Kata "rahn",
dalam bahasa Arab, memiliki pengertian 'tetap dan kontinyu'. Taudhih Al-Ahkam min Bulugh Al-Maram,
4:460.
Kata "rahinah"
bermakna 'tertahan'. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama
karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Lisan Al-Arab, kata: rahana; dinukil dari Al-Fiqh
Al-Muyassarah, Qismul Mu'amalah, hlm. 115.
"Tiap-tiap
diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya." (Q.S. Al-Muddatstsir:38)
Ibnu Faris
menyatakan, "Huruf ra', ha', dan nun adalah
asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak.
Dari kata ini, terbentuklah kata 'ar-rahn' yaitu 'sesuatu yang
digadaikan'." Mu'jam Maqayis
Al-Lughah, 2:452; dinukil dari Abhats Hai'at Kibar Al-Ulama bil
Mamlakah Al-Arabiyah As-Su'udiyah, 6:102.
Adapun definisi
"rahn", dalam istilah syariat, dijelaskan oleh para ulama
dengan ungkapan, "Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga
utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya." Al-Majmu'
Syarhul Muhadzab, 12:299--300.
Adapun Syekh
Al-Basaam mendefinisikan "ar-rahn" sebagai 'jaminan utang
dengan barang, yang memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau
dari nilai barang tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu
melunasinya'. Taudhih Al-Ahkam Syarah
Bulugh Al-Maram, 4:460.
B. Hukum ar-rahn
Sistem
utang-piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar
Alquran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Dalil dari
Alquran adalah firman Allah,
"Jika
kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (utangnya), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,
Rabb-nya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa
saja yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan yang kamu kerjakan."
(Q.S. Al-Baqarah:283)
Ayat
ini--walaupun ada pernyataan "dalam perjalanan"--namun tetap menunjukkan
keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata
"dalam perjalanan" pada ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasa
memerlukan sistem ini. Hal ini pun dipertegas dengan amalan Rasulullah yang
melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin, Aisyah, dalam
pernyataan beliau,
"Sesungguhnya,
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari
seorang Yahudi dengan cara berhutang, dan beliau menggadaikan baju besi
beliau." (H.R. Al-Bukhari, no.
2513; Muslim, no. 1603)
Berdasarkan
kedua dalil di atas, juga dalil-dalil lainnya, maka para ulama dari zaman
dahulu hingga sekarang, secara global telah menyepakati bolehnya akad
pegadaian. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya
oleh Ibnu Munzir dalam kitabnya al -Ijma' hlm. 96, Ibnu Hazm
dalam kitabnya Maratibul Ijma' hlm. 60, serta Ibnu Qudamah
dalam kitabnya al-Mughni: 6/444.
C. Rukun dan Syarat Sah Gadai
Mayoritas ulama
memandang rukun Al rahn (Gadai) ada
empat yaitu :
1. Al Rahn atau Al Marhuun (barang yang
digadaikan)
Barang yang
digadaikan disyaratkan barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi
jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat
diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk
diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang
demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat
dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Oleh karena itu,
barang yang digadaikan dapat berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan,
alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan
tersebut, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian
ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan
(mahar) pelacur, dan upah perdukunan." (Muttafaqun 'alaihi)
Imam as-Syafi'i
berkata, "Seseorang tidak dibenarkan untuk menggadaikan sesuatu, yang pada
saat akad gadai berlangsung , (barang yang hendak digadaikan tersebut) tidak
halal untuk diperjual-belikan." Al-Um oleh
Imam asy-Syafi'i: 3/153.
Beliau juga
berkata, "Bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka
tidak dibenarkan, karena anjing tidak memiliki nilai ekonomis. Demikian juga
bagi setiap barang yang tidak halal untuk diperjual-belikan." Ibid: 3/162.
Secara rinci
sebagai berikut :
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik
barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang
dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai. Taudhil Al Ahkam 4/460 dan Al Fiqh Al
Muyassarah hal. 116
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al
rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini. Taudhih Al Ahkam 4/460
2. Al Marhun bihi (hutang)
Syarat berhubungan dengan Al Marhun
bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
3. Shighah atau sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan
keridhoannya dalam transaksi baik berupa perkataan yaitu ijab qabul atau berupa
perbuatan.
4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Raahin (orang yang
menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)
Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu
Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi
beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur). Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 12/302, Al Fiqh Al
Muyassar hal 116 dan Taudhih Al Ahkam 4/460
Proses pegadaian
terjadi bersamaan dengan berlangsungnya akad jual-beli atau utang-piutang. Akan
tetapi, bila ada orang yang sebelum berjual-beli atau berutang telah memberikan
jaminan barang gadaian terlebih dahulu, maka menurut pendapat yang lebih kuat,
hal tersebut juga diperbolehkan. Yang demikian itu dikarenakan beberapa alasan
berikut:
1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
1. Hukum asal setiap transaksi adalah halal, selama tidak ada dalil nyata dan shahih (benar) yang melarang transaksi tersebut.
