Saturday, August 4, 2012

Konsep Bagi Hasil (Mudharabah)


A.    Definisi Mudharabah
Mudharabah memiliki dua istilah. Yaitu mudharabah, qiradh dan qardh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum Muslimin.
Penduduk Iraq menggunakan istilah mudharabah untuk menyebut transaksi syarikah ini. Disebut sebagai mudharabah, karena diambil dari kata dharb di muka bumi. Yang artinya, melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang. Allah berfirman. Artinya : “(Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan AllahAl-Muzzammil : 20
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaz, disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.
Ada juga yang menyatakan, bahwa kata itu diambil dari qardh, yakni memotong. Artinya, dalam masalah ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr (7/133).

Menurut para ulama, istilah mudharabah memiliki pengertian, yaitu
Pihak pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan pemodal berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan. Al-Mughni, op. cit (7/133).
Suatu akad serikat dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemodal, sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan yang diperoleh dibagi antara mereka berdua dalam persentase yang telah disepakati antara keduanya." Al-Aziz oleh ar-Rafi'i 6/3, Aqdul Mudharabah Fil Fiqhil Islamy, oleh Dr. Zaid bin Muhammad ar-Rummaani, hal. 14, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa'ad bin Gharir as-Silmy, 37.
Dengan kata lain, mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Al-Bunuk Al-Islamiyah Baina An-Nadzariyat wa Tathbiq, op.cit, hal. 122.
Sehingga mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Al-Fiqhu Al-Muyassar, op.cit, hal. 185. Hal ini juga diakui oleh PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah) Indonesia dalam buku saku Perbankan Syari’at, hal. 37.
Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al mal dan keahlian (pengelola) dari mudharib.
B.     Dasar Hukum Akad Mudharabah
Tidak ada dalil khusus yang menerangkan Mudharabah dari al-Qur`an atau as-Sunnah, namun demikian akad mudharabah tercakup oleh dalil-dalil umum yang menghalalkan kita untuk berniaga dan mencari keuntungan yang halal, serta dalil-dalil yang menghalalkan segala hal yang bermanfaat atau yang manfaatnya lebih besar dibanding mudharatnya.
Diantara dalil umum yang menjadi dasar hukum akad mudharabah yakni :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." an-Nisa': 29
"Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-mu." al-Baqarah: 198
Imam al-Mawardi asy-Syafi'i berkata, "Dan di antara dalil dihalalkannya al-Qiraadh adalah firman Allah Ta'ala yang artinya, " Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-mu" dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qiraadh adalah salah satu upaya untuk mencari karunia dari Allah, dan mencari keuntungan." Al-Haawi al-Kabir oleh al-Mawardy, 7/306
Diantara hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat menjadi dasar akad mudharabah ialah hadits Abdullah bin Umar berikut : "Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya." Muttafaqun 'alaih
Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan, bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada warga Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami, dengan perjanjian bagi hasil 50 % banding 50 %. Akad semacam inilah yang disebut dalam ilmu fiqih dengan istilah musaaqaah.
Walaupun hadits di atas, secara khusus berkenaan dengan akad musaaqaah, akan tetapi secara tidak langsung menjadi dalil disyariatkannya akad mudharabah. Yang demikian itu karena kedua akad ini serupa, baik dalam hal wujud lahirnya, atau konsekuensi hukumnya.
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa' ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari para al-khulafa' ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa'ul Ghalil oleh al-Albany, 5/290-294).
Ijma' Ulama
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya mudharabah ialah kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Ibnu Munzir asy-Syafi'i berkata, "Kita tidak mendapatkan dalil tentang al-Qiradh (mudharabah) dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para ulama telah menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar dan dirham." (Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi'i, 2/38).
Ibnu Hazm berkata, "Al-Qiraadh (al-Mudharabah) telah dikenal sejak zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para pedagang. Mereka tidak memiliki mata pencaharian selain darinya, padahal di tengah-tengah mereka terdapat orang tua yang tidak lagi kuasa untuk bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu, orang-orang yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada orang lain yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari hasil keuntungannya. Dan tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah diutus, beliaupun membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga menjalankannya. Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi tentang hal ini, maka pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan, sebab ia telah terlebih dahulu menyelisihi praktik nyata seluruh umat dari zaman kita hingga zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, 8/247).
