Sunday, March 11, 2012

Bersyariah di Bawah Kapitalisme

Krisis global membuat kapitalisme semaput. Label syariah justru membuatnya menggeliat kembali.


Kapitalisme runtuh, “Vonis” ini mengemuka, setelah dunia dibadai krisis perekonomian yang dimulai dengan semaputnya ekonomi jawara kapitalisme, Amerika Serikat. Krisis keuangan Amerika sendiri diawali tsunami kemacetan kredit perumahan sub prime mortgage sejak 2007.

Menurut Presiden Ekuador; Rafael Correa, krisis ekonomi Amerika bukti kegagalan sistem kapitalisme. “Periode kapitalisme finish,” tandas Correa.

PM Inggris; Gordon Brown mengatakan krisis kredit telah “mengerem sampai berhenti” sistem keuangan dunia. Hal yang sama digemakan IMF, Bank Dunia, dan Uni Eropa.

Di Indonesia, lagu kematian kapitalisme juga berkumandang di berbagai forum. Misalnya diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) yang digelar FUI di Jakarta. Diskusi serupa juga di adakan antara lain oleh PP Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Circle of Information Development (CID) Dompet Dhuafa.

Dalam pertemuan pemimpin dunia guna mengantisipasi krisis global, Brown mengemukakan harus ada sebuah rancangan baru tatanan keuangan dunia.

Ketua Asosiasi Bank-bank Syariah Indonesia; A. Riawan Aminmengatakan, krisis global yang turut menyeret Indonesia terjadi karena selama ini Indonesia turut menerapkan ekonomi konvensional.

“Ini karena perjudian mata di pasar uang internasional. Kita harus jalankan ekonomi syariah,” ujar Riawan dalam diskusi“Kapitalisme, Krisis Global dan Ekonomi Rakyat” di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta (1510).

Riawan tak sekedar mengajak. Secara pribadi maupun dengan Bank Muamalat, dia termasuk tokoh perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hasilnya, menurut McKinsey Islamic Banking Competitiveness Report, pertumbuhan industri keuangan Islam di Indonesia paling pesat dibanding beberapa Negara Muslim lain. 

Sejak 2000, tak kurang 50 lembaga ekonomi berbasis syariah tumbuh subur di Tanah Air.

Tapi, Barat tak mau ketinggalan dalam berekonomi syariah.Mustafa E Nasution, dalam diskusi yang digelar CID mengungkapkan, belakangan ini semakin banyak Negara Barat yang bernafsu menjadi pusat keuangan Islam global. Misalnya Singapura dan Thailand, serta Negara-negara di Eropa dan Asia lainnya.

Singapura, saat ini mempersiapkan indeks syariah SGX/FTSE Asia 100. Senior Citizen; Lee Kwan Yew juga pernah sesumbar bahwa negerinya akan menjadi pusat zakat dunia.

Survey McKinsey (2006) menunjukkan, sejumlah bank syariah utama di berbagai kawasan dunia memiliki laju pertumbuhan usaha melebihi rerata industri masing-masing Negara.

Bahkan Uskup Agung Gereja Anglikan; Rowan Williamsmenyatakan; penerapan hukum Islam di Inggris tak terhindarkan. Khususnya hukum perekonomian syariah. Meski menuai badai kontroversi hingga muncul tuntutan pengunduran dirinya, pimpinan gereja dengan 75 juta umat ini bergeming. Dia bicara sesuai fakta.

Menurut Managing Partner Assurance & Advisory Services Ernst & Young Moddle East; Noor Ur Rahman Abid dalam Islamic Finance Summit ke 7 di London pada 5-6 Februari 2008, ada empat faktor pendukung pesatnya ekonomi syariah di Inggris. Yakni peran pemerintah, pengembangan institusi, regulasi, serta pendidikan.

Jumlah Muslim Inggris sekita 1,8 juta orang atau 3% dari total warga Inggris. Kepentingan warga Muslim cukup diakomodasi pemerintah. Inggris misalnya, menghilangkan pajak ganda dalam akad murabahah sehingga produk-produk syariah lebih kompetitif.

Pemerintah juga mereformasi peraturan demi mendukung perkembangan sukuk (obligasi syariah) yang kini tumbuh pesat. FSA (Financial Services Authority) sebagai regulator, juga memberi kemudahan sekaligus melakukan efisiensi bagi sistem keuangan Islam.

Selain itu, semua perusahaan hukum bisa menangani perkara dalam praktik keuangan Islam. Sangat fleksibel.

Institusi keuangan syariah pun marak di Inggris. Di negeri ini ada tiga bank full syariah dan satu perusahaan takaful. Seperti di Edgware Road, satu kawasan di pusat Kota London, terdapat kantor cabang HSBC Amanah.

