Friday, March 9, 2012

Berkebun Emas Banyak Makan Korban

Iming-iming 'investasi emas' melalui 'berkebun emas' banyak makan korban. Terbukti merupakan perangkap mengerikan. 

Dalam beberapa waktu terakhir ini masyarakat banyak dirayu oleh cara berinvestasi yang disodorkan sebagai sangat menguntungkan. Rayuan itu terbukti efektif, dengan banyaknya anggota masyarakat yang mengikutinya, yaitu investasi dengan cara 'berkebun emas'. Disebut 'berkebun emas' karena diberitahukan bahwa emas seseorang bisa berbuah, dank arena itubertambah banyak. Caranya, secara ringkas, adalah dengan cara membeli emas batangan lalu digadaikan, dan hasil gadainya dibelikan emas lagi, yang diulang-ulang, sampai suatu saat 'dipanen'. 

Tanpa banyak disadari oleh masyarakat cara 'mengembang biakkan' emas tersebut adalah jebakan maut. Dalam beberapa bulan terakhir banyak orang menjadi korbannya. Yang memasang perangkapnya, tentu saja, adalah yang menawarkan gadai emas tersebut, yaitu perbankan syariah. Berikut adalah pengakuan terbuka dari seorang korban, sebagaimana dimuat di Harian Kompas, 19 Januari 2012 lalu. DI sini dimuat selengkapnya: 
'Sekitar 3 bulan lalu saya berinvestasi di bank syari'ah Yogyakarta untuk sebuah produk bernama 'Kebun Emas'. Melalui produk itu, saya berinvestasi dengan nilai 3 persen dan 97 persen. Bank Syari'ah tak memungut bunga, tetapi mengenakan biaya titip atau ujroh sebesar 1,1-1,3 persen per bulan dan dihitung harian. 

Dalam 3 bulan, harga emas turun dari Rp 515.000,- menjadi Rp 504.000,- per gram. Dari selisih harga itu saya menanggung rugi cukup besar. Malah, saya harus bayar ujroh kepada bank syariah hampir Rp 90 juta selama 3 bulan. 

Bank syari'ah sama sekali tak menanggung resiko apapun, malah menikmati untung amat besar di atas kerugian nasabahnya. Aset yang saya investasikan di Bank Syariah dalam waktu hanya tiga bulan hampir lenyap. Ketika akan memperpanjang investasi itu saya dikenai biaya ujroh Rp 1,5 juta per hari. Saya terperangkap dalam sebuah produk mengerikan.'

Bapak Sampurno
Sumber: Rubrik Redaksi Yth. (Surat Pembaca, Kompas, 19 Januari 2012) 

No comments:

Post a Comment