Imam al-Marghinani al-Hanafy berkata, "Akad mudharabah dihalalkan, karena benar-benar diperlukan oleh umat manusia. Karena di antara manusia ada orang-orang yang kaya akan harta benda, akan tetapi ia tidak pandai untuk mengelolanya. Sebagaimana di antara mereka ada orang-orang yang lihai dalam mengelola kekayaan, akan tetapi mereka miskin tidak memiliki modal usaha. Dengan demikian, sangat urgen untuk disyariatkan transaksi semacam ini, agar kemaslahatan kedua belah pihak, yaitu orang yang kaya (tapi tidak berpengalaman) dan orang yang cerdik (tapi tidak memiliki modal), orang yang miskin (tapi lihai) dan orang yang dungu (tapi kaya) dapat terwujud." Al-Hidayah Syarah al-Bidaayah oleh al-Marghinaani al-Hanafi, 3/202
Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma di dalamnya, namun tidak memiliki dasar nash seperti mudharabah. Hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, apalagi pada bangsa Quraisy. Karena umumnya, perniagaan merupakan pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (Umaal). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian, seperti memperdagangkan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan, kebanyakan dengan sistem mudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika Islam datang. Rasulullah menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara mudharabah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau. Ketika beliau menyetujui, maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah”. Majmu Fatawa (19/195-196)
C.    Rukun-rukun Akad Mudharabah
Rukun Pertama : Ijab dan Qabul
Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak pertama yang menghendaki terjalinnya akad mudharabah. Sedangkan qabul ialah jawaban yang mengandung persetujuan yang diucapkan oleh pihak kedua atau yang mewakilinya.
Akad mudharabah dapat berlangsung dengan segala ucapan yang menunjukkan tentangnya. tidak ada kata-kata khusus yang harus diucapkan oleh masing-masing pihak, agar mudaharabah dapat terjalin antara mereka. Sehingga dapat dijalin dengan ungkapan apa saja, yang menunjukkan akan maksud dan kesepakatan kedua belah pihak, baik disampaikan secara lisan atau tulisan.
Misal : “Saya ajak Anda untuk bekerja sama dalam usaha, saya sebagai pemodal, dan Anda sebagai pelaku usaha, dengan ketentuan pembagian hasil 50% banding 50%” Kemudian pihak kedua berkata, “Baiklah, saya terima tawaran Anda. Atau saya beri Anda modal untuk usaha, dan keuntungan yang berhasil Anda peroleh dibagi dua, saya 40% dan Anda 60%”.
Penjelasan ini didukung oleh kaidah dalam ilmu fiqih yang berbunyi : “Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum”.
Rukun Kedua : Pemodal dan Pelaku Usaha
Orang yang dibolehkan untuk menjalin akad mudharabah ialah orang yang memenuhi empat kriteria yaitu :
Merdeka. Dalil kriteria ini ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka harta budak itu adalah milik penjualnya, kecuali bila pembelinya mensyaratkan agar harta tersebut menjadi miliknya.” HR. al-Bukhary dan Muslim
Baligh. Baligh pada lelaki dapat diketahui dengan telah sampainya seseorang pada umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub. Dan pada wanita ditandainya dengan dimulainya siklus datang bulan (haidh), atau hamil, atau telah berumur lima belas tahun. Dalil kriteria ini ialah firman Allah Ta’ala. “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” QS. an-Nisa’: 6
Allah Ta'ala mensyaratkan dua hal sebelum diserahkannya harta benda anak yatim kepada mereka: mereka telah cukup umur untuk menikah yaitu telah baligh, dan mampu membelanjakan harta bendanya dengan baik (dan diriwayatkan juga dari Imam Ahmad, bahwa anak yang telah mumayyiz (kira-kira berumur tujuh tahun atau lebih) perbuatannya sah, akan tetapi harus disetujui oleh walinya. Al-Inshaf, 4/267 
Berakal sehat, dan
Rasyid (mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna).
