A. Definisi Mudharabah
Mudharabah
memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah, qiradh dan qardh
sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.
Penduduk
Iraq menggunakan istilah mudharabah
untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena
diambil dari kata dharb di muka bumi.
Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang.
Allah berfirman. Artinya : “(Dia mengetahui
bahwa akan ada di antara kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan
Allah” Al-Muzzammil :
20
Ada
juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan
saham yang dimiliki.
Dalam
istilah bahasa Hijaz, disebut juga
dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya
penyamaan dan penyeimbangan. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu
perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak
pemodal, sehingga keduanya seimbang.
Ada
juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil dari qardh, yakni memotong.
Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk
diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan
usahanya. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah,
tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr
(7/133).
Menurut
para ulama, istilah mudharabah memiliki pengertian, yaitu
Pihak
pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk
diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Al-Mughni, op. cit (7/133).
Suatu akad serikat dagang antara dua pihak, pihak
pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan
keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam persentase yang
telah disepakati antara keduanya." Al-Aziz oleh ar-Rafi'i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil
Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah
al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir as-Silmy, 37.
Dengan
kata lain, mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu
pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan
pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Al-Bunuk Al-Islamiyah Baina An-Nadzariyat wa
Tathbiq, op.cit, hal. 122.
Sehingga
mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini,
pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Al-Fiqhu Al-Muyassar, op.cit, hal. 185. Hal ini juga
diakui oleh PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah) Indonesia dalam buku saku
Perbankan Syari’at, hal. 37.
Bentuk
ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al mal dan
keahlian (pengelola) dari mudharib.
B. Dasar Hukum Akad Mudharabah
Tidak ada dalil khusus yang menerangkan Mudharabah
dari al-Qur`an atau as-Sunnah, namun demikian akad mudharabah tercakup oleh
dalil-dalil umum yang menghalalkan kita untuk berniaga dan mencari keuntungan
yang halal, serta dalil-dalil yang menghalalkan segala hal yang bermanfaat atau
yang manfaatnya lebih besar dibanding mudharatnya.
Diantara dalil umum yang menjadi dasar hukum akad
mudharabah yakni :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." an-Nisa': 29
"Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari
karunia dari Tuhan-mu." al-Baqarah: 198
Imam al-Mawardi asy-Syafi'i berkata, "Dan di
antara dalil dihalalkannya al-Qiraadh adalah firman
Allah Ta'ala yang artinya, " Bukanlah suatu dosa
atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-mu" dan tidak diragukan lagi
bahwa al-Qiraadh adalah salah satu upaya untuk mencari karunia dari
Allah, dan mencari keuntungan." Al-Haawi al-Kabir oleh al-Mawardy, 7/306
Diantara hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam yang dapat menjadi dasar akad mudharabah ialah
hadits Abdullah bin Umar berikut : "Bahwasannya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan
ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka
sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan
separuh dari hasil panennya." Muttafaqun 'alaih
Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan, bahwa
perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam
dipercayakan kepada warga Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami, dengan
perjanjian bagi hasil 50 % banding 50 %. Akad semacam inilah yang disebut dalam
ilmu fiqih dengan istilah musaaqaah.
Walaupun hadits di atas, secara khusus berkenaan
dengan akad musaaqaah, akan tetapi secara tidak langsung menjadi dalil
disyariatkannya akad mudharabah. Yang demikian itu karena kedua akad ini
serupa, baik dalam hal wujud lahirnya, atau konsekuensi hukumnya.
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan
disyariatkannya mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa'
ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari para al-khulafa'
ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa'ul Ghalil oleh
al-Albany, 5/290-294).
Ijma' Ulama
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan
disyariatkannya mudharabah ialah kesepakatan ulama Islam sejak
zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Ibnu Munzir asy-Syafi'i berkata, "Kita tidak
mendapatkan dalil tentang al-Qiradh (mudharabah) dalam
Kitab Allah 'Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita
dapatkan bahwa para ulama telah menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan
modal berupa uang dinar dan dirham." (Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi'i,
2/38).
Ibnu Hazm berkata, "Al-Qiraadh (al-Mudharabah)
telah dikenal sejak zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para
pedagang. Mereka tidak memiliki mata pencaharian selain darinya, padahal di
tengah-tengah mereka terdapat orang tua yang tidak lagi kuasa untuk bepergian,
wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu, orang-orang yang sedang sibuk
atau sakit menyerahkan modalnya kepada orang lain yang mengelolanya dengan
imbalan mendapatkan bagian dari hasil keuntungannya. Dan tatkala
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah diutus, beliaupun
membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga menjalankannya.
Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi tentang hal ini, maka pendapatnya itu
tidak perlu diperhatikan, sebab ia telah terlebih dahulu menyelisihi praktik
nyata seluruh umat dari zaman kita hingga zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam." (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, 8/247).