2. Selama kedua
belah pihak yang menjalankan akad rela dan telah menyepakati hal tersebut, maka
tidak ada alasan untuk melarangnya. asy-Syarhul
Mumti' oleh Ibnu Utsaimin: 9/125.
D. Konsekuensi Hukum Dalam Gadai.
Ada beberapa
ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan
pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta
jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang, diantaranya:
Hukum Pertama:
Barang Gadai Adalah Amanah
Sebagaimana
telah diketahui dari penjabaran di atas, bahwa gadai berfungsi sebagai jaminan
atas hak pemiliki uang. Dengan demikian, status barang gadai selama berada di
tangan pemilik uang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga
sebaik-baiknya.
Sebagai salah
satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan
tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak
berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya Pak Ahmad
mensyaratkan agar Pak Ali memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa
disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi. al-Um oleh Imam asy-Syafi'i:
3/168, Mughnil Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/126--127, I'anatuth
Thalibin oleh ad-Dimyathi: 3/59, Fathul Mu'in oleh
al-Malibari: 3/59, dan Nihatuz Zain oleh Muhammad Nawawi
al-Bantani: 244.
Hukum Kedua, Pemegang
barang gadai
Barang gadai
tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai
tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ
وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).(QS. 2:283) dan
sabda beliau:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى
الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang
minum memberi nafkahnya”. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Hukum Ketiga, Pembiayaan
Pemeliharaan Dan Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya
barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik
orang yang menggadaikan (Raahin) dan Murtahin
tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh
menggunakan dan mengambil
air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatannya tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan
memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh SAW :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى
الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan)
diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang
minum memberi nafkahnya”. (Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi).
Syeikh Al Basaam
menyatakan: Menurut kesepakatan ulama bahwa biaya pemeliharaan barang gadai
dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga
pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya kecuali dua
pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas
(pen)). Taudhih Al Ahkam 4/462-477.
Penulis kitab Al
Fiqh Al Muyassar menyatakan: Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak
pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Tidak boleh orang lain
mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang)
untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan hutang gadainya
dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu adalah peminjaman
hutang yang menghasilkan manfaat. Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan
atau hewan yang memiliki susu perah, maka diperbolehkan murtahin mengendarainya
dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena
sabda Rasululloh:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan
susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib
bagi menungganginya dan meminumnya nafkah”. (HR. Al Bukhori no. 2512). Ini madzhab
Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari hanafiyah, Malikiyah dan
Syafi’iyah mereka memandang tidak boleh murtahin
mengambil manfaat barang gadai dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan
dalil sabda Rasululloh:
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ
غَرَمُهُ
“Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya”. (HR. Al daraquthni dan Al Hakim)
Tidak
mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya
kecuali Ahmad dan inilha yang rojih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. Al Fiqh Al Muyassar hal 117.
Ibnul Qayyim
memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan:
Hadits ini dan kaedah dan ushul syari’at menunjukkan hewan gadai dihormati
karena hak Allah dan pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan hutang) memiliki
padanya hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya lalu tidak dinaiki
dan tidak diperas susunya tentulah akan hilang kemanfaatannya secara sia-sia.
Sehingga tuntutan keadilan, analogi (Qiyas) dan kemaslahatan penggadai,
pemegang barang gadai (murtahin) dan hewan tersebut adalah Murtahin mengambil
manfaat mengendarai dan memeras susunya dan menggantikannya dengan menafkahi
(hewan tersebut). Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya
dengan nafkah maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak. Taudhih Al Ahkaam 4/462
Sebelum dan
setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga
pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun
pemilik uang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai
jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian,
pemilik uang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan
izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin,
maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik
barang, maka itu adalah riba. Bahkan, banyak ulama menfatwakan bahwa
persyaratan tersebut menjadikan akad utang-piutang beserta pegadaiannya batal
dan tidak sah. Mughnil Muhtaj oleh
asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu'in oleh al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz
Zain oleh Muhammad Nawawi al-Bantani: 244.
