Islam adalah agama yang paling sempurna dan
komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang
berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah
(interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam
ajaran Islam adalah masalah oper-kredit (pengalihan utang), atau dalam istilah
syariah dinamakan dengan "al-hiwalah".
Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan permasalahan seputar "al-hiwalah" (oper-kredit)
dalam pembahasan berikut ini.
A. Pengertian "al-hiwalah"
Menurut
bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha’ dibaca
kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'al-intiqal' (pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil ’ahdi" yaitu
'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "al-hiwalah",
menurut bahasa, adalah, “Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.” Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm.
210.
Adapun pengertian "al-hiwalah", menurut istilah para ulama fikih, adalah
sebagai berikut, “Pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain
yang wajib menanggungnya.”
Menurut Hanafiyah,
yang dimaksud "al-hiwalah"
adalah, “Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya
tanggung jawab membayar utang pula).” Ad-Dur
Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif
Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah
Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
Menurut Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali, "al-hiwalah"
adalah, “Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari
satu pihak kepada pihak yang lain.”
Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal) memberi pinjaman kepada si B (muhil), sedangkan si B masih mempunyai
piutang pada si C (muhal ‘alaih).
Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia mengalihkan beban utang
tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B
kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya--yang ada pada si B--dianggap
selesai.
B. Landasan Hukum Al-Hiwalah
Al-hiwalah diperbolehkan,
berdasarkan dalil dari Assunnah, ijma’ para ulama,
dan qiyas (analogi) yang sahih.
Dalil Assunnah:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pengulur-uluran pembayaran utang yang
dilakukan oleh seorang kaya merupakan sebuah bentuk kezaliman. Jika (pembayaran
piutang, ed.) salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang lain
yang mudah membayar utang, hendaklah pengalihan tersebut diterima.” HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585,
no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu
Hurairah radhi'allahu 'anhu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda pula, “Haram bagi
orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah
seorang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada orang lain, hendaklah
pengalihan itu diterima, asalkan orang lain (yang diminta membayar utang) itu
mampu membayarnya”. HR. Ahmad dan
Al-Baihaqi.
Ijma’ ulama: Para ulama telah sepakat
memperbolehkan al-hiwalah. Hal
ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim. I’lam
Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas
Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya
Abdullah Al-Bassam, IV:579.
C. Jenis Al-Hiwalah
Mazhab Hanafi
membagi al-hiwalah dalam
beberapa bagian:
Ditinjau dari segi objek akad, al-hiwalah dibagi menjadi dua jenis :
1.
Hiwalah al-haq
(pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk
menuntut pembayaran utang.
2.
Hiwalah ad-dain
(pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk
membayar utang.
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi
menjadi dua jenis:
1.
Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai
ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama)
kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A memberi piutang kepada B sebesar 5
juta, sedangkan B memberi piutang kepada C sebesar 5 juta. Kemudian, B
mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A,
sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah
al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari
C ke A (pengalihan hak). Pada sisi lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain karena kewajiban B
kepada A dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan utang).
2.
Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan
mutlak), yaitu pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari
pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak
kedua).
Sebagai contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta.
Kemudian, A mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar
utang A kepada B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai
ganti rugi dari pembayaran utang C kepada A.
Dengan
demikian, al-hiwalah al-muthlaqah hanya
mengandung hiwalah ad-dain karena
yang terjadi hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.
D. Rukun Al-Hiwalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-hiwalah hanya
ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima al-hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada
enam :
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang
kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab
dari muhil dengan
perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan
(maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada
fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan
kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57--58.
E. Syarat
Al-Hiwalah
Semua
imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali)
menyatakan bahwa al-hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi
syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal, dan muhal ‘alaih, serta
berkaitan dengan utang tersebut.
Syarat
bagi muhil (pihak pertama)
adalah:
1.
Baligh
dan berakal. Al-Hiwalah tidak sah dilakukan oleh
anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz),
dan tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.
2.
Ridha.
Jika muhil (pihak pertama)
dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.
Syarat
bagi muhal (pihak kedua)
adalah:
1.
Baligh
dan berakal.
2.
Ada
persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah, menurut Mazhab Hanafi serta sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa
kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula
yang sulit. Adapun terkait menerima pelunasan, itu merupakan hak muhal.
Jika al-hiwalah dilakukan
secara sepihak saja, muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya: pabila
ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar utang tersebut.
Syarat
bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah:
1.
Baligh
dan berakal.
2.
Ada
persetujuan (ridha) dari muhal
‘alaih, menurut Mazhab Hanafi.
Sedangkan mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mempersyaratkan hal ini karena dalam akad al-hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian,
"persetujuan" bukan merupakan syarat sah al-hiwalah.
Syarat
yang diperlukan bagi utang yang dialihkan adalah:
1.
Sesuatu
yang dialihkan itu sudah berbentuk utang-piutang yang sudah pasti.
2.
Apabila
pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama
fikih sepakat bahwa baik utang muhil kepada muhal maupun
utang muhal ‘alaih kepada muhil harus
sama jumlahnya dan kualitasnya.
Jika
antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (berlaku untuk utang
dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (berlaku untuk utang dalam bentuk
barang) maka al-hiwalah tidak sah.
Akan
tetapi, apabila pengalihan itu dalam bentuk al-hiwalah al-muthlaqah maka--menurut Mazhab Hanafi--kedua utang tersebut tidak
mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
Mazhab
Syafi’i menambahkan bahwa kedua
utang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak
sah.
F. Konsekuensi Akad Al-Hiwalah
1.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk membayar utang
kepada muhal, dengan sendirinya, menjadi terlepas (bebas). Adapun menurut
sebagian ulama Mazhab Hanafi,
kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi utangnya
kepada muhal.
