Salah satu parameter untuk menilai suatu produk apakah telah
memenuhi prinsip syariah atau tidak adalah dengan memperhatikan akad-akad dan
berbagai ketentuannya yang digunakan dalam produk tersebut. Produk-produk dalam
kegiatan keuangan syariah, jika terhadapnya dilakukan al-takyif
al-fiqi, beberapa atau bahkan sebagian
terbesar ternyata mengandung beberapa akad. Sebagai contoh, dalam transaksi
kartu kredit syariah terdapat akad ijarah, qardh, dan kafalah; obligasi syariah
mengandung sekurang-kurangnya akad mudharabah (atau ijarah) dan wakalah, serta
terkadang disertai kafalah atau wa’d; Islamic Swap mengandung beberapakali akad
tawarruq, bai’, wakalah, sharf dan terkadang atau selalau disertai wa’d, dana
talangan haji mengandung akad ijarah dan qard. Dalam setiap transaksi,
akad-akad tersebut dilakukan secara bersamaan atau setidak-tidaknya setiap akad
yang terdapat dalam suatu produk tidak bisa ditinggalkan, karena kesemuanya
merupakan satu kesatuan. Transaksi seperti itulah yang dalam tulisan ini
diistilahkan dengan ”Multi Akd” yang kini dalam peristilahan fiqh muamalat
kontemporer (fiqh
al-mu’amalat al-maliyah al-mu’ashirah)
disebut dengan al-’uqud
al-murakkabah.
Perbincangan dan perdebatan mengenai keabsahan multi akad
ini muncul bukan tanpa sebab. Sejumlah hadis Nabi –sekurangnya tiga buah
hadis—secara lahiriah (ma’na zhahir)—menunjukkan
larangan penggunaan multi akad. Misalnya, hadis tentang larangan untuk melakukan
bai’
dan salaf,
larangan bai’ataini fi bai’atin, dan shafqataini fi shafqatin.
Dengan adanya hadis-hadis tersebut kiranya sangat wajar jika timbul pertanyaan,
apakah produk-produk keuangan syariah yang menggunakan multi akad dapat
diapandang memenuhi prinsip syariah atau sebaliknya.
A. Definisi Multi Akad
Dalam istilah fiqh, kata multi akad merupakan terjemahan
dari kata Arab yaitu al-’uqûd
al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd
al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Sedangkan kata Al-murakkabah
(murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u, yakni
mengumpulkan atau menghimpun. (Al-Tahânawi, Kasysyâf Ishthilâhât al-Funûn, (Beirut: Dâr Shâdir, tt.), J. 2, hal. 534 kata al-jam’
menunjukkan berkumpulnya sesuatu (tadhâmm al-syai’))
Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fiqh adalah sebagai berikut:
Menurut
penggagasnya, al-uqud al-murakkabah adalah kesepakatan dua pihak untuk
melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad
jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sehingga semua akibat
hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang
sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Nazih
Hammad, Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hal. 7; Abdullah
al-Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).
Akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah: "Kesepakatan
dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih
--seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah,
sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua
akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad." Nazîh Hammâd, Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh
al-Islâmy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005), cet.
ke-1, hal. 7
Sedangkan menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah: "Himpunan beberapa akad kebendaan yang
dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik--
sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat
hukum dari satu akad." Abdullâh
bin Muhammad bin Abdullâh al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 46
Hukum Multi Akad
Al-Syâtiby : “Penelitian terhadap hukum Islam
menunjukkan bahwa dampak hukum dari sesuatu kumpulan (akad) tidak sama seperti
saat akad itu berdiri sendiri-sendiri”.
Al-Syâtiby, Al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari
multi akad ini adalah boleh dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum
akad yang membangunnya, artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad,
hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat
terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi
akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai
hal ini ulama berada dalam dua pendapat tersebut; membolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama
Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah
dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa
hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan
selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69
Ibn
Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di
dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram
kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan. Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317
Ibn
al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari
akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344
Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan
syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan
sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya
setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan
bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau
dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya. Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 383
Al-Syâtiby, Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran
hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan
terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny).
Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang
telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan
untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya
adalah diperbolehkan (al-idzn)
bukan melaksanakan (ta’abbud). Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284
Pendapat ini juga didukung oleh kaidah
fiqhiyah yang mengelompokkan akad, syarat, dan kegiatan keuangan lainnya
sebagai kegiatan hubungan sosial. Dalam bidang ini berlaku kaidah umum al-ashlu fî
al-mu’âmalah al-ibâhah atau al-‘âdah
muhakkamah. Berangkat dari sini, semua kegiatan
sosial muamalah hukumnya boleh kecuali yang telah nyata jelas disebutkan
keharamannya.35
Ulama lain, terutama dari kalangan Dhâhiriyyah mengharamkan multi akad. Menurut kalangan Dhahiriyah
hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan boleh
oleh agama. Kalangan Dhahiriyah
beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah dijelaskan apa yang diperlukan oleh
manusia. Setiap perbuatan yang tidak disebutkan dalam nash-nasah agama berarti
membuat ketentuan sendiri yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan perbuatan
seperti ini dianggap melampaui batas agama, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an:“Barangsiapa
melampaui ketentuan-ketentuan Allah, maka merekalah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalil lain yang menguatkan pendapat Dhahiriyah ini adalah
hadis Nabi Muhammad yang mengatakan: “Dari Aisyah, Nabi bersabda: Tiadalah
sekelompok orang membuat syarat-syarat (perjanjian) yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an?. Setiap perjanjian yang tidak dinyatakan dalam al-Qur’an hukumnya
batal, meskipun seratus perjanjian. Ketentuan Allah lebih benar dan
perjanjian-Nya lebih kuat”. (HR.
Bukhari)
Menurut hadis ini, semua akad, syarat, dan janji dilarang
selama tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis
Nabi. Artinya, akad yang dibolehkan hanyalah akad yang telah dijelaskan dalam
dua sumber hukum tersebut. Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm, al-Muhalla, j.5, (Kairo: Dâr al-Turâts, tt.), hal. 15
Menurut
penggagasnya, akad rangkap hukumnya mubah berdasar kaidah fikih : al-ashlu
fi al-muamalat al-ibahah (hukum asal muamalah adalah boleh). Maka
hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli dalam satu jual beli (baiataini
fi baiatin), atau mengharamkan dua akad dalam satu akad (shafqatain fi
shafqatin), dipahami hanya perkecualian dari hukum asalnya. (Hasanudin, Multi
Akad dalam Transaksi Syariah Kontemporer, hal. 13).
Maka alasan kaidah fiqih yang digunakan tidak tepat. Dengan mendalami
asal-usulnya, nyatalah kaidah itu hanya cabang dari kaidah al-ashlu fi
al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh). Padahal
nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal
QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda (materi), bukan tentang hukum muamalah
(perbuatan manusia). (Hisyam Badrani, Tahqiq Al-Fikr Al-Islami,
hal. 39).
Kedua, ada nash yang melarang penggabungan akad. Ibnu
Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain
fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad, I/398). Menurut Imam
Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad,
misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual
beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, II/308).
Hadits ini bukan perkecualian, melainkan larangan
menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad yang digabungkan
bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq yajri ala
ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ala at-taqyid (dalil mutlak
tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208).
Muhammad
Shiddiq al-Jawi
Batasan-batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati.
Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan.
Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Multi akad dilarang karena nash agama Dalam hadis, Nabi
secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad
dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual
beli, dan dua transaksi dalam satu transaksi.
Dalam sebuah hadis disebutkan: "Dari Abu
Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman". (HR. Ahmad) Imam Abu
Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,
j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-'Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak
jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh)
dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya
boleh. Larangan menghimpun salaf dan
jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada riba yang
diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus
dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus
agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus. Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab
al-‘Âlamîn, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, tt.),
j. 3, hal. 153
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang
multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam
satu transaksi. Ibn Rusyd, Bidâyat
al-Mujtahid, j. 2, hal. 162 juga Ibn Qudâmah, al-Mughniy, j. 6, hal. 334
Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun
dengan qardh
dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh,
salam
dan qardh, sharf dan qardh,
dan sebagainya.
Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam
satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Dari Abu
Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
Banyak pendapat dari para ulama mengenai maksud dari dua
jual beli dalam satu jual beli. Pendapat yang dipilih (râjih) dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad
demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba. Pendapat
ini menafsirkan bahwa seseorang menjual sesuatu dengan dibayar secara cicil,
dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada yang menjual dengan harga
lebih rendah secara kontan. Akad seperti ini merupaka hîlah dari terjerumus pada riba, dan sebenarnya tidak terjadi akad
jual beli dalam transaksi tersebut.
Jual beli seperti di atas dilarang manakala sebuah akad yang
mengandung dua jual beli, salah satu dari jual beli itu dinyatakan sah dan
mengikat (lazim) sebelum para pihak berpisah namun tidak ditentukan jual
beli manakah yang dinyatakan sah dan mengikat tersebut. 'Illat larangan bentuk jual beli ini adalah ketidakpastian (ررغ)
yang timbul dari ketidakjelasan (ةلاهج) nilai harga.
2. Multi akad
sebagai hîlah ribawi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah riba fadhl.
a. al-‘înah
Contoh ‘inah yang
dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat
pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh
secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal
nyatanya merupakan hîlah
riba dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak factual dalam akad ini.
Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak
ditemukan dalam transaksi ini.
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan seseorang yang
memberikan qardh
(pinjaman) agar tidak berharap dananya
kembali kecuali sejumlah qardh yang
diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau
lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang
mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan
dilarang bagi yang bertujuan riba fadhl atau riba nasa',
bukan bertujuan pada harga dan barang.
Ibn al-Qayyim, I’lâm
al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 250
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan
harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga
seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya riba. Ibn Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 263 juga Mansur bin Yunus bin Idris al-Bahuti, Kasyâf al-Qanâ’
'an Matn al-Iqnâ', j.3, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1402 H),
hal. 174
b. Hîlah
riba fadhl
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa
pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma
kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo
dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau
mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga
sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga
sendiri. (Imam
Muslim, Sahîh
Muslim, j. 3, hal. 1208, juga Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhâry, j. 3, hal. 97)
Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual
beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi
syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas
ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling
bergantung satu dengan lainnya. (Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 3, hal. 238)
3. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti
riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada
yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti
pada contoh:
a. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi. Jumhur
ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual
beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh)
apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak
disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung riba.
Abu Barakat Ahmad al-Dardîr, Al-Syarh
al-Kabîr ‘ala al-Maqna’, j. 12,
(Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hal. 132, (Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawy,
Raudhat
al-Thâlibîn, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1412 H),
cet ke- 1, hal. 398)
b. Multi akad antara qardh dan
hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa
hibah atau lainnya. Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai
hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang
diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal,
karena tidak mengandung unsur riba di dalamnya. (Ibn
Qudâmah, Al-Mughniy, j. 6, hal. 436, Ibn Taimiyah, Majmû’ Fatâwa
Ibn Taimiyyah, j. 29, hal. 334)
4. Multi akad
terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau
berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad
antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya
saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan
Nabi menggabungkan akad salaf dan
jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah
kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi,
sedangkan salaf
adalah kegiatan sosial yang
mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena
itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya,
seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah.
(Al-‘Imrâni, Al-’uqûd
al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 –
182)
Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa keharaman multi akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal;
dilarang agama atau hîlah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan
ketidakjelasan (jahâlah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi akad yang
menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek yang sama. Dengan kata
lain, multi akad yang memenuhi prinsip syariah adalah multi akad yang memenuhi
standar atau dhawabit sebagaimana telah dikemukakan. Demikian. Semoga
bermanfaat. Wallahu a’lam.
Tulisan ini proses editing antara tulisan Muhammad
Shiddiq al-Jawi dan DR. H. Hasanudin, M.Ag tentang Multi Akad dalam Transaksi
Mu`amalat.
No comments:
Post a Comment