Soal SDM ekonomi syariah, bukan masalah. Salah satu Universitas di Inggris bahkan menjadi pusat ilmu ekonomi Islam yang mahasiswanya berasal dari seantero jagad.

“Tak berlebihan bila London bakal menjadi pusat keuangan Islam yang andal,” kata Ali Ravalia dari Financial Services Authority (FSA), Bahkan ia mengungkapkan, pendekatan FSA selama lima tahun terakhir menunjukkan Inggris Raya telah mengembangkan diri sebagai pusat keuangan Islam di Eropa.

Hal itu diakui Menkeu RI; Sri Mulyani.”Saya tidak merasa malu harus belajar mengenai bank syariah dari Inggris, bahkan banyak pengalaman yang sangat berguna yang mungkin bisa dipelajari oleh Indonesia,” kata Sri, saat berada di Inggris pada 13-15 Januari 2007.

Menurut pengamat perbankan; Teguh Yuwono, perbankan syariah jelas menarik bagi Barat. “Duit tak kenal bendera. Dana berasal dari mana dan bagaimana cara memperolehnya, bukan masalah bagi Barat. Yang penting fulus masuk”, kata professional di sebuah bank asing di Jakarta.

Konsultan pendidikan dan spiritual ini menambahkan, bagi banker yang penting adalah mobilisasi dana untuk banking operation. “Kalau dengan membuka jalur syariah dana dapat mengelontor datang, why not?”

Seperti dikemukakan Noor Ur Rahman Abid, Inggris membidik potensi likuiditas Timur Tengah yang sangat besar. Ia mengungkapkan, potensi investasi berbasis syariah regional ini hingga 2013 diperkirakan lebih dari 1 triliun dolar AS. Tak hanya itu, di Timteng terdapat dana High Net Worth Individual lebih 1,4 triliun dolar AS. Salah satunya milik raja emas hitam Syaikh Mansour bin Zayed al Nahyan (38) dari Abu Dhabi, senilai 21,86 Miliar USD.

Di Timteng juga terdapat investasi sovereign wealth fund di atas 2 triliun dolar AS. Dari total angka itu, 15 persennya (500 miliar dolar AS) dialokasikan untuk transaksi menggunakan sistem keuangan Islam.

Tapi, jangan kira Inggris hendak menjadi sebuah negara Islam. Bahkan busana jilbab pun masih kerap menjadi persoalan di sana.

Pengamat ekonom dari UGM; Revrisond Baswir justru mengkritisi perkembangan ekonomi syariah yang pesat tapi sebatas instrumental. Misalnya sekadar aspek perbankan dan alat tukar dinar-dirham.

Padahal kata Bang Sonny; “Bila memang serius mau menegakkan sistem ekonomi Islam, maka yang pertama harus dilakukan adalah mengubah institusi perekonomian. Bukan pada hal-hal yang sifatnya instrument pelengkap, seperti perbankan dan alat tukar.”

Karena tak kaffah, lanjut Sonny bank-bank syariah yang menjamur saat ini secara institusional tetap saja bersifat kapitalistik. “Itulah yang disebut kapitalisme Syariah,” selorohnya dalam Halqah Islam dan Peradaban bertema “Meretas Sistem Ekonomi Islam, di Ambang Keruntuhan Ekonomi Kapitalis”, di Wisma Antara, Jakarta 22 Januari lalu.

Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam; Agustianto dalam diskusi yang sama menyatakan stempel syariah pada lembaga-lembaga keuangan yang marak belakangan ini hanya topeng belaka.“Kehilangan ruh syariahnya,” kata Agus.

Baik Sony maupun Agus membenarkan, pada level individu dan kelompok, ekonomi syariah dewasa ini memungkinkah umat Islam dapat meninggalkan riba dan akad bisnis kapitalistik.

Tapi, pada level yang lebih tinggi yakni negara, penerapan sistem ekonomi praktis tidak dapat dilaksanakan. Negaranya tetap saja mengadopsi sistem kapitalisme.

Lihatlah. Produk-produk syariah yang dipasarkan institusi ekonomi syariah di Indonesia, justru didominasi produk-produk konsumtif. Yakni murabahah (kredit), entah itu berbentuk KPR, kredit kendaraan dan sebagainya yang proporsinya mencapai 70% dari pembiayaan.

Bunga pun tetap dikenakan, meski dengan istilah yang “sudah masuk Islam”.

Sedangkan produk-produk mudharabah, musyarakah, isthisma’yang bernilai lebih strategis untuk memberdayakan ekonomi ummat justru minoritas belaka. Perbankan syariah tampaknya tak mau urusan rumit dan beresiko lebih tinggi.

Jangan-jangan perbankan syariah pun lebih banyak menginvestasikan dananya ke pihak ketiga secara konvensional.
[Johny Beriman, dbs]

No comments:

Post a Comment