2.
Akad al-hiwalah menyebabkan lahirnya hak
bagi muhal untuk menuntut pembayaran utang kepada muhal ‘alaih.
3.
Mazhab
Hanafi, yang membenarkan terjadinya
al-hiwalah al-muthlaqah, berpendapat bahwa jika akad al-hiwalah al-muthlaqah
terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara muhil dan
muhal ‘alaih--yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya--masih
tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang antara ketiga pihak tidak
sama.
G.
Akad Al-Hiwalah Berakhir
Akad al-hiwalah berakhir jika terjadi
hal-hal berikut:
1.
Salah
satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad al-hiwalah,
sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2.
Muhal melunasi
utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
3.
Muhal meninggal
dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi
harta muhal.
4.
Muhal ‘alaih menghibahkan
atau menyedekahkan harta--yang merupakan utang dalam
akad hiwalah--tersebut kepada muhal.
5.
Muhal membebaskan muhal
‘alaih dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan tersebut.
6.
Menurut
Mazhab Hanafi,
hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit
(bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali,
selama akad al-hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah
dipenuhi, akad al-hiwalah tidak dapat berakhir dengan alasan pailit.
H.
Akad Al-Hiwalah Yang Terlarang
Ada
beberapa bentuk akad al-hiwalah (pengalihan utang) yang melanggar
aturan syariat yang biasa terjadi di tengah masyarakat, di antaranya:
1.
Menjual utang tak tertagih
Hal
ini sering dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga keuangan, dengan cara
menjual utang yang sulit tertagih. Biasanya, jual beli utang dilakukan dengan
nilai yang lebih rendah dari nilai utang yang tak tertagih.
Misalnya,
A mempunyai piutang sebesar 10 juta pada B. Piutang A yang ada pada B sulit
tertagih sehingga A menjual piutangnya ke C sebesar 8 juta. Dengan demikian, C
mendapat keuntungan 2 juta, meskipun piutang belum pasti bisa tertagih. Ini
jelas riba karena dalam akad murabahah (jual beli) harus ada objek
(barang atau jasa) yang diperjualbelikan, sedangkan dalam hal ini, yang
diperjualbelikan adalah piutang. Padahal, piutang tidak boleh dijadikan objek
yang bisa mendatangkan manfaat.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Dilarang
(tidak boleh) melakukan transaksi salaf bersamaan dengan transaksi jual beli.”
(HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i,
dan Ibnu Majah)
Yang
dimaksud "salaf" ialah 'piutang'. Diriwayatkan
dari shahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa mereka semua melarang setiap piutang
yang mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk
memberikan uluran tangan (pertolongan). Oleh karena itu, bila pemberi piutang
mempersyaratkan suatu manfaat, berarti akad piutang tersebut telah keluar dari
tujuan utamanya.” Al-Muhadzdzab, karya Imam Asy-Syairazi
Asy-Syafi’i, 1:304.
2.
Menjual giro
Menjual
giro (cek mundur) sering juga dilakukan oleh seeorang ketika dia membutuhkan
uang yang bisa didapatkan segera sebelum tanggal pencairan giro. Dia menjual
giro itu di bawah nilai yang tertera dalam giro tersebut. Ini jelas riba karena
sama dengan "jual beli piutang" atau piutang dijadikan objek yang
bisa mendatangkan manfaat.
Misalnya,
A mempunyai giro dengan nilai 5 juta, dan itu bisa dicairkan pada tanggal 30
Februari 2011. Kemudian, sepuluh hari sebelum pencairan, yaitu tanggal 20
Februari 2011, giro tersebut dijual kepada B senilai 4 juta. Dengan demikian, B
mempunyai untung sebesar 1 juta yang bisa dia cairkan pada tanggal 30 Februari
2011.
Dalam
akad seperti ini, ribanya sudah tumpang tindih. Gironya saja sudah riba karena
mengandung gharar(ketidakjelasan); apakah pasti bisa cair atau tidak. Bisa
jadi, ketika pencairan, ternyata giro itu kosong. Sudah gironya
mengandung gharar, diperjualbelikan pula!
Demikian
penjelasan tentang hukum al-hiwalah (oper kredit/pengalihan utang)
dalam fikih Islam. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
Sumber.
Hukum Oper-Kredit (Pengalihan Utang) dalam Fikih Islam
(Bagian Pertama dan kedua) Oleh: Ust. Muhammad Wasitho, Lc.
Assalamualaikum wrb,perkenalkan saya Sinta dari Padang saya pengusaha properti,saya ngin berbagi pengalaman kepada teman2 semua,dulu saya hanya penjual jamu keliling,hidup susah penghasilanpun hanya bisa untuk makan,saya punya anak tiga suami tinggalkan saya pada saat kelahiran anak saya yang ke 3.putus asa sempat terlintas dipikiran saya,tapi saya harus berjuang demi anak2 saya,tidak sengaja saya buka internet dan saya lihat no ustad Hakim,saya coba telpon beliau,saya dikasi solusi tapi saya ragu untuk menjalankannya tapi saya coba beranikan diri mengikuti saran beliau syukur alhamdulillah sekarang saya bisa sukses seperti ini usaha properti saya terbilang sukses,sekarang semua anak2 saya sekolah dan sudah ada yang sarjana,terimah kasih saya ucapkan pada aki guntur berkat anda saya bisa seperti ini,khusus untuk room ini terima kasih karna saya bisa berbagi pengalaman,untuk teman2 yang mau seperti saya atau yang sedang dalam kesusahan khususnya yang terlilit hutang banyak silahkan hub aki guntur di nmr 082281871557 insya Allah dikasi solusi,ini pengalaman saya nyata dan tidak ada karangan apapun sumpah atas nama Allah,salam persaudaraan,WAssalam
ReplyDelete