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan bagimu.” Qs. an-Nisa': 5
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dan dari ayat ini disimpulkan syariat hajr (cekal kebebasan membelanjakan harta) terhadap orang-orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dengan baik (safih) dan mereka itu ada beberapa golongan: kadang kala hajr diberlakukan atas anak kecil, karena anak kecil ucapannya tidak dianggap, kadang kala diterapkan pada orang gila, kadang kala diterapkan pada orang yang buruk dalam membelanjakan hartanya, karena akalnya yang kurang sempurna, atau agamanya yang kurang baik.” Tafsir Ibnu Katsir, 1/452
Dalil permasalahan ini ialah kisah berikut, “Ada seseorang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia biasa berjual beli, padahal ia kurang sempurna dalam akalnya. Kemudian keluarganya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata kepadanya, ‘Wahai Nabi Allah, terapkanlah pada fulan hajr (batasilah kebebasan membelanjakan harta), karena ia senantiasa berjual beli ia kurang sempurna akalnya.’ Maka iapun dipanggil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau melarangnya dari berjual beli. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, sesungguhnya saya tidak kuasa untuk menahan diri dari berjual beli.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila engkau enggan untuk meninggalkan jual beli, maka katakanlah ketika engkau berjual beli: Ini dibeli dengan harga sekian, dan tidak ada penipuan.’” HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy dan Ibnu Majah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari permintaan keluarga sahabat yang akalnya kurang sempurna tersebut, ini menunjukkan bahwa membatasi kebebasan orang yang tidak mampu membelanjakan hartanya dikarenakan ia tidak atau belum berakal atau cacat mental dari membelanjakan hartanya, adalah suatu hal yang dibenarkan dalam syariat.
Rukun Ketiga : Modal
Modal ialah harta milik pihak pertama (pemodal) kepada pihak kedua (pelaku usaha) guna membiayai usaha yang dikerjakan oleh pihak kedua. Para ulama telah menyebutkan beberapa persyaratan bagi harta yang menjadi modal akad mudharabah.
Syarat pertama: Diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak.
Ulama telah sepakat bahwa kedua belah pihak yang terkait dalam akad mudharabah harus mengetahui tentang jumlah modal akad mudharabah yang mereka jalin. Hal ini dikarenakan konsekuensi akad mudharabah adalah pengembalian modal kepada pemodal, lalu kedua belah pihak berbagi keuntungan yang berhasil diperoleh, sesuai dengan perjanjian. Dengan demikian, bila jumlah modal tidak diketahui oleh kedua belah pihak, maka akan menimbulkan perselisihan tentang keuntungan. Sebab, keuntungan tidak dapat dikatakan sebagai keuntungan, melainkan bila jumlah modal telah diketahui dan berhasil dikembalikan dengan utuh kepada pemiliknya. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i asy-Syafi’i 6/8, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah, 7/183
Syarat kedua: Modal diserahkan kepada pelaku usaha.
Maksud persyaratan ini ialah pelaku usaha sepenuhnya diberi kebebasan untuk menggunakan modal tersebut guna membiayai usaha yang ia lakukan, tanpa ada campur tangan dari pemodal. Persyaratan ini bukan berarti seluruh modal harus diserahkan ke tangan pelaku usaha, atau ditransfer ke rekeningnya. Akan tetapi, kebebasan ini dapat diwujudkan dengan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada pelaku usaha dalam pengambilan dan penyalurannya, tanpa ada campur tangan dari pemodal, walaupun dana tersebut tetap tersimpan di rekening pemodal. Inilah pendapat yang menurut hemat saya paling kuat dalam permasalahan ini, dan ini merupakan madzhab Syafi’i dan Hambali. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i asy-Syafi’i 6/8, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini 2/310, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/136, dan Syarikah al-Mudharabah fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy167-173.
Rukun Keempat : Usaha
Secara global, akad mudharabah yang terjalin antara dua orang atau lebih, dapat dibagi menjadi dua bagian, selaras dengan perjanjian antara kedua belah pihak:
Bagian pertamaMudharabah terbatas.
Yaitu akad mudharabah yang kedua belah pihak  terkait telah menyepakati agar pelaku usaha mengembangkan modal yang ia terima dalam unit usaha tertentu. Pada keadaan semacam ini, maka pelaku usaha wajib mengindahkan persyaratan yang telah ia sepakati bersama pemodal. Bila ia melanggar kesepakatan, dan terjadi kerugian, maka ia wajib menanggung kerugian. sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Umat Islam wajib memenuhi persyaratan mereka.” HR. Imam Ahmad.
Bagian kedua: Mudharabah bebas.
Yaitu apabila kedua belah pihak tidak mengajukan persyaratan apapun, baik berkenaan jenis-jenis usaha, tempat, waktu, atau lainnya  yang membatasi kebebasan pelaku usaha dalam pengelolaan modal yang ia terima. Sehingga tatkala akad berlangsung, pemodal dengan tegas menyatakan kepada pelaku usaha, agar ia mengelola modal yang ia serahkan dalam usaha yang ia rasa dapat menguntungkan, apapun bentuknya, dengan ketentuan bagi hasil sekian banding sekian. Demikian juga sebaliknya, pelaku usaha tidak mensyaratkan kepada pemodal suatu jenis usaha atau tempat tertentu.
Namun pelaku usaha haruslah ghibthah, yakni Amanah dalam mengelola harta milik pemodal, senantiasa berusaha untuk melakukan yang terbaik dan paling banyak mendatangkan keuntungan. al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/21, dan Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbiny 2/316.
Pelaku usaha menginvestasikan kembali modal yang ia terima kepada pengusaha lain.
Para ulama telah sepakat, bahwa bila pemodal tidak mengizinkan pengusaha untuk kembali menginvestasikan modalnya kepada pengusaha lain, maka tidak dibenarkan bagi pengusaha pertama untuk melakukan hal itu. Syarikah al-Mudharabah Fil Fiqhil Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir as-Silmy 201.
Imam an-Nawawi berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi, ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil.” Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi 4/392,Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202.
Imam Ibnu Qudamah al-Hambali, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. … Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama lain yang menyelisihinya.” al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156.
Rukun Kelima : Keuntungan
keuntungan adalah objek utama dari akad mudharabah, sehingga bila ada salah satu pihak terkait tidak mengetauhi nisbah bagiannya, maka ini menjadi penyebab batalnya akad mudharabah. Badaa’i ash-Shanaa’i oleh al-Kasany al-Hanafy 5/118, al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/16.
Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kami dapatkan ulama telah sepakat membolehkan pelaku usaha untuk mensyaratkan atas pemodal sepertiga keuntungan, atau separuh, atau nisbah berapapun yang mereka berdua sepakati, selama bagian yang ia persyaratkan diketahui bersama dan dalam nisbah tertentu. Dan seluruh ulama yang pendapatnya sampai kepada saya juga telah menyepakati, akan batilnya akad mudharabah yang salah satu pihak terkait atau keduanya mensyaratkan  agar dirinya mendapatkan bagian berupa uang dalam jumlah tertentu. Di antara ulama yang saya ingat menyatakan demikian ialah Imam Malik, al-Auzaa’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan ahlur ra’yi (madzhab Hanafy).” Al-Isyraaf oleh Ibnu Mundzir 2/39, baca juga al-Aziiz oleh ar-Rafi’i 6/17.
Al-Kaasani al-Hanafy berkata, “Bila keduanya mensyaratkan agar mendapatkan bagian dari keuntungan, uang dalam jumlah tertentu, misalnya seratus dirham, atau yang semisal, dan sisa keuntungan menjadi milik pihak kedua, maka persyaratan ini tidak dibenarkan, dan akad mudharabah dinyatakan batal. Karena, mudharabah adalah salah satu bentuk perserikatan dagang, yaitu perserikatan dalam hal keuntungan. Sehingga, fakta ini mengharuskan agar kedua pihak terkait benar-benar berserikat/bersekutu dalam kepemilikan terhadap keuntungan. Mungkin saja pengusaha tidak berhasil mendapatkan keuntungan kecuali sejumlah uang tersebut, dengan persyaratan itu, keuntungan menjadi milik seseorang saja, sehingga perserikatan dalam hal keuntungan tidak dapat terwujud.” Badaa’i Ash-Shanaa’i oleh al-Kasany al-Hanafy, 5/119.
Benar-benar yang dibagi adalah keuntungan. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa yang menjadi objek akad mudharabah ialah keuntungan, dengan demikian, tidak dibenarkan bagi keduanya untuk mensyaratkan agar mendapat bagian berupa nisbah dari selain keuntungan. Misalnya, mensyaratkan agar pemodal mendapatkan bagian 30 % dari total modal yang ia berikan kepada pengusaha. Perilaku pemodal ini menjadikan ia senantiasa mendapatkan bagian, walaupun pengusaha tidak berhasil mendapatkan sedikitpun keuntungan. al-Bahrur Ra’iqoleh Ibnu Nujaim 7/264, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu, hal. 254.
D.    Adab Dalam Akad Mudharabah
Pertama:
Para ahli fiqih menjelaskan bahwa di antara ketentuan akad mudharabah ialah dengan menyebutkan bagian pelaksana usaha dari hasil/keuntungan yang diperoleh. Adapun bagian pemodal dari keuntungan yang diperoleh tidak wajib disebutkan. Yang demikian itu dikarenakan pelaksana usaha berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena adanya persyaratan, sedangkan pemodal, berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena keuntungan yang diperoleh adalah keturunan/hasil dari modal miliknya.
Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/455, Al Wasith oleh Al Ghazali 4/111-112, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/140.
Ibnu Qudamah berkata: "Bila pada saat akad, bagian pelaksana usaha dari keuntungan telah ditentukan, misalnya pemodal berkata: Engkau berhak mendapatkan 1/3, atau 1/4 atau berapa persen yang jelas dari keuntungan, maka sisa keuntungannya menjadi hak pemodal. Yang demikian itu dikarenakan pemodal berhak menerima bagian dari keuntungan karena keutungan yang ada merupakan hasil dan keturunan dari modalnya. Sedangkan pelaku usaha, maka ia berhak mendapatkan bagian dari keuntungan karena adanya persyaratan. Dengan demikian, seberapapaun bagian yang dipersyaratkan untuknya, maka hanya itulah haknya, sedangkan sisanya milik pemodal berdasarkan kaedah/hukum asal (yaitu modal beserta hasilnya adalah milik pemodal-pen)." Al Mughni 7/140.
Dengan demikian, bila bagian pelaksana usaha tidak disebutkan, maka akad mudharabah mengandung gharar (ketidak pastian). Dan sudah barang tentu hal itu, menurut banyak ulama'- menjadikan akad mudharabah antara keduanya tidak sah dan terlarang.
Kedua:
Di antara hal yang membuktikan bahwa kepemilikan unit usaha pada akad mudharabah adalah milik pemodal ialah: Pelaku usaha tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan kecuali setelah modal secara utuh dikembalikan kepada pemodal, yaitu setelah tutup buku. Dan keuntungan usaha sebelum tiba saatnya tutup buku merupakan cadangan bagi modal usaha. Dengan demikian bila setelah mendapat keuntungan terjadi kerugian, maka keuntungan yang telah diperoleh wajib digunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi setelahnya. Demikianlah seterusnya hingga tiba saatnya tutup buku. Saat itulah, pelaku usaha berhak mengambil bagi hasil yang telah disepakati.
Nihayatul Mathlab oleh Al Juwaini 7/505-506, Al Wasith oleh Al Ghazali  4/122, Al Mughni Ibu Qudamah 7/165, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 5/136, Az Zakhirah oleh Al Qarafi 6/89, & Mughnil Muhtaj oleh As Syarbini 2/318.
Ketiga:
Para ulama' juga telah menegaskan bahwa status dan wewenang pelaku usaha dalam akad mudharabah  hanyalah sebagai seorang perwakilan. Dengan demikian, wewenangnya terbatas. Karenanya, para ulama' menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak dibenarkan untuk menghibahkan sebagian harta mudharabah, atau menjualnya dengan harga lebih murah dari harga pasar, atau membeli dengan harga lebih mahal dari harga pasar. Sebagaimana wewenangnya juga dibatasi oleh berbagai persyaratan pemilik modal.
Bila pelaku usaha melanggar kewenangannya, semisal menghibahkan sebagian harta mudharabah tanpa izin, atau membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar, maka ia wajib menggantinya. Al Wasith oleh Al Ghazali 4/116, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/150-151, & Bada'ius Shana'i oleh Al Kasani 6/87.
Keempat:
Bila terjadi kerugian, maka kerugian yang berbentuk finansial (materi) maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemodal. Dan bila pada akad dipersyaratkan agar pelaku usaha turut menanggung kerugian materi/finansial, maka persyaratan ini tidak sah. 
Ibnu Qudamah berkata: "Bila disyaratkan agar pelaku usaha agar menjamin modal atau turut menanggung sebagian dari kerugian, maka persyaratan ini batal (tidak sah). Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang hukum ini." Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/176.
Keempat hukum diatas membuktikan bahwa unit usaha yang didirikan dengan dana dari pemodal dengan skema mudharabah ialah milik pemodal.
E.     Keuntungan Adalah Imbalan Atas Kesiapan Menanggung Kerugian
"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka Penjual berkata, 'Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?' Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'" HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzy, an-Nasai.
Abu Ubaid menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata, "Yang dimaksud dengan keuntungan pada hadits ini adalah hasil pekerjaan budak tersebut yang telah dibeli oleh pembeli, kemudian ia pekerjakan beberapa waktu. Setelah ia mempekerjakannya, ia menemukan cacat yang sengaja ditutup-tutupi oleh penjual, sehingga pembelipun mengembalikan budak tersebut dan pembeli berhak mengambil uang pembayarannya dengan utuh. Dengan demikian, ia telah mendapat keuntungan berupa seluruh hasil pekerjaan budak tersebut (selama ada di tangannya -ed). Hal ini dikarenakan budak tersebut -sebelum dikembalikan- merupakan tanggung jawab pembeli. Seandainya budak tersebut mati, maka budak itu dihitung dari hartanya (ia yang menanggung kerugiannya)."
Seusai menyebutkan ucapan Abu Ubaid di atas, as-Suyuthi berkata, “Para ahli fikih juga menyatakan demikian. Makna hadits tersebut ialah segala yang dihasilkan oleh suatu hal, baik berupa penghasilan, manfaat, atau suatu benda, maka itu adalah milik pembeli sebagai imbalan atas tanggung jawabnya sebagai pemilik. Karena, andaikata barang yang telah ia beli tersebut mengalami kerusakan, maka kerusakan itu tanggung jawabnya. Oleh karenanya hasilnya pun menjadi miliknya, agar benar-benar keuntungan menjadi pengganti atas kerugian." al-Asybah wa an-Nazhair oleh as-Suyuthi hal. 136. Baca juga al-Mantsur Fi al-Qawaidh oleh az-Zarkasyi 1/328, Aun al-Ma'bud oleh al-Azhim al-Abadi 8/3 dan Tuhfaz al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri 3/397.
Dan dikarenakan mudharabah adalah salah satu bentuk perniagaan, maka kaidah inipun berlaku padanya. Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa kerugian yang berkaitan dengan modal (materi) menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian non-materi, (skiil/tenaga) menjadi tanggung jawab pengusaha.
Andai pemodal mensyaratkan agar pengusaha menjamin modalnya, sehingga bila terjadi kerugian modal dikembalikan utuh, maka persyaratan adalah persyaratan yang tidak sah. Badaa'i ash-Shanaa'ii oleh al-Kasani al-Hanafy 5/119, al-Mughni oleh Ibnu Qudaamah 7/176, Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami oleh Dr. Sa'ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 291.
F.     Jika Terjadi Kerugian Pada Akad Mudharabah
Masalah : Pihak pemodal menyerahkan uangnya kepada pihak pengelola, lalu terjadi kerugian dalam usaha tersebut sehingga menghabiskan uang milik pemodal. Maka siapakah yang menanggung kerugian tersebut? Apakah pihak pemodal atau pengelola atau keduanya?
Jawab : Kerugian dalam syarikah seperti ini disebut wadhii’ah. Kerugian ini mutlak menjadi tanggung jawab pemodal (pemilik harta), sama sekali bukan menjadi tanggungan pihak pengelola. Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.
Pihak pemodal berhak mendapat keuntungan dari harta atau modal yang dikeluarkannya, dan pihak pengelola mendapat keuntungan dari tenaga dan waktu yang dikeluarkannya. Maka kerugian ditanggung pihak pemodal atau pemilik harta. Adapun pihak pengelola, ia mendapat kerugian dari jasa dan tenaga yang telah dikeluarkannya.
Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab al-Mughni (V/183) mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini”.
Pada bagian lain (V/148), al-Maqdisi mengatakan, kerugian dalam syarikah mudharabah ditanggung secara khusus oleh pihak pemodal, bukan tanggungan pihak pengelola. Karena wadii’ah, hakikatnya adalah kekurangan pada modal. Dan ini, secara khusus menjadi urusan pemilik modal, bukan tanggungan pihak pengelola. Kekurangan tersebut adalah kekurangan pada hartanya, bukan harta orang lain. Kedua belah pihak bersyarikah dalam keuntungan yang diperoleh.
Seperti dalam kerja sama musaaqat dan muzaara’ah, dalam kerja sama ini, tuan tanah atau pemilik pohon bersyarikah dengan pihak pengelola atau pekerja dalam keuntungan yang dihasilkan dari kebun dan buah. Namun, jika terjadi kerusakan pada pohon atau jatuh musibah atas tanah tersebut, misalnya tenggelam atau musibah lainnya, maka pihak pengelola atau pekerja tidak menanggung kerugian sekalipun.
Masalah : Akan tetapi bagaimana hukumnya bila pihak pengelola dan pihak pemodal telah membuat syarat dan kesepakatan, bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak pengelola, dan selebihnya pihak pemodal?
Jawab : Syarat dan kesepakatan seperti ini bertentangan dengan Kitabullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan.
“Artinya : Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus syarat”. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam
Ibnu Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. (Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani). Ibnu Qudamah berkata, “Intinya, apabila disyaratkan atas pihak pengelola tanggung jawab terhadap kerugian atau mendapat bagian tanggungan dari wadhii’ah (kerugian), maka syarat itu bathil. Kami mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.
Barangkali para pemodal akan mengatakan : “Kalian para ulama telah membuka pintu seluas-luasnya bagi para pengelola untuk mempermainkan uang kami. Apabila kami menuntutnya, mereka mengatakan, ‘Kami mengalami kerugian”.
Kalau pengelola tadi adalah orang yang lemah iman; lemah imannya kepada hari akhirat dan berani menjual agamanya dengan materi dunia, maka orang seperti inilah yang berani mempermainkan harta kaum muslimin, lalu mereka bersumpah telah mengalami kerugian. Kelonggaran ini bukanlah disebabkan fatwa dan pendapat ahli ilmu. Kewajiban atas pemilik harta adalah, mencari orang yang amanah agamanya dan ahli dalam pekerjaannya. Jika tidak menemukan orang seperti ini, maka hendaklah ia menahan hartanya. Adapun ia serahkan hartanya kepada orang yang tidak amanah dan tidak bisa mengelola lalu berkata, Ahli Ilmu telah membuka pintu bagi pengelola untuk mempermainkan harta kami, maka alasan seperti ini, sama sekali tidak bisa diterima.
Masalah : bolehkah pihak pengelola menanggung kerugian atas kerelaan darinya, tanpa paksaan?
Jawaban : Apabila pihak pengelola turut menanggung kerugan atas kerelaan darinya dan tanpa tekanan dari pihak manapun, maka hal itu dibolehkan, bahkan itu termasuk akhlak yang terpuji. Wallahu ‘alam
Masalah : Bagaimana bila pada jual beli pertama mereka mendapat keuntungan, lalu pada jual beli kedua mereka mendapat kerugian, apakah keuntungan pada jual beli pertama dibagi dahulu, lalu kerugian pada jual beli kedua menjadi tanggungan pihak pengelola? Ataukah keuntungan itu dipakai untuk menutupi kerugian, lalu sisanya dibagi kemudian?
Jawab : Dalam kasus seperti ini, keuntungan harus digunakan lebih dulu untuk menutupi kerugian. Jika keuntungan tersebut masih tersisa setelah modal ditutupi, maka baru kemudian dibagi kepada pihak pengelola dan pihak pemodal menurut kesepakatan mereka. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni (V/169) mengatakan :”Masalah, pihak pengelola tidak berhak mengambil keuntungan hingga ia menyerahkan modal kepada pihak pemodal. Apabila dalam usaha terjadi kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dengan keuntungan. Baik kerugian dan keuntungan itu diperoleh dalam satu transaksi, ataupun kerugian terjadi pada transaksi pertama, lalu keuntungan dihasilkan pada transaksi berikutnya. Karena keuntungan itu hakikatnya adalah, sesuatu yang lebih dari modal dasar. Dan apabila tidak lebih, maka belum dihitung sebagai keuntungan. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat di kalangan dalam masalah ini”.
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dalam kitab al-Ijma (halaman 112 nomor 534). Beliau rahimahullah berkata :”Para ulama sepakat, bahwa pembagian keuntungn (itu) dibolehkan, apabila pihak pemodal telah mengambil modalnya”.
Hanya saja Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitab Maraatibul Ijma, halaman 93, baha para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun kesimpulanya, pendapat yang kuat adalah yang telah kita jelaskan diatas.
Apabila keuntungan telah dihitung dan dibagikan, dan masing-masing pihak telah mengambil bagian dari keuntungan, lalau setelah itu terjadi kerugian, maka dalam kasus ini, pihak pengelola tidak berhak memaksa pihak pemodal untuk menutupi kerugian dan keuntungan yang telah dibagikan, sudah menjadi, hak masing-masing. Wallahu ‘alam
Masalah : Bagaimana bila pihak pengelola melanggar syarat atau melakukan kesalahan prosedur dalam usaha sehingga menyebabkan kerugian?
Jawab : Kerugian tersebut menjadi tanggungan pihak pengelola yang telah melanggar persyaratan yang telah disepakati, atau melakukan kelalaian, atau kesalahan prosedur. Sejumlah ahli ilmu telah menyebutkan kesepakatan ulama dalam masalah ini, di antaranya adalah Ibnu Hazm dalam kitab Maraatibul Ijma (hal. 93), dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma (hal.112 nomor 535). Namun Ibnu Abi Syaibah menukil dalam Mushannaf-nya (IV/402-403) dari Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau menyelisihi ijma’ ini. Demikian pula atsar dari Thawus dan Al-Hasan.
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni (VII/162) : “Apabila pihak pengelola melakukan pelanggaran prosedur, atau melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, atau membeli sesuatu yang dilarang untuk dibeli, maka ia bertanggung jawab terhadap harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ahli ilmu”.
Namun pendapat yang kuat adalah, pihak pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut, jika ia melanggar syarat. Karena seorang mukmin wajib memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
 “Artinya : Kaum muslimin harus menepati syarat-syarat yang telah mereka sepakati, kecuali syarat yang mehalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”,
Masalah : Namun, bagaimana jika pihak pengelola melanggar syarat, akan tetapi ia mendapat keuntungan?
Jawab : Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa keuntungan merupakan hak pemilik modal. Karena harta itu merupakan hartanya. Sebagian ahli ilmu lainnya berpendapat, bahwa keuntungan menjadi hak pengelola. Karena dialah yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian. Ada pula ulama yang berpendapat, bahwa keuntungan itu menjadi harta sedekah, diberikan kepada fakir miskin. Ada yang berpendapat, keuntungan diserahkan kepada pemodal. Adapun si pengelola berhak memperoleh uang jasa yang setimpal. Ada pula yang berpendapat, keuntungan tersebut dibagi menurut kesepakatan merka berdua.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut di dalam Majmu Fatawa (XXX/86-87). Wallahu a’lam
Masalah : Bolehkah pihak pengelola mencampur modal tersebut dengan hartanya? Bagaimana bila itu terjadi ?
Jawab : Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni (VII/158) menjelaskan, pihak pengelola tidak boleh mencampur modal mudharabah dengan hartanya. Jika ia melakukan itu, lalu ia tidak bisa memilah mana hartanya dan mana modal mudharabah, maka ia menanggung kerugian yang mungkin terjadi karenanya. Karena ia yang diberi amanah, (dan) modal tersebut ibarat wadhi’ah (barang titipan)”.
Masalah : Bagaimana bila masih bersisa dari harta mudharabah, bolehkah pihak pengelola mengambilnya?
Jawab : Apabila pihak pengelola mendapati di tangannya masih tersisa harta mudharabah, maka ia tidak boleh mengambilnya, kecuali dengan izin pihak pemodal.
Ibnu Qudamah mejelaskan dalam kitab Al-Mughni (VII/171). Intinya, apabila terlihat keuntungan pada harta mudharabah, maka pihak pengelola tidak boleh mengambilnya tanpa seizin pihak pemodal. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini. Pihak pengelola tidak berhak mengambilnya karena tiga alasan.
Pertama : Keuntungan digunakan untuk menutupi modal dasar, masih terbuka kemungkinan keuntungan tersebut dipakai untuk menutupi kerugian. Sehingga belum bisa disebut sebagai keuntungan.
Kedua : Pemilik modal –dalam hal ini- mitra bisnisnya, dia tidak boleh memotong haknya sebelum pembagian.
Ketiga : Kepemilikan atas keuntungan itu belum tetap, karena bisa saja keuntungan tersebut diambil kembali untuk menutupi kerugian. Namun, apabila pemilik modal mengizinkannya maka ia boleh mengambilnya.karena harta tersebut merupakan hak mereka berdua, dan tidak akan keluar dari hak keduanya.
G.    Berakhirnya Akad Mudharabah
Imam Ibnu Qudamah menyarakan : “Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak –siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot. Hal itu, karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya”. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin At-Turki, Cet II, Th 1412H, Penerbit Hajr, (7/172).
Imam An-Nawawi menyatakan : Penghentian qiradh dibolehkan, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan, maka masing-masing dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak membutuhkan kehadiran dan keridhaan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal, maka berakhirlah usaha tersebut” Majmu Syarhu Al-Muhadzab, op.cit (15/176).
Imam Syafi’i menyatakan : “Kapan saja pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya, dan kapan pengelola ingin keluar dari qiradh, maka ia keluar darinya” Ibid (15/191).
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, tidak memiliki keuntungan, maka harta tersebut diambil oleh pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan, maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya, maka diperbolehkan, karena merupakan hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola meminta untuk menjualnya, sedangkan pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka pemilik modal dipaksa untuk menjualnya, karena hak pengelola ada pada keuntungan, dan tidak tampak kecuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungan, maka pemilik modal tidak dipaksa. Al-Mughni, op.cit (7/172).

No comments:

Post a Comment