Hukum Keempat, Pertumbuhan Barang Gadai
Pertumbuhan atau
pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya
terpisah. Bila tergabung seperti (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang
gadai dengan kesepakatan ulama dan bila terpisah maka terjadi perbedaan pendapat
ulama disini. Abu hanifah dan imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai
ditangan murtahin maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan imam
Syafi’I dan ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang hal itu bukan ikut barang
gadai dan itu milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu hazm berbeda
dengan Syafi’I dalam kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat
dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik
yang menafkahinya. Abhats Hai’at Kibar
Ulama 6/134-135
Hukum Kelima, Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang
Dangan Barang Gadai
Barang gadai
tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Raahin) dan
tidak mampu melunasinya
Pada zaman
jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang
menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak
yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang
yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan
menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak
yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya
kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu
melunasi saat jatuh tempo maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar
pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka ia milik pemilik
barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut) dan bila harga
barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya
tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Taudhih
Al Ahkaam 4/467
Demikianlah
barang gadai adlah milik orang yang menggadaikannya, namun bila telah jatuh
tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan
permasalah hutangnya, karena itu adalah hutang yang sudah jatuh tempo maka
harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila ia dapat melunasi seluruhnya
tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya maka murtahin
melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau
sebagiannya maka wajib bagi orang yang menggadaikan (al-Raahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui
wakilnya dengan izin dari murtahin dan didahulukan murtahin daalam
pembayarannya atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan
melunasi hutangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh
menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila
tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan
melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat madzhab
Syafi’iyah dan Hambaliyah. Malikiyah memadang pemerintah boleh menjual barang
gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya.
Sedangkan Hanafiyah memandang murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada
penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila nampak ia tidak mau
melunasinya. Tidak boleh pemerintah (pengadilan) menjual barang gadainya, namun
memenjarakannya saja sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman. Al Fiqh Al Muyassar hal 119.
Yang rojih,
pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya
adalah membayar hutang dan itu terealisasikan dengan hal itu. Ditambah juga
adanya dampak negatip social masyarakat dan lainnya pada pemenjaraan. Apabila
barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya maka selesailah hutang
tersebut dan bila tidak dapat menutupinya maka tetap penggadai tersebut
memiliki hutang sisa antara nila barang gadai dan hutangnya dan ia wajib
melunasinya.
Demikianlah
keindahan islam dalam permasalah gadai, tidak seperti yang banyak berlaku
direalitas yang ada. Dimana pemilik piutang menyita barang gadainya walaupun
nilainya lebih besar dari hutangnya bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas
perbuatan kejahiliyah dan kedzoliman yang harus dihilangkan.
Hukum Keenam,
Pemilik Uang Berhak Untuk Membatalkan Pegadaian
Akad pegadaian
adalah salah satu akad yang mengikat salah satu pihak saja, yaitu pihak orang
yang berutang. Dengan demikian, ia tidak dapat membatalkan akad pegadaian,
melainkan atas kerelaan pemilik uang. Adapun pemilik uang, maka ia memiliki
wewenang sepenuhnya untuk membatalkan akad, karena pegadaian disyariatkan untuk
menjamin haknya. Oleh karena itu, bila ia rela haknya terutang tanpa ada
jaminan, maka tidak mengapa. Mughnil
Muhtaj oleh asy-Syarbini: 2/121, Fathul Mu'in oleh
al-Malibari: 3/57, dan Nihayatuz Zain oleh Muhammad Nawawi
al-Bantani: 244.
Hikmah disyari`atkannya Rahn atau Gadai
Setiap orang
berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta
sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh
kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak
mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang
lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua
belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai
yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu
Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan
(Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat.
Untuk Raahin ia
mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bias
menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta
kadang ia bias berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi
kaya.
Sedangkan
Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya
dan mendapatkan keuntungan syar’I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan
pahala dari Allah.
Adapun
kemaslahatan yang kembalai kepada masyarakat adalah memperluas interaksi
perdagangan dan saling memberikan kecintaandan kasih saying diantara manusia,
karena ini termasuk tolong meniolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada
manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan
penguasa. Abhats Hai’ah Kibar Ulama
6/112.
Sumber.
Gadai dalam Fikih Islam (Bagian Pertama dari 3
Seri Tulisan) oleh : Ust Kholid Syamhudi, Lc.
Tentang Gadai (Al Rahn) oleh : Ust Kholid
Syamhudi, Lc.
Seputar Pegadaian oleh: Ust. Dr.
Muhammad Arifin Badri
www.pengusahamuslim.com
Mantap keterangannya!
ReplyDeleteBisa tanya ya pak, dari keterangan tentang gadai ini bahwa keuntungannya bersifat non materi. Nah sekarang kenyataan dilapangan apakah sama seperti itu pak? apakah pegadaian tidak menerima keuntungan materi sama sekali? atau jika ada dimana letak keuntungan materinya?
Zaman skrng klo nggak jadi materi nggak ada tu pegadaian ... hehehe klo bpk teliti tulisan diatas ada ulama yg mengatakan bahwa biaya peawatan barang gadai itu dibiayai oleh sipemilik atau yg punya barang gadai, nah celah ini mungkin yg dimanfaatkan, ujrah atau upah perawatan....wallahu'alam
ReplyDelete