbesar ternyata mengandung beberapa akad. Sebagai contoh, dalam transaksi kartu kredit syariah terdapat akad ijarah, qardh, dan kafalah; obligasi syariah mengandung sekurang-kurangnya akad mudharabah (atau ijarah) dan wakalah, serta terkadang disertai kafalah atau wa’d; Islamic Swap mengandung beberapakali akad tawarruq, bai’, wakalah, sharf dan terkadang atau selalau disertai wa’d, dana talangan haji mengandung akad ijarah dan qard. Dalam setiap transaksi, akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau setidak-tidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk tidak bisa ditinggalkan, karena kesemuanya merupakan satu kesatuan. Transaksi seperti itulah yang dalam tulisan ini diistilahkan dengan ”Multi Akd” yang kini dalam peristilahan fiqh muamalat kontemporer (fiqh al-mu’amalat al-maliyah al-mu’ashirah) disebut dengan al-’uqud al-murakkabah.
Perbincangan dan perdebatan mengenai keabsahan multi akad ini muncul bukan tanpa sebab. Sejumlah hadis Nabi –sekurangnya tiga buah hadis—secara lahiriah (ma’na zhahir)—menunjukkan larangan penggunaan multi akad. Misalnya, hadis tentang larangan untuk melakukan bai’ dan salaf, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan shafqataini fi shafqatin. Dengan adanya hadis-hadis tersebut kiranya sangat wajar jika timbul pertanyaan, apakah produk-produk keuangan syariah yang menggunakan multi akad dapat diapandang memenuhi prinsip syariah atau sebaliknya.
A. Definisi Multi Akad
Dalam istilah fiqh, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Sedangkan kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u, yakni mengumpulkan atau menghimpun. (Al-Tahânawi, Kasysyâf Ishthilâhât al-Funûn, (Beirut: Dâr Shâdir, tt.), J. 2, hal. 534 kata al-jam’ menunjukkan berkumpulnya sesuatu (tadhâmm al-syai’))

Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fiqh adalah sebagai berikut:
Menurut penggagasnya, al-uqud al-murakkabah adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Nazih Hammad, Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah al-Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).

Akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah: "Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad." Nazîh Hammâd, Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005), cet. ke-1, hal. 7

Sedangkan menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah: "Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik-- sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad." Abdullâh bin Muhammad bin Abdullâh al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 46

Hukum Multi Akad
Al-Syâtiby : “Penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari sesuatu kumpulan (akad) tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri”. Al-Syâtiby, Al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146

Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya, artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh.

Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.

Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69

Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan. Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317


Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 383

Al-Syâtiby, Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud). Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284
Pendapat ini juga didukung oleh kaidah fiqhiyah yang mengelompokkan akad, syarat, dan kegiatan keuangan lainnya sebagai kegiatan hubungan sosial. Dalam bidang ini berlaku kaidah umum al-ashlu fî al-mu’âmalah al-ibâhah atau al-‘âdah muhakkamah. Berangkat dari sini, semua kegiatan sosial muamalah hukumnya boleh kecuali yang telah nyata jelas disebutkan keharamannya.35

Ulama lain, terutama dari kalangan Dhâhiriyyah mengharamkan multi akad. Menurut kalangan Dhahiriyah hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh oleh agama. Kalangan Dhahiriyah beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash-nasah agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan perbuatan seperti ini dianggap melampaui batas agama, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an:“Barangsiapa melampaui ketentuan-ketentuan Allah, maka merekalah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Baqarah : 229)

Dalil lain yang menguatkan pendapat Dhahiriyah ini adalah hadis Nabi Muhammad yang mengatakan: “Dari Aisyah, Nabi bersabda: Tiadalah sekelompok orang membuat syarat-syarat (perjanjian) yang tidak terdapat dalam al-Qur’an?. Setiap perjanjian yang tidak dinyatakan dalam al-Qur’an hukumnya batal, meskipun seratus perjanjian. Ketentuan Allah lebih benar dan perjanjian-Nya lebih kuat”. (HR. Bukhari)