Imam al-Marghinani al-Hanafy berkata,
"Akad mudharabah dihalalkan, karena benar-benar diperlukan oleh umat
manusia. Karena di antara manusia ada orang-orang yang kaya akan harta benda,
akan tetapi ia tidak pandai untuk mengelolanya. Sebagaimana di antara mereka
ada orang-orang yang lihai dalam mengelola kekayaan, akan tetapi mereka miskin
tidak memiliki modal usaha. Dengan demikian, sangat urgen untuk disyariatkan
transaksi semacam ini, agar kemaslahatan kedua belah pihak, yaitu orang yang
kaya (tapi tidak berpengalaman) dan orang yang cerdik (tapi tidak memiliki
modal), orang yang miskin (tapi lihai) dan orang yang dungu (tapi kaya) dapat
terwujud." Al-Hidayah Syarah al-Bidaayah oleh al-Marghinaani al-Hanafi, 3/202
Ibnu Taimiyyah menyatakan :
“Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma di dalamnya,
namun tidak memiliki dasar nash seperti mudharabah. Hal itu tidak demikian.
Mudharabah sudah masyhur di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, apalagi pada bangsa
Quraisy. Karena umumnya, perniagaan merupakan pekerjaan mereka. Pemilik harta
menyerahkan hartanya kepada pengelola (Umaal). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian,
seperti memperdagangkan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu
Sufyan, kebanyakan dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya.
Ketika Islam datang. Rasulullah menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat
dalam perniagaan harta orang lain secara mudharabah, dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, perbuatan
dan persetujuan beliau. Ketika beliau menyetujui, maka mudharabah dibenarkan
dengan sunnah”. Majmu Fatawa
(19/195-196)
C. Rukun-rukun Akad Mudharabah
Rukun Pertama : Ijab dan Qabul
Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama
yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah. Sedangkan qabul ialah jawaban
yang mengandung persetujuan yang diucapkan oleh pihak kedua atau yang
mewakilinya.
Akad mudharabah dapat berlangsung dengan segala ucapan
yang menunjukkan tentangnya. tidak ada kata-kata khusus yang harus diucapkan
oleh masing-masing pihak, agar mudaharabah dapat terjalin antara mereka.
Sehingga dapat dijalin dengan ungkapan apa saja, yang menunjukkan akan maksud
dan kesepakatan kedua belah pihak, baik disampaikan secara lisan atau tulisan.
Misal : “Saya ajak Anda untuk bekerja sama dalam
usaha, saya sebagai pemodal, dan Anda sebagai pelaku usaha, dengan ketentuan
pembagian hasil 50% banding 50%” Kemudian pihak kedua berkata, “Baiklah,
saya terima tawaran Anda. Atau saya beri Anda modal untuk usaha, dan keuntungan
yang berhasil Anda peroleh dibagi dua, saya 40% dan Anda 60%”.
Penjelasan ini didukung oleh kaidah dalam ilmu fiqih
yang berbunyi : “Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum”.
Rukun Kedua : Pemodal dan Pelaku Usaha
Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah
ialah orang yang memenuhi empat kriteria yaitu :
Merdeka. Dalil kriteria ini ialah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka
harta budak itu adalah milik penjualnya, kecuali bila pembelinya mensyaratkan
agar harta tersebut menjadi miliknya.” HR. al-Bukhary dan Muslim
Baligh. Baligh pada lelaki dapat diketahui dengan telah
sampainya seseorang pada umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub. Dan
pada wanita ditandainya dengan dimulainya siklus datang bulan (haidh), atau
hamil, atau telah berumur lima belas tahun. Dalil kriteria ini ialah firman
Allah Ta’ala. “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” QS.
an-Nisa’: 6
Allah Ta'ala mensyaratkan dua hal sebelum
diserahkannya harta benda anak yatim kepada mereka: mereka telah cukup umur
untuk menikah yaitu telah baligh, dan mampu membelanjakan harta bendanya dengan
baik (dan diriwayatkan juga dari Imam Ahmad, bahwa anak yang telah mumayyiz
(kira-kira berumur tujuh tahun atau lebih) perbuatannya sah, akan tetapi harus
disetujui oleh walinya. Al-Inshaf, 4/267
Berakal sehat, dan
Rasyid (mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam
hal-hal yang berguna).
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan bagimu.” Qs. an-Nisa': 5
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan dari ayat
ini disimpulkan syariat hajr (cekal kebebasan membelanjakan harta) terhadap
orang-orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik (safih) dan
mereka itu ada beberapa golongan: kadang kala hajr diberlakukan atas anak
kecil, karena anak kecil ucapannya tidak dianggap, kadang kala diterapkan pada
orang gila, kadang kala diterapkan pada orang yang buruk dalam membelanjakan
hartanya, karena akalnya yang kurang sempurna, atau agamanya yang kurang baik.”
