Saturday, December 17, 2011

Umar Ibrahim Vadillo, Pelopor Kembalinya Dinar Dirham


AKHIR Juni 2009. Profesor  Umar Ibrahim Vadillo  mampir ke Indonesia. Dekan Dallas College  Cape Town, Afrika Selatan itu diundang menjadi salah satu pembicara dalam International Conference of Islamic Economic System (ICIES) di  Yogyakarta. Topiknya,  mengembalikan dinar sebagai alat tukar sesuai syariah. Kegiatan tersebut kerjasama STIE Hamfara Yogyakarta, CISMOR, Universitas Doshisa Jepang dan Universitas Gadjah Mada. Pada undangan yang disebar, panitia konferensi menambahi kalimat ‘the man behind dinar’ di belakang namanya. Sebuah keterangan yang menunjukkan sepak terjang Vadillo selama ini.
Sosok Vadillo memang tidak lepas dari dinar. Cendekiawan muslim asal Spanyol berusia 45 tahun itu adalah pelopor kembalinya dinar –juga dirham– di abad moderen ini. Tahun 1992,  Vadillo mencetak kembali dinar-dirham di Granada. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Spesifikasi ini merujuk standar yang ditetapkan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Selama 14 abad, dinar-dirham berjaya sebagai alat tukar di negeri-negeri muslim. Namun, pasca jatuhnya Kekhalifahan Usmani Turki (1924), kedua mata uang berbahan logam mulia itu perlahan menghilang. Dunia  beralih menggunakan uang kertas (fiat money) –sistem mata uang yang tidak bersandar pada emas dan perak.
Bersama World Islamic Trade Organisation (WITO) yang dipimpinnya, Vadillo gencar memperkenalkan koin dinar-dirham ke berbagai kalangan termasuk menemui pelbagai pemimpin di dunia. Vadillo adalah sosok di balik promosi dinar yang kemudian mendapat dukungan dari mantan Perdana Menteri Turki  Necmettin Erbakan,  Raja Hassan II Maroko dan mantan PM Malaysia Mahattir Mohammad. Saat ini, Vadillo terlibat dalam pembangunan infrastruktur penerapan dinar di Kelantan, Malaysia untuk digunakan sebagai alat pembayaran gaji para pegawai pemerintah setempat dan pembayaran listrik dan air.
Kembali menggunakan dinar-dirham, bukan romansa masa silam melainkan bagian dari menegakkan sunnah Rasulullah yang runtuh. Dinar-dirham adalah rahmat Islam bagi dunia.  Sebaliknya, uang kertas adalah sumber malapetaka bagi bumi dan umat manusia. Menurut Vadillo, penggunaan uang kertas adalah mesin utama tegaknya kapitalisme di dunia saat ini.
Vadillo telah menulis sejumlah buku tentang dinar-dirham dengan segala aspek yang melingkupinya. Diantaranya, The End of Economics (1991), Fatwa on Paper Money (1991)The Workers have been Told a Lie about Their Situation (1992),  A General Idea of the Opening to Islam in the XXI Century (1994) dan Return of the Gold Dinar (1996). Beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jejak pemikiran Vadillo juga bisa disimak dalam Menembus Batas, Damai Untuk Semesta (2008), buku yang berisi kumpulan wawancara Liem Siok Lan dengan berbagai tokoh dunia berpengaruh –salah satunya dengan Vadillo.
Menurut Vadillo, kapitalisme dalam perspektif Islam adalah berarti riba (usury). Dan, Islam tegas mengharamkannya. Praktik riba –sebagai doktrin utama kapitalisme– di era  moderen ini terjelma melalui penciptaan uang kertas (fiat money). Motornya adalah perbankan yang mencetak uang dari kehampaan lalu memungut bunga-utang. Dari sinilah pelbagai petaka tercipta. Uang kertas, bunga-utang, memporak-porandakan pelbagai sendi  kehidupan umat manusia. Berbagai kerusakan berlangsung sangat cepat dan fantastis di bumi kita hanya dalam kurun waktu 75 tahun terakhir. Kemiskinan, pengangguran, kelaparan, krisis lingkungan, moral hazard dan sebagainya –adalah sejumlah dampak nyata riba. Maka, bila ingin lepas dari kapitalisme, jawabannya adalah: tinggalkan sejumlah praktik riba itu lalu beralih sepenuhnya pada muamalah –tata perniagaan Islam.
Kembali menggunakan dinar-dirham, adalah pilar pertama penegakan muamalah itu.   Buku-buku Vadillo, mengurai bagaimana implementasi dinar-dirham  dalam kehidupan kekinian. Selain sebagai alat tukar, kdua koin itu juga digunakan untuk membayar zakat,  mahar dan investasi.
Pilar kedua, menghidupkan kontrak perdagangan yang halal dan adil berupa qirad (pinjaman usaha) dan syirkah(kemitraan). Kontrak jenis ini akan menghapuskan ketergantungan masyarakat moderen pada perbankan yang hidup dengan memungut bunga-utang dan menciptakan uang dari kenihilan. Ketiga, kembalinyakaravan atau kumpulan kafilah pedagang yang kehadirannya akan mengembangkan perdagangan melalui logistik dan aktifitas ekspor.