Menurut hadis ini, semua akad, syarat, dan janji dilarang selama tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Artinya, akad yang dibolehkan hanyalah akad yang telah dijelaskan dalam dua sumber hukum tersebut. Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, al-Muhalla, j.5, (Kairo: Dâr al-Turâts, tt.), hal. 15
Menurut penggagasnya, akad rangkap hukumnya mubah berdasar kaidah fikih : al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah (hukum asal muamalah adalah boleh). Maka hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli dalam satu jual beli (baiataini fi baiatin), atau mengharamkan dua akad dalam satu akad (shafqatain fi shafqatin), dipahami hanya perkecualian dari hukum asalnya. (Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer, hal. 13).
Maka alasan kaidah fiqih yang digunakan tidak tepat. Dengan mendalami asal-usulnya, nyatalah kaidah itu hanya cabang dari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh). Padahal nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda (materi), bukan tentang hukum muamalah (perbuatan manusia). (Hisyam Badrani, Tahqiq Al-Fikr Al-Islami, hal. 39).
Kedua, ada nash yang melarang penggabungan akad. Ibnu Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Hadits ini bukan perkecualian, melainkan larangan menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad yang digabungkan bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq yajri ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ala at-taqyid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208).
Muhammad Shiddiq al-Jawi

Batasan-batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:

1. Multi akad dilarang karena nash agama Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli, dan dua transaksi dalam satu transaksi.
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman". (HR. Ahmad) Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-'Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178

Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab al-‘Âlamîn, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, tt.), j. 3, hal. 153

Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, j. 2, hal. 162 juga Ibn Qudâmah, al-Mughniy, j. 6, hal. 334
Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.

Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
Banyak pendapat dari para ulama mengenai maksud dari dua jual beli dalam satu jual beli. Pendapat yang dipilih (râjih) dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba. Pendapat ini menafsirkan bahwa seseorang menjual sesuatu dengan dibayar secara cicil, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada yang menjual dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad seperti ini merupaka hîlah dari terjerumus pada riba, dan sebenarnya tidak terjadi akad jual beli dalam transaksi tersebut.

Jual beli seperti di atas dilarang manakala sebuah akad yang mengandung dua jual beli, salah satu dari jual beli itu dinyatakan sah dan mengikat (lazim) sebelum para pihak berpisah namun tidak ditentukan jual beli manakah yang dinyatakan sah dan mengikat tersebut. 'Illat larangan bentuk jual beli ini adalah ketidakpastian (ررغ) yang timbul dari ketidakjelasan (ةلاهج) nilai harga.

2. Multi akad sebagai hîlah ribawi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah riba fadhl.

a. al-‘înah
Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hîlah riba dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak factual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba nasa', bukan bertujuan pada harga dan barang. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 250
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba. Ibn Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 263 juga Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyâf al-Qanâ’ 'an Matn al-Iqnâ', j.3, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1402 H), hal. 174

b. Hîlah riba fadhl
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri. (Imam Muslim, Sahîh Muslim, j. 3, hal. 1208, juga Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhâry, j. 3, hal. 97)
Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya. (Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 238)

3. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba

Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
a. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi. Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung riba. Abu Barakat Ahmad al-Dardîr, Al-Syarh al-Kabîr ‘ala al-Maqna’, j. 12, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hal. 132, (Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Raudhat al-Thâlibîn, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1412 H), cet ke- 1, hal. 398)

b. Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur riba di dalamnya. (Ibn Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 436, Ibn Taimiyah, Majmû’ Fatâwa Ibn Taimiyyah, j. 29, hal. 334)

4. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan

Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182)

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa keharaman multi akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal; dilarang agama atau hîlah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan ketidakjelasan (jahâlah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi akad yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek yang sama. Dengan kata lain, multi akad yang memenuhi prinsip syariah adalah multi akad yang memenuhi standar atau dhawabit sebagaimana telah dikemukakan. Demikian. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Tulisan ini proses editing antara tulisan Muhammad Shiddiq al-Jawi dan DR. H. Hasanudin, M.Ag tentang Multi Akad dalam Transaksi Mu`amalat.

No comments:

Post a Comment