Tafsir Ibnu Katsir, 1/452
Dalil permasalahan ini ialah kisah berikut, “Ada
seseorang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia biasa
berjual beli, padahal ia kurang sempurna dalam akalnya. Kemudian keluarganya
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, ‘Wahai
Nabi Allah, terapkanlah pada fulan hajr (batasilah kebebasan membelanjakan
harta), karena ia senantiasa berjual beli ia kurang sempurna akalnya.’ Maka
iapun dipanggil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau melarangnya
dari berjual beli. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya
tidak kuasa untuk menahan diri dari berjual beli.’ Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila engkau enggan untuk meninggalkan jual beli,
maka katakanlah ketika engkau berjual beli: Ini dibeli dengan harga sekian, dan
tidak ada penipuan.’” HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingkari permintaan keluarga sahabat yang akalnya kurang sempurna tersebut,
ini menunjukkan bahwa membatasi kebebasan orang yang tidak mampu membelanjakan
hartanya dikarenakan ia tidak atau belum berakal atau cacat mental dari
membelanjakan hartanya, adalah suatu hal yang dibenarkan dalam syariat.
Rukun Ketiga : Modal
Modal ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada
pihak kedua (pelaku usaha) guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak
kedua. Para ulama telah menyebutkan beberapa persyaratan bagi harta yang
menjadi modal akad mudharabah.
Syarat pertama: Diketahui
jumlahnya oleh kedua belah pihak.
Ulama telah sepakat bahwa kedua belah pihak yang
terkait dalam akad mudharabah harus mengetahui tentang jumlah modal akad
mudharabah yang mereka jalin. Hal ini dikarenakan konsekuensi akad mudharabah
adalah pengembalian modal kepada pemodal, lalu kedua belah pihak berbagi
keuntungan yang berhasil diperoleh, sesuai dengan perjanjian. Dengan demikian,
bila jumlah modal tidak diketahui oleh kedua belah pihak, maka akan menimbulkan
perselisihan tentang keuntungan. Sebab, keuntungan tidak dapat dikatakan
sebagai keuntungan, melainkan bila jumlah modal telah diketahui dan berhasil
dikembalikan dengan utuh kepada pemiliknya. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i asy-Syafi’i 6/8, al-Mughni oleh
Ibnu Qudaamah, 7/183
Syarat kedua: Modal
diserahkan kepada pelaku usaha.
Maksud persyaratan ini ialah pelaku usaha sepenuhnya
diberi kebebasan untuk menggunakan modal tersebut guna membiayai usaha yang ia
lakukan, tanpa ada campur tangan dari pemodal. Persyaratan ini bukan berarti
seluruh modal harus diserahkan ke tangan pelaku usaha, atau ditransfer ke
rekeningnya. Akan tetapi, kebebasan ini dapat diwujudkan dengan memberikan
keleluasaan sepenuhnya kepada pelaku usaha dalam pengambilan dan penyalurannya,
tanpa ada campur tangan dari pemodal, walaupun dana tersebut tetap tersimpan di
rekening pemodal. Inilah pendapat yang menurut hemat saya paling kuat dalam
permasalahan ini, dan ini merupakan madzhab Syafi’i dan Hambali. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i asy-Syafi’i
6/8, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini 2/310, al-Mughni oleh
Ibnu Qudaamah 7/136, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami,
oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy167-173.
Rukun Keempat : Usaha
Secara global, akad mudharabah yang terjalin antara
dua orang atau lebih, dapat dibagi menjadi dua bagian, selaras dengan
perjanjian antara kedua belah pihak:
Bagian pertama: Mudharabah
terbatas.
Yaitu akad mudharabah yang kedua belah pihak
terkait telah menyepakati agar pelaku usaha mengembangkan modal yang ia terima
dalam unit usaha tertentu. Pada keadaan semacam ini, maka pelaku usaha wajib
mengindahkan persyaratan yang telah ia sepakati bersama pemodal. Bila ia
melanggar kesepakatan, dan terjadi kerugian, maka ia wajib menanggung kerugian.
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Umat Islam wajib
memenuhi persyaratan mereka.” HR. Imam Ahmad.
Bagian kedua: Mudharabah
bebas.
Yaitu apabila kedua belah pihak tidak mengajukan
persyaratan apapun, baik berkenaan jenis-jenis usaha, tempat, waktu, atau
lainnya yang membatasi kebebasan pelaku usaha dalam pengelolaan modal
yang ia terima. Sehingga tatkala akad berlangsung, pemodal dengan tegas
menyatakan kepada pelaku usaha, agar ia mengelola modal yang ia serahkan dalam
usaha yang ia rasa dapat menguntungkan, apapun bentuknya, dengan ketentuan bagi
hasil sekian banding sekian. Demikian juga sebaliknya, pelaku usaha tidak
mensyaratkan kepada pemodal suatu jenis usaha atau tempat tertentu.
Namun pelaku usaha haruslah ghibthah, yakni
Amanah dalam mengelola harta milik pemodal, senantiasa berusaha untuk melakukan
yang terbaik dan paling banyak mendatangkan keuntungan. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/21, dan Mughnil Muhtaaj oleh
asy-Syarbiny 2/316.
Pelaku usaha
menginvestasikan kembali modal yang ia terima kepada pengusaha lain.
Para ulama telah sepakat, bahwa bila pemodal tidak
mengizinkan pengusaha untuk kembali menginvestasikan modalnya kepada pengusaha
lain, maka tidak dibenarkan bagi pengusaha pertama untuk melakukan hal itu. Syarikah al-Mudharabah Fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir
as-Silmy 201.
Imam an-Nawawi berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku
usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke
tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin
pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status
menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu
dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya
sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu,
maka akad mudharabah kedua bathil.” Raudhah ath-Thalibin oleh
Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam
al-Baghawi 4/392,Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314,
dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad
bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202.
Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak
dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada
orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. … Pendapat
ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada
ulama lain yang menyelisihinya.” al-Mughni oleh Ibnu Qudamah
al-Hambali, 7/156.
Rukun Kelima : Keuntungan
keuntungan adalah objek utama dari akad mudharabah,
sehingga bila ada salah satu pihak terkait tidak mengetauhi nisbah bagiannya,
maka ini menjadi penyebab batalnya akad mudharabah. Badaa’i ash-Shanaa’i oleh
al-Kasany al-Hanafy 5/118, al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/16.
Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kami dapatkan
ulama telah sepakat membolehkan pelaku usaha untuk mensyaratkan atas pemodal
sepertiga keuntungan, atau separuh, atau nisbah berapapun yang mereka berdua
sepakati, selama bagian yang ia persyaratkan diketahui bersama dan dalam nisbah
tertentu. Dan seluruh ulama yang pendapatnya sampai kepada saya juga telah
menyepakati, akan batilnya akad mudharabah yang salah satu pihak terkait atau
keduanya mensyaratkan agar dirinya mendapatkan bagian berupa uang dalam
jumlah tertentu. Di antara ulama yang saya ingat menyatakan demikian ialah Imam
Malik, al-Auzaa’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan ahlur ra’yi (madzhab Hanafy).” Al-Isyraaf oleh Ibnu Mundzir 2/39, baca juga al-Aziiz oleh
ar-Rafi’i 6/17.
Al-Kaasani al-Hanafy berkata, “Bila keduanya
mensyaratkan agar mendapatkan bagian dari keuntungan, uang dalam jumlah
tertentu, misalnya seratus dirham, atau yang semisal, dan sisa keuntungan
menjadi milik pihak kedua, maka persyaratan ini tidak dibenarkan, dan akad
mudharabah dinyatakan batal. Karena, mudharabah adalah salah satu bentuk
perserikatan dagang, yaitu perserikatan dalam hal keuntungan. Sehingga, fakta
ini mengharuskan agar kedua pihak terkait benar-benar berserikat/bersekutu
dalam kepemilikan terhadap keuntungan. Mungkin saja pengusaha tidak berhasil
mendapatkan keuntungan kecuali sejumlah uang tersebut, dengan persyaratan itu,
keuntungan menjadi milik seseorang saja, sehingga perserikatan dalam hal
keuntungan tidak dapat terwujud.” Badaa’i Ash-Shanaa’i oleh
al-Kasany al-Hanafy, 5/119.
Benar-benar yang dibagi adalah keuntungan. Sebagaimana
dinyatakan di atas, bahwa yang menjadi objek akad mudharabah ialah keuntungan,
dengan demikian, tidak dibenarkan bagi keduanya untuk mensyaratkan agar
mendapat bagian berupa nisbah dari selain keuntungan. Misalnya, mensyaratkan
agar pemodal mendapatkan bagian 30 % dari total modal yang ia berikan kepada
pengusaha. Perilaku pemodal ini menjadikan ia senantiasa mendapatkan bagian,
walaupun pengusaha tidak berhasil mendapatkan sedikitpun keuntungan. al-Bahrur Ra’iqoleh Ibnu Nujaim 7/264, dan Syarikah
al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi
as-Silmu, hal. 254.
D. Adab Dalam Akad Mudharabah
Pertama:
Para ahli fiqih menjelaskan bahwa di antara ketentuan akad mudharabah ialah dengan menyebutkan bagian pelaksana usaha dari hasil/keuntungan yang diperoleh. Adapun bagian pemodal dari keuntungan yang diperoleh tidak wajib disebutkan. Yang demikian itu dikarenakan pelaksana usaha berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena adanya persyaratan, sedangkan pemodal, berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena keuntungan yang diperoleh adalah keturunan/hasil dari modal miliknya. Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/455, Al Wasith oleh Al Ghazali 4/111-112, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/140.
Para ahli fiqih menjelaskan bahwa di antara ketentuan akad mudharabah ialah dengan menyebutkan bagian pelaksana usaha dari hasil/keuntungan yang diperoleh. Adapun bagian pemodal dari keuntungan yang diperoleh tidak wajib disebutkan. Yang demikian itu dikarenakan pelaksana usaha berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena adanya persyaratan, sedangkan pemodal, berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena keuntungan yang diperoleh adalah keturunan/hasil dari modal miliknya. Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/455, Al Wasith oleh Al Ghazali 4/111-112, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/140.
Ibnu Qudamah berkata: "Bila pada saat akad,
bagian pelaksana usaha dari keuntungan telah ditentukan, misalnya pemodal
berkata: Engkau berhak mendapatkan 1/3, atau 1/4 atau berapa persen yang jelas
dari keuntungan, maka sisa keuntungannya menjadi hak pemodal. Yang demikian itu
dikarenakan pemodal berhak menerima bagian dari keuntungan karena keutungan
yang ada merupakan hasil dan keturunan dari modalnya. Sedangkan pelaku usaha,
maka ia berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena adanya persyaratan.
Dengan demikian, seberapapaun bagian yang dipersyaratkan untuknya, maka hanya
itulah haknya, sedangkan sisanya milik pemodal berdasarkan kaedah/hukum asal
(yaitu modal beserta hasilnya adalah milik pemodal-pen)." Al Mughni 7/140.
Dengan demikian,
bila bagian pelaksana usaha tidak disebutkan, maka akad mudharabah mengandung
gharar (ketidak pastian). Dan sudah barang tentu hal itu, menurut banyak
ulama'- menjadikan akad mudharabah antara keduanya tidak sah dan terlarang.
Kedua:
Di antara hal yang membuktikan bahwa kepemilikan unit usaha pada akad mudharabah adalah milik pemodal ialah: Pelaku usaha tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan kecuali setelah modal secara utuh dikembalikan kepada pemodal, yaitu setelah tutup buku. Dan keuntungan usaha sebelum tiba saatnya tutup buku merupakan cadangan bagi modal usaha. Dengan demikian bila setelah mendapat keuntungan terjadi kerugian, maka keuntungan yang telah diperoleh wajib digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi setelahnya. Demikianlah seterusnya hingga tiba saatnya tutup buku. Saat itulah, pelaku usaha berhak mengambil bagi hasil yang telah disepakati. Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/505-506, Al Wasith oleh Al Ghazali 4/122, Al Mughni Ibu Qudamah 7/165, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 5/136, Az Zakhirah oleh Al Qarafi 6/89, & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbini 2/318.
Di antara hal yang membuktikan bahwa kepemilikan unit usaha pada akad mudharabah adalah milik pemodal ialah: Pelaku usaha tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan kecuali setelah modal secara utuh dikembalikan kepada pemodal, yaitu setelah tutup buku. Dan keuntungan usaha sebelum tiba saatnya tutup buku merupakan cadangan bagi modal usaha. Dengan demikian bila setelah mendapat keuntungan terjadi kerugian, maka keuntungan yang telah diperoleh wajib digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi setelahnya. Demikianlah seterusnya hingga tiba saatnya tutup buku. Saat itulah, pelaku usaha berhak mengambil bagi hasil yang telah disepakati. Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/505-506, Al Wasith oleh Al Ghazali 4/122, Al Mughni Ibu Qudamah 7/165, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 5/136, Az Zakhirah oleh Al Qarafi 6/89, & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbini 2/318.
Ketiga:
Para ulama' juga telah menegaskan bahwa status dan wewenang pelaku usaha dalam akad mudharabah hanyalah sebagai seorang perwakilan. Dengan demikian, wewenangnya terbatas. Karenanya, para ulama' menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak dibenarkan untuk menghibahkan sebagian harta mudharabah, atau menjualnya dengan harga lebih murah dari harga pasar, atau membeli dengan harga lebih mahal dari harga pasar. Sebagaimana wewenangnya juga dibatasi oleh berbagai persyaratan pemilik modal.
Para ulama' juga telah menegaskan bahwa status dan wewenang pelaku usaha dalam akad mudharabah hanyalah sebagai seorang perwakilan. Dengan demikian, wewenangnya terbatas. Karenanya, para ulama' menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak dibenarkan untuk menghibahkan sebagian harta mudharabah, atau menjualnya dengan harga lebih murah dari harga pasar, atau membeli dengan harga lebih mahal dari harga pasar. Sebagaimana wewenangnya juga dibatasi oleh berbagai persyaratan pemilik modal.
Bila pelaku
usaha melanggar kewenangannya, semisal menghibahkan sebagian harta mudharabah
tanpa izin, atau membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, maka
ia wajib menggantinya. Al Wasith oleh Al Ghazali 4/116, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/150-151, & Bada'ius Shana'i oleh Al Kasani 6/87.
Keempat:
Bila terjadi kerugian, maka kerugian yang berbentuk finansial (materi) maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemodal. Dan bila pada akad dipersyaratkan agar pelaku usaha turut menanggung kerugian materi/finansial, maka persyaratan ini tidak sah.
Bila terjadi kerugian, maka kerugian yang berbentuk finansial (materi) maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemodal. Dan bila pada akad dipersyaratkan agar pelaku usaha turut menanggung kerugian materi/finansial, maka persyaratan ini tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata: "Bila disyaratkan agar
pelaku usaha agar menjamin modal atau turut menanggung sebagian dari kerugian,
maka persyaratan ini batal (tidak sah). Kami tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat tentang hukum ini." Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/176.
Keempat hukum
diatas membuktikan bahwa unit usaha yang didirikan dengan dana dari pemodal
dengan skema mudharabah ialah milik pemodal.
E. Keuntungan
Adalah Imbalan Atas Kesiapan Menanggung Kerugian
"Dari
sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang
budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa
waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut.
Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual
berkata, 'Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?' Maka,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Keuntungan adalah imbalan
atas kerugian.'" HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai.
Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, "Yang dimaksud dengan
keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah
dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia
mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual,
sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil
uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan
berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed).
Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung
jawab pembeli. Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari
hartanya (ia yang menanggung kerugiannya)."
Seusai
menyebutkan ucapan Abu Ubaid di
atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli
fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang
dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda,
maka itu adalah milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai
pemilik. Karena, andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami
kerusakan, maka kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun
menjadi miliknya, agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas
kerugian." al-Asybah wa an-Nazhair oleh
as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi al-Qawaidh oleh
az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma'bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3
dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397.
Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk
perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama
menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi
tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga)
menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai
pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi
kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang
tidak sah. Badaa'i ash-Shanaa'ii oleh
al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah
7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami oleh Dr.
Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291.
F. Jika Terjadi Kerugian Pada
Akad Mudharabah
Masalah : Pihak pemodal
menyerahkan uangnya kepada pihak pengelola, lalu terjadi kerugian dalam usaha
tersebut sehingga menghabiskan uang milik pemodal. Maka siapakah yang
menanggung kerugian tersebut? Apakah pihak pemodal atau pengelola atau
keduanya?
Jawab : Kerugian
dalam syarikah seperti ini disebut wadhii’ah. Kerugian ini mutlak menjadi
tanggung jawab pemodal (pemilik harta), sama sekali bukan menjadi tanggungan
pihak pengelola. Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan
kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati
syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu
yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.
Pihak
pemodal berhak mendapat keuntungan dari harta atau modal yang dikeluarkannya,
dan pihak pengelola mendapat keuntungan dari tenaga dan waktu yang dikeluarkannya.
Maka kerugian ditanggung pihak pemodal atau pemilik harta. Adapun pihak
pengelola, ia mendapat kerugian dari jasa dan tenaga yang telah dikeluarkannya.
Ini
adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah
ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Ibnu Qudamah
al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni (V/183) mengatakan, “Kami tidak mengetahui
adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini”.
Pada
bagian lain (V/148), al-Maqdisi
mengatakan, kerugian dalam syarikah mudharabah ditanggung secara khusus oleh
pihak pemodal, bukan tanggungan pihak pengelola. Karena wadii’ah, hakikatnya
adalah kekurangan pada modal. Dan ini, secara khusus menjadi urusan pemilik
modal, bukan tanggungan pihak pengelola. Kekurangan tersebut adalah kekurangan
pada hartanya, bukan harta orang lain. Kedua belah pihak bersyarikah dalam
keuntungan yang diperoleh.
Seperti
dalam kerja sama musaaqat dan muzaara’ah, dalam kerja sama ini, tuan tanah atau
pemilik pohon bersyarikah dengan pihak pengelola atau pekerja dalam keuntungan
yang dihasilkan dari kebun dan buah. Namun, jika terjadi kerusakan pada pohon
atau jatuh musibah atas tanah tersebut, misalnya tenggelam atau musibah
lainnya, maka pihak pengelola atau pekerja tidak menanggung kerugian sekalipun.
Masalah : Akan tetapi
bagaimana hukumnya bila pihak pengelola dan pihak pemodal telah membuat syarat
dan kesepakatan, bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga
ditanggung pihak pengelola, dan selebihnya pihak pemodal?
Jawab : Syarat dan
kesepakatan seperti ini bertentangan dengan Kitabullah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengatakan.
“Artinya
: Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka
tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus syarat”. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam
Ibnu
Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa ada
perselisihan di kalangan ulama. (Bulughul
Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani). Ibnu
Qudamah berkata, “Intinya, apabila disyaratkan atas pihak pengelola
tanggung jawab terhadap kerugian atau mendapat bagian tanggungan dari wadhii’ah
(kerugian), maka syarat itu bathil. Kami mengetahui adanya perselisihan dalam
masalah ini.
Barangkali
para pemodal akan mengatakan : “Kalian para ulama telah membuka pintu
seluas-luasnya bagi para pengelola untuk mempermainkan uang kami. Apabila kami
menuntutnya, mereka mengatakan, ‘Kami mengalami kerugian”.
Kalau
pengelola tadi adalah orang yang lemah iman; lemah imannya kepada hari akhirat
dan berani menjual agamanya dengan materi dunia, maka orang seperti inilah yang
berani mempermainkan harta kaum muslimin, lalu mereka bersumpah telah mengalami
kerugian. Kelonggaran ini bukanlah disebabkan fatwa dan pendapat ahli ilmu.
Kewajiban atas pemilik harta adalah, mencari orang yang amanah agamanya dan
ahli dalam pekerjaannya. Jika tidak menemukan orang seperti ini, maka hendaklah
ia menahan hartanya. Adapun ia serahkan hartanya kepada orang yang tidak amanah
dan tidak bisa mengelola lalu berkata, Ahli Ilmu telah membuka pintu bagi
pengelola untuk mempermainkan harta kami, maka alasan seperti ini, sama sekali
tidak bisa diterima.
Masalah : bolehkah
pihak pengelola menanggung kerugian atas kerelaan darinya, tanpa paksaan?
Jawaban : Apabila pihak
pengelola turut menanggung kerugan atas kerelaan darinya dan tanpa tekanan dari
pihak manapun, maka hal itu dibolehkan, bahkan itu termasuk akhlak yang
terpuji. Wallahu ‘alam
Masalah : Bagaimana
bila pada jual beli pertama mereka mendapat keuntungan, lalu pada jual beli
kedua mereka mendapat kerugian, apakah keuntungan pada jual beli pertama dibagi
dahulu, lalu kerugian pada jual beli kedua menjadi tanggungan pihak pengelola?
Ataukah keuntungan itu dipakai untuk menutupi kerugian, lalu sisanya dibagi
kemudian?
Jawab : Dalam kasus
seperti ini, keuntungan harus digunakan lebih dulu untuk menutupi kerugian.
Jika keuntungan tersebut masih tersisa setelah modal ditutupi, maka baru
kemudian dibagi kepada pihak pengelola dan pihak pemodal menurut kesepakatan
mereka. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.
Ibnu
Qudamah dalam kitab al-Mughni (V/169) mengatakan :”Masalah, pihak pengelola
tidak berhak mengambil keuntungan hingga ia menyerahkan modal kepada pihak
pemodal. Apabila dalam usaha terjadi kerugian dan keuntungan, maka kerugian
ditutupi dengan keuntungan. Baik kerugian dan keuntungan itu diperoleh dalam
satu transaksi, ataupun kerugian terjadi pada transaksi pertama, lalu
keuntungan dihasilkan pada transaksi berikutnya. Karena keuntungan itu
hakikatnya adalah, sesuatu yang lebih dari modal dasar. Dan apabila tidak
lebih, maka belum dihitung sebagai keuntungan. Kami tidak mengetahui adanya
perselisihan pendapat di kalangan dalam masalah ini”.
Demikian pula yang dikatakan oleh
Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma
(halaman 112 nomor 534). Beliau rahimahullah berkata :”Para ulama sepakat,
bahwa pembagian keuntungn (itu) dibolehkan, apabila pihak pemodal telah
mengambil modalnya”.
Hanya saja Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Maraatibul Ijma, halaman 93, baha
para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun kesimpulanya, pendapat
yang kuat adalah yang telah kita jelaskan diatas.
Apabila keuntungan telah dihitung
dan dibagikan, dan masing-masing pihak telah mengambil bagian dari keuntungan,
lalau setelah itu terjadi kerugian, maka dalam kasus ini, pihak pengelola tidak
berhak memaksa pihak pemodal untuk menutupi kerugian dan keuntungan yang telah
dibagikan, sudah menjadi, hak masing-masing. Wallahu ‘alam
Masalah : Bagaimana bila
pihak pengelola melanggar syarat atau melakukan kesalahan prosedur dalam usaha
sehingga menyebabkan kerugian?
Jawab : Kerugian
tersebut menjadi tanggungan pihak pengelola yang telah melanggar persyaratan
yang telah disepakati, atau melakukan kelalaian, atau kesalahan prosedur.
Sejumlah ahli ilmu telah menyebutkan kesepakatan ulama dalam masalah ini, di
antaranya adalah Ibnu Hazm dalam kitab
Maraatibul Ijma (hal. 93), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma (hal.112 nomor 535).
Namun Ibnu Abi Syaibah menukil dalam Mushannaf-nya (IV/402-403) dari Az-Zuhri
rahimahullah, bahwa beliau menyelisihi ijma’ ini. Demikian pula atsar dari Thawus dan Al-Hasan.
Ibnu
Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni (VII/162) : “Apabila pihak pengelola
melakukan pelanggaran prosedur, atau melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya, atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka ia
bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat
mayoritas ahli ilmu”.
Namun pendapat yang kuat adalah,
pihak pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut, jika ia melanggar
syarat. Karena seorang mukmin wajib memenuhi syarat-syarat yang telah mereka
sepakati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Kaum muslimin harus menepati
syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mehalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal”,
Masalah : Namun,
bagaimana jika pihak pengelola melanggar syarat, akan tetapi ia mendapat
keuntungan?
Jawab : Sebagian ahli
ilmu berpendapat bahwa keuntungan merupakan hak pemilik modal. Karena harta itu
merupakan hartanya. Sebagian ahli ilmu lainnya berpendapat, bahwa keuntungan
menjadi hak pengelola. Karena dialah yang bertanggung jawab apabila terjadi
kerugian. Ada pula ulama yang berpendapat, bahwa keuntungan itu menjadi harta
sedekah, diberikan kepada fakir miskin. Ada yang berpendapat, keuntungan
diserahkan kepada pemodal. Adapun si pengelola berhak memperoleh uang jasa yang
setimpal. Ada pula yang berpendapat, keuntungan tersebut dibagi menurut
kesepakatan merka berdua.
Pendapat inilah yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut di dalam Majmu Fatawa (XXX/86-87). Wallahu a’lam
Masalah : Bolehkah
pihak pengelola mencampur modal tersebut dengan hartanya? Bagaimana bila itu
terjadi ?
Jawab : Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni
(VII/158) menjelaskan, pihak pengelola tidak boleh mencampur modal
mudharabah dengan hartanya. Jika ia melakukan itu, lalu ia tidak bisa memilah
mana hartanya dan mana modal mudharabah, maka ia menanggung kerugian yang
mungkin terjadi karenanya. Karena ia yang diberi amanah, (dan) modal tersebut
ibarat wadhi’ah (barang titipan)”.
Masalah : Bagaimana
bila masih bersisa dari harta mudharabah, bolehkah pihak pengelola
mengambilnya?
Jawab : Apabila pihak
pengelola mendapati di tangannya masih tersisa harta mudharabah, maka ia tidak
boleh mengambilnya, kecuali dengan izin pihak pemodal.
Ibnu
Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya,
apabila terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak
boleh mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya
perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak berhak
mengambilnya karena tiga alasan.
Pertama : Keuntungan digunakan
untuk menutupi modal dasar, masih terbuka kemungkinan keuntungan tersebut
dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga belum bisa disebut sebagai
keuntungan.
Kedua : Pemilik modal –dalam hal
ini- mitra bisnisnya, dia tidak boleh memotong haknya sebelum pembagian.
Ketiga : Kepemilikan atas
keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja keuntungan tersebut diambil
kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila pemilik modal mengizinkannya
maka ia boleh mengambilnya.karena harta tersebut merupakan hak mereka berdua,
dan tidak akan keluar dari hak keduanya.
G. Berakhirnya Akad Mudharabah
Imam
Ibnu Qudamah
menyarakan : “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir
dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak –siapa saja-, dengan
kematian, gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada
harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya
antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya”. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin
Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr, (7/172).
Imam An-Nawawi menyatakan :
Penghentian qiradh dibolehkan, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan
setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan, maka masing-masing
dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak membutuhkan
kehadiran dan keridhaan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal,
maka berakhirlah usaha tersebut” Majmu
Syarhu Al-Muhadzab, op.cit (15/176).
Imam Syafi’i menyatakan :
“Kapan saja pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan
sesudahnya, dan kapan pengelola ingin keluar dari qiradh, maka ia keluar
darinya” Ibid
(15/191).
Apabila telah dihentikan dan harta
(modal) utuh, tidak memiliki keuntungan, maka harta tersebut diambil oleh
pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan, maka keduanya membagi keuntungan
tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk
barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya, maka diperbolehkan,
karena merupakan hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola meminta untuk
menjualnya, sedangkan pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka pemilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena hak pengelola
ada pada keuntungan, dan tidak tampak kecuali dengan dijual. Namun bila tidak
tampak keuntungan, maka pemilik modal tidak dipaksa. Al-Mughni, op.cit (7/172).
No comments:
Post a Comment