Keempat, kembalinya guild atau sentra-sentra  kewirausahaan mandiri. Ajaran Islam, menurut Vadillo,  mengedepankan bertumbuhnya kumpulan manusia (masyarakat) yang mampu berwirausaha. Bukan masyarakat buruh yang hidupnya mengabdi pada majikan. Seiring bertumbuhnya gulid, akan berdiri pula pilar kelima, yaitu, kembalinya pasar terbuka Islam. Pasar jenis ini tidak mengenal sewa, pajak dan cukai. Semua orang bebas berdagang sepanjang barang yang diperdagangkan halal sesuai syariat. Di pasar itu pula, dinar-dirham digunakan sebagai alat tukar. Kehadiran kembali pasar terbuka Islam menjadi jalan pembuka melepaskan dominasi monopolistik pasar moderen yang dikenal melaluisupermarket atau hypermarket yang dalam raktiknya terbukti telah menyapu bisnis para pedagang kecil.
Seluruh bangunan muamalah itu bukan wacana apalagi utopia. Vadillo merujuk dan mengumpulkan pelbagai praktik historis yang sukses diamalkan oleh generasi umat Islam pertama di Kota Madinah al-Munawarah pada masa kepemimpinan Rasululah SAW dan berketerusan hingga tiga generasi berikutnya: sahabat, pengikut (tabi’un) dan setelah pengikut (tabi’ut-tabi’in).
Di Indonesia saat ini, berbagai aspek muamalah itu mulai diterapkan. Sejak tahun 2001, misalnya, koin dinar-dirham telah dicetak dan beredar di Indonesia melalui wakala –jaringan gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutu koin berbahan logam mulia itu berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke WITO. Selain itu, pasar terbuka Islam juga mulai dihidupkan. Beberapa di antaranya telah digelar di Mesjid Salman ITB, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya. Seiring itu, komunitas pengguna dinar-dirham juga kian bertambah luas.
Menjadikan khasanah ‘Islam tradisional’ sebagai rujukan memang keistimewaan karya-karyanya. Vadillo lahir, dibesarkan di Barat dan memahami sejarah serta bangunan  pemikiran Barat.  Namun, setelah memeluk dan mempelajari Islam, Vadillo tiba pada kesimpulan bahwa pola pikir, konsep ekonomi dan sistem keuangan moderen Barat berdiri kokoh pada pilar-pilar riba. Dalam sejumlah bukunya, Vadillo membentangkan berbagai bukti dan temuannya  betapa sistem ekonomi Barat telah gagal  menyejahterakan umat manusia.
Daftar buku yang mengupas topik itu bisa terus diperpanjang. Heidegger for Muslim (2006) –ditulisnya bersama Abdalhaqq Bewley– mengurai bagaimana metode dan konsep berpikir filsafat Barat (non-Islam) terbukti gagal mengatasi pelbagai persoalan. Buku ini berasal dari materi perkuliahan yang diberikan Vadillo di Dallas College. Bahkan, Vadillo juga menghindari pendekatan kelompok Islam modernis –yang menurutnya telah melakukan kekeliruan karena mencampurkan cara pandang Barat dalam memahami Islam.  Modernisme Islam, tegas Vadillo,  justru membuat umat Islam kian terpuruk dalam kapitalisme.
Saat sebagian umat Islam merayakan kemunculan bank  syariah, misalnya, Vadillo justru mengeritiknya. “Bank syariah adalah kuda troya dalam rumah Islam,” tulisnya.  Kritik serupa juga ia tujukan pada asuransi syariah, pasar modal syariah, kartu kredit syariah dan pelbagai produk perbankan lainnya yang kini ramai dilabeli kata “syariah”. Menurut Vadillo, “Semua labelilasi syariah itu hanya merupakan upaya terselubung sekelompok pihak untuk melemahkan perlawanan Islam menentang riba selama 14 abad”. Sungguh, ini  adalah kritik yang tajam.
Bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003),  Vadillo menunjukkan lebih detil berbagai potret modernisasi di dunia Islam itu kian membuat umat Islam terpinggirkan. Pada buku setebal seribu halaman itu digambarkan, Islam sama sekali tidak membutuhkan modernisme. Alih-alih modernisme Islam mampu menghapus kapitalisme, yang terjadi justru hukum Islam telah diselewengkan untuk memperkaya sistem kapitalisme itu sendiri. Hanya Islam, tanpa pengaruh modernisme,  sebagai satu-satunya jalan untuk ditempuh.  “Islam bukan anti Barat. Islam hanya untuk bertakwa kepada Allah” tegas Vadillo.
Kentalnya warna Islam dalam karya-karya Vadillo serta kegigihannya dalam berdakwah, tidak bisa dilepaskan dari peran Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi, mursid tarikat Shadiliah-Darqawi yang menjadi gurunya. Dari Syeikh as-Sufi, Vadillo mendalami fikih, muamalah, dan tasawuf. Sebelumnya, Vadillo menimba ilmu di Augustinian College dan Universitas Madrid.
Syeikh as-Sufi juga dikenal sebagai pemimpin Murabitun World Wide, komunitas muslim Eropa yang kini mengajar dan menetap di Cape Town, Afrika Selatan. Dia menulis berbagai artikel dan lusinan buku melingkupi berbagai topik; fikih, muamalah, tasawuf, politik, prosa dan novel. Pemikiran Syeikh as-Sufi  bisa disimak di situsnya www.shaykhabdalqadir.com. Sebagaimana Vadillo, murid-murid Syeikh as-Sufi yang banyak tersebar di berbagai negara di dunia –termasuk Indonesia— juga gencar menyuarakan perlawanan atas riba dan  menyerukan umat  Islam kembali pada muamalah. ***
http://nantakana.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment