Wednesday, December 21, 2011

PRO KONTRA CREDIT CARD SYARI`AH

Bila dibandingkan dengan kartu debet syariah, pertumbuhan kartu kredit syariah di tanah air, cenderung kurang bergairah. Kondisi tersebut disebabkan masih adanya perdebatan apakah kartu kredit syariah bisa menjadi salah satu layanan perbankan syariah atau tidak. Kalangan yang tidak memperbolehkan beranggapan, penerbitan kartu kredit pada bank syariah hanya akan menimbulkan budaya konsumtif pada masyarakat, disamping berpotensi menimbulkan rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing-NPF). Sebaliknya pihak yang memperbolehkan menyatakan kartu kredit syariah akan memudahkan nasabah bank syariah melakukan transaksi.

Pada dasarnya di dalam Islam tidak dikenal yang namanya kartu kredit, yang lebih tepat adalah kartu debit.” Begitulah isi ungkapan. Prof. Dr. Mohd. Daud Bakar dalam salah satu seminar nasional di Kuala Lumpur pada tahun 2002. Daud Bakar, yang juga merupakan anggota Dewan Syari’ah Nasional Malaysia merupakan salah satu orang yang tidak setuju dengan diberikan label syari’ah pada kartu kredit.
Sebagai bagian industri keuangan yang profesional dan terbuka, produk kartu kredit syariah mulai menjadi sorotan berbagai pihak, khususnya kalangan umat islam yang selama ini masih mencari berbagai `bentuk' dan `produk' pelayanan perbankan syariah. Fenomena ini semakin menarik ketika berbagai negara islam termasuk Malaysia yang sudah ada bank syariah mulai menerbitkan kartu kredit syariah (islamic credit card). Indonesia sendiri ide penggunaan kartu kredit syariah mulai mencuat di awal tahun 2003, ketika terjadi forum Free Session di Bank Indonesia pada tanggal 30 Januari 2003 (Modal, No.8, 1 Juni 2003:13). Sejak saat itu menjadi perdebatan tentang wacana penggunaan kartu kredit syariah ini. Bagaimanakah sebenarnya kartu kredit syariah ini? Apa landasan dasar yang digunakan untuk menerbitkannya? Bagaimanakah mekanisme operasional dalam penggunaannya?
Di Malaysia, Islamic Credit Card dikeluarkan pertama kali oleh Bank Islam Malaysia Berhad pada tahun 2002. Sebagai Bank Syari’ah pertama di Malaysia, bank ini dikenal sebagai bank yang cukup inovatif dalam menawarkan produk-produk syari’ah. Dengan dalih mengakomodasi demand pasar, perbankan syariah pun meluncurkan kartu kredit syariah. Di Indonesia Setahu saya, baru dua unit usaha syariah yang mengimplementasikannya :
BNI Syariah dengan Hasanah Card. Dasar yang dipakai dalam penerbitan Hasanah Card adalah fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.54/DSN-MUI/X/2006 mengenai syariah card dan surat persetujuan dari Bank Indonesia No.10/337/DPbs tanggal 11-03-2008.
Bank Danamon dengan Dirha Card. Dirham Card ini diluncurkan berdasarkan fatwa No 54/DSN-MUI/IX/2006 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan surat BI no 9/183/DPbS/2007 tentang persetujuan Danamon Syariah Card.
Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kartu Kredit
Hal yang menarik dari penerapan kartu kredit ini adalah penggunaan akad yang berbeda antara bank syariah yang berbeda negara. Belum terdapat satu pola yang sama dan akad yang sama untuk digunakan sebagai pijakan hukum dari kartu kredit syariah tersebut. Akad-akad yang dipraktekkan pada kartu kredit syariah ada beberapa macam, diantaranya adalah kafalah dan ijarah yang telah difatwakan oleh DSN-MUI. Selain dari akad tersebut dapat juga menggunakan akad hiwalah yang berupa akad dengan melakukan pengalihan hutang. Dalam pelaksanaannya bahwa pemegang kartu saat melakukan transaksi dengan merchant tidak menggunakan transaksi secara tunai, dan telah mengalihkan tanggung jawab pembayarannya kepada pihak bank syariah.
Selain dari akad-akad tersebut, kartu kredit syariah dapat juga didasarkan atas akad jual beli dengan skim bay bitsaman ajil, seperti yang telah dilakukan oleh bank syariah di Malaysia. Sebelum diterbitkannya fatwa oleh MUI, berkembang wacana bahwa kartu kredit syariah bisa menggunakan akad qard dan bay murabahah, yang pengambilan keuntungan bank syariah adalah dari penetapan margin dengan selisih antara harga umum dengan harga yang ditetapkan jika menggunakan kartu tersebut, atau berupa pengambilan discount yang diberikan oleh pihak merchant.
Bisa juga akad wakalah menjadi dasar dari pemberlakuan kartu kredit syariah. Dalam akad ini pihak bank akan menjadi wakil untuk melakukan pembayaran pada pihak merchant, dan pemegang kartu sebagai yang terwakili. Pengambilan fee dari akad ini berupa pembayaran atas jasa yang telah dilakukan oleh bank penerbit kartu.
Sudah jelas bahwa hukum atas sesuatu itu didasarkan atas persepsi dan pemahaman tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita tentang kartu kredit, maka akan mempengaruhi tingkatan pendudukan masalah yang berkenaan dengan kartu kredit tersebut. Jelas bahwa, sebatas dari yang telah dipahami dan dimengerti tentang kartu kredit, maka akan dapat didudukkan permasalahan dalam penggunaan akad yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan transaksi berdasarkan fiqh Islam dan penjelasan berkenaan dengan hukum-hukumnya, apakah kartu kredit tersebut halal atau haram, dan memberikan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan secara Islam bila kartu kredit tersebut diharamkan.
Dalam kasus Islamic credit card ini salah satu dasar transaksi yang digunakan dalam bay al innah. Padahal skema ini dilarang dalam Islam dan mirip dengan kawin mut’ah menurut Imam Syafi’i.
Namun demikian pasar masih saja ada yang menggunakan kartu kredit ini karena memang didasari atas kebutuhan mereka dalam berbelanja. Sehingga sepintas terlihat hukum Islam menjadi lebih fleksibel oleh demand di masyarakat. Apakah seharusnya begitu perkembangan produk-produk dengan label syari’ah hanya mengikuti maunya pasar saja tanpa memperhatikan atau menjaga hukum fiqh Islam secara tegas?
Kartu Kredit vs Kartu Debit
Apa sih yang membedakan antara kartu kredit dan kartu debit? Pada dasarnya dengan kartu kredit, pemilik tidak perlu mempunyai uang secara tunai atau di simpanan bank. Menurut Financial Consumer Agency Canada (FCAC), kartu kredit adalah a plastic payment card that allows the holder to obtain goods and services on credit terms and without the requirement to pay cash.
Jadi sama dengan memberikan utang pada orang yang tidak mempunyai uang, yang kemudian utang tersebut harus dilunasi pada jangka periode tertentu. Lain halnya dengan, kartu debit dimana pemilik harus memiliki simpanan uang di bank terkait. Jadi ketika transaksi jual beli dilakukan, kartu debit digunakan untuk mentransfer sejumlah uang yang dibebankan dalam jual beli tersebut. Sehingga konsep perbedaan antara kartu debit dan kartu kredit menjadi jelas. Kartu debit mensyaratkan adanya simpanan uang tertentu agar transaksi dapat berjalan dengan baik, selain jenis tersebut sudah pasti dinamakan kartu kredit apapun namanya.

Dalam kartu kredit syari’ah atau di Indonesia dikenal dengan syari’ah charged card digunakan fee atas pinjaman untuk suatu periode. Padahal apapun tambahan pada pinjaman sudah pasti namanya riba. Riba tentunya sangat dilarang dalam Islam, apakah dengan diubah dengan aqad untuk jasa pelayanan hal ini dapat disebut bukan riba? Perlu adanya kehatian-hatian dalam hal ini.
Namun dibolehkan bagi peminjam untuk menambahkan dari utang yang dipinjam tersebut tanpa adanya paksaan dari kreditur (hadis Muslim). Oleh karena itu ada yang namanya qardhul hassan yang bersifat benevolent loan tanpa adanya tambahan fee sedangkan dayn memang loan atau utang.
Qardhul hassan sendiri bersifat aqad kerjasama dalam memberikan bantuan uang untuk usaha, lain halnya dengan dayn yang pada umumnya digunakan selain untuk usaha misalnya untuk keperluan konsumtif dan beda secara aqad, jadi hubungan antara peminjam dengan orang yang meminjamkan uang adalah kreditur dan debitur. Perbedaannya cukup tipis namun bisa mempunyai implikasi yang luas.
Oleh karena itu didalam Islam daripada menggunakan transaksi dengan dayn lebih baik dengan sistem syarikah atau kerjasama yang lebih adil. Rosly (2001) menyamakan sistem kontrak dengan dasar dayn sama dengan sistem pembiayaan riba karena menggunakan tambahan fee dalam transaksinya.
Substance Over Form
Menganalisa pendapat Assoc. Prof. Dr. Mohd Daud Bakar tersebut yang menyangsikan kesyari’ahan kartu kredit dilandasi pada analogi kartu kredit sama dengan manganjurkan orang untuk berutang. Padahal di dalam Islam, berutang merupakan salah satu hal yang tidak dianjurkan. Hal ini merujuk pada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya adalah orang yang mempunyai utang selalu berkata bohong dan selalu tidak pernah menepati janjinya.

Oleh karena itu Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa agar dirinya selalu tidak dalam keadaan berutang. Oleh karena itu di dalam Qur’an (surat Al Baqarah: 280) disebutkan bahwa orang yang kesulitan dalam membayar utang harus diberikan keringanan dalam membayarnya, hal ini agar terhindar dari yang disebutkan oleh hadis di atas.
Menurut Beekun (1996), utang dibolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa sekali, di tambah utang tersebut harus dilunasi sesegera mungkin. Apapun jenis aqad transaksi yang digunakan dalam kartu kredit syari’ah dan sejenisnya baik ijarah, qardh atau >wadiah, secara substansi tetap menganjurkan orang untuk berutang. Hal inilah yang mendasari mengapa kartu kredit tidak mungkin dapat disyari’ah-kan.
Kartu kredit syari’ah yang tidak menggunakan suku bunga atau tidak dibolehkannya cicilan dalam pembayaran bukan berarti dibolehkan dalam perspektif Islam. Prilaku ini dapat menyebabkan paradigma yang salah bagi terutama umat Islam sendiri. Seharusnya fatwa dibolehkannya kartu kredit tidak hanya berpijak pada halalnya saja tetapi juga mengacu pada kebaikannya untuk umat Islam.
Hal senada juga dikomentari oleh Aries Mufti (Republika, 7 Mei 2004) yang berpendapat bahwa di Australia kartu kredit yang berbentuk utang rumah tangga mencapai 201 triliun dolar AS dan utang luar negeri 172 triliun dolar AS. Sedangkan menurut Ameridebt, di Amerika Serikat sendiri hampir utang konsumen nasional sudah mencapai lebih dari satu trilliun dolar AS.
Utang kartu kredit sudah mencapai 400 milyar dolar AS dalam hal ini. Di lain pihak ada satu kajian oleh the Consumer Federation of America pada pertengahan bulan Desember 1997 disebutkan bahwa kenaikan utang kartu kredit pada tahun tersebut naik dua kali lipat dari tingkat inflasi sendiri. Hal ini didasari bahwa harus ada minimum jumlah barang yang dibelanjakan dibandingkan dengan suku bunga tabungan agar beban suku bunga dari kartu kredit lebih kecil dari yang ditabungkan. Sehingga kartu kredit memacu orang agar terus membeli dan mengkonsumsi barang yang sebenarnya tidak diperlukan untuk menghindari kerugian beban fee kartu kredit.
Dalam Islam ada yang dikenal dengan istilah yudfa’ asyaddu adh-dhararyn, maksudnya adalah transaksi yang pada awalnya dilarang dapat dibolehkan dengan dasar tidak ada ada pilihan lain dan untuk mengambil hal yang bahayanya lebih ringan. Misalnya, untuk membeli buku di www.amazon.com, jenis pembayaran yang dapat digunakan adalah kartu kredit. Tentunya penggunaan kartu kredit dibolehkan apabila memang tidak ada toko buku yang lain atau jenis pembayaran yang menggunakan selain kartu kredit. Lain halnya dengan membeli di supermarket di Indonesia yang juga menyediakan fasilitas kartu debit, dalam hal ini penggunaan kartu debit seharusnya diprioritaskan.
Seharusnya prilaku atau paradigma seperti ini yang diterapkan di kehidupan sehari-hari bagi umat Islam. Jadi ada skala prioritas dalam penerapan aktivitas kehidupan sehari-hari menurut Islam. Misalnya dalam penggunaan kartu kredit syari’ah dan sejenisnya bukanlah pada tingkatan martabat dharuriyat (primer) karena selama masih ada jenis pembiayaan lain yang lebih Islami, kartu ini tidak diperlukan. Jadi kartu kredit syari’ah dan sejenisnya masuk dalam kategori martabat hajjiyat (sekunder) atau malah martabat tahsinat (pelengkap) apabila masih dapat digunakan jenis pembiayaan lain, misalnya kartu debet.
Dengan demikian kartu kredit syari’ah dan sejenisnya “dibolehkan” apabila memang fasilitas kartu debit atau pembayaran tunai tidak ada. Jadi penggunaannya hanya untuk hal-hal yang bersifat darurat dan sementara saja, bukan menjadi suatu kebutuhan pokok atau sampai dikeluarkan fatwanya segala.
Dalam hal pinjaman, tidak satupun ulama yang berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya bagi si pemberi pinjaman untuk mengambil lebihan, fee, atau imbalan dalam bentuk apapun. Seluruh ulama berpendapat bahwa hal ini dilarang secara syar’i dan ditentukan keharamannya. Pengambilan lebihan, fee, atau imbalan pada pinjaman yang diberikan adalah bentuk-bentuk dari riba, dan jelas hal itu dilarang secara nash al-Qur’an maupun al-Hadist.
Arie Syantos, dari berbagai seumber

No comments:

Post a Comment