Monday, August 6, 2012

Konsep Gadai (Rahn)

 A.    Definisi Ar-Rahn
Kata "rahn", dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'. Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram, 4:460.
Kata "rahinah" bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Ibnu Faris menyatakan, "Huruf ra'ha', dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn' yaitu 'sesuatu yang digadaikan'." Mu'jam Maqayis Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
Adapun definisi "rahn", dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya." Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
Adapun Syekh Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya'. Taudhih Al-Ahkam Syarah Bulugh Al-Maram, 4:460.

B.     Hukum ar-rahn
Sistem utang-piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Alquran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari Alquran adalah firman Allah,
"Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabb-nya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa saja yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Baqarah:283)
Ayat ini--walaupun ada pernyataan "dalam perjalanan"--namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata "dalam perjalanan" pada ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa memerlukan sistem ini. Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam pernyataan beliau,
"Sesungguhnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara berhutang, dan beliau menggadaikan baju besi beliau." (H.R. Al-Bukhari, no. 2513; Muslim, no. 1603)
Berdasarkan kedua dalil di atas, juga dalil-dalil lainnya, maka para ulama dari zaman dahulu hingga sekarang, secara global telah menyepakati bolehnya akad pegadaian. Hal ini sebagaimana  ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya oleh Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma' hlm. 96, Ibnu Hazm dalam kitabnya Maratibul Ijma' hlm. 60, serta Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.
C.    Rukun dan Syarat Sah Gadai
Mayoritas ulama memandang rukun Al rahn (Gadai) ada empat yaitu :
1.      Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
Barang yang digadaikan disyaratkan barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu, barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan (mahar) pelacur, dan upah perdukunan." (Muttafaqun 'alaihi)
Imam as-Syafi'i berkata, "Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak halal untuk diperjual-belikan." Al-Um oleh Imam asy-Syafi'i: 3/153.
Beliau juga berkata, "Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan." Ibid: 3/162.
Secara rinci sebagai berikut :
a.  Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. Taudhil Al Ahkam 4/460 dan Al Fiqh Al Muyassarah hal. 116
c.  Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. Taudhih Al Ahkam 4/460
2.      Al Marhun bihi (hutang)
Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
3.      Shighah atau sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhoannya dalam transaksi baik berupa perkataan yaitu ijab qabul atau berupa perbuatan.
4.      Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur). Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 12/302, Al Fiqh Al Muyassar hal 116 dan Taudhih Al Ahkam 4/460
Proses pegadaian terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang. Akan tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat, hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan berikut:
1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
2. Selama kedua belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka tidak ada alasan untuk melarangnya. asy-Syarhul Mumti' oleh Ibnu Utsaimin: 9/125.
D.    Konsekuensi Hukum Dalam Gadai.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
Hukum Pertama: Barang Gadai Adalah Amanah
Sebagaimana telah diketahui dari penjabaran di atas, bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan atas hak pemiliki uang. Dengan demikian, status barang gadai selama berada di tangan pemilik uang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. 
Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad mensyaratkan agar Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi. al-Um oleh Imam asy-Syafi'i: 3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126--127, I'anatuth Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu'in oleh al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
Hukum Kedua, Pemegang barang gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan sabda beliau:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya”. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Hukum Ketiga, Pembiayaan Pemeliharaan Dan Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum memberi nafkahnya”. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas (pen)). Taudhih Al Ahkam 4/462-477.
Penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka diperbolehkan murtahin mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasululloh:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah”. (HR. Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasululloh:
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya”. (HR. Al daraquthni dan Al Hakim)
Tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. Al Fiqh Al Muyassar hal 117.
Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan: Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. Taudhih Al Ahkaam 4/462
Sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemilik uang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta pegadaiannya batal dan tidak sah. Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu'in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
Hukum Keempat, Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat ulama disini. Abu hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan imam Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang hal itu bukan ikut barang gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda dengan Syafi’I dalam kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya. Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/134-135
Hukum Kelima, Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dangan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Taudhih Al Ahkaam 4/467
Demikianlah barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (al-Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. Al Fiqh Al Muyassar hal 119.
Yang rojih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang dan itu terealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib melunasinya.
Demikianlah keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.
Hukum Keenam, Pemilik Uang Berhak Untuk Membatalkan Pegadaian
Akad pegadaian adalah salah satu akad yang mengikat salah satu pihak saja, yaitu pihak orang yang berutang. Dengan demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian, melainkan atas kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki wewenang sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan untuk menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang tanpa ada jaminan, maka tidak mengapa. Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu'in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
Hikmah disyari`atkannya Rahn atau Gadai
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat.
Untuk Raahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bias menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih saying diantara manusia, karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa. Abhats Hai’ah Kibar Ulama 6/112.


Sumber.
Gadai dalam Fikih Islam (Bagian Pertama dari 3 Seri Tulisan) oleh : Ust Kholid Syamhudi, Lc.
Tentang Gadai (Al Rahn) oleh : Ust Kholid Syamhudi, Lc.
Seputar Pegadaian oleh: Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri
www.pengusahamuslim.com

2 comments:

  1. Mantap keterangannya!
    Bisa tanya ya pak, dari keterangan tentang gadai ini bahwa keuntungannya bersifat non materi. Nah sekarang kenyataan dilapangan apakah sama seperti itu pak? apakah pegadaian tidak menerima keuntungan materi sama sekali? atau jika ada dimana letak keuntungan materinya?

    ReplyDelete
  2. Zaman skrng klo nggak jadi materi nggak ada tu pegadaian ... hehehe klo bpk teliti tulisan diatas ada ulama yg mengatakan bahwa biaya peawatan barang gadai itu dibiayai oleh sipemilik atau yg punya barang gadai, nah celah ini mungkin yg dimanfaatkan, ujrah atau upah perawatan....wallahu'alam

    ReplyDelete