Pembiayaan
talangan haji adalah pinjaman (qardh)
dari bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana, guna
memperoleh kursi (seat) haji pada
saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu.
FATWA DEWAN
SYARI’AH NASIONAL Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 TENTANG PEMBIAYAAN
PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Ketentuan
Umum :
- Dalam
pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
9/DSN-MUI/IV/2000.
- Apabila
diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor
19/DSN-MUI/IV/2001.
- Jasa
pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.
- Besar
imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah
talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Ada beberapa
pendapat menganai pembiayaan talangan haji ini, yakni.
A. Tidak membolehkan
(mengharamkan) oleh Muhammad Shiddiq al-Jawi.
- Pertama,
dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah.
Sebab dalil yang ada hanya
membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada
satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan
dalam satu akad.
- Kedua,
penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh. Memang
sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan
Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak
membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Imam
Sarakhsi, Al-Mabsuth, 13/16; Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh
al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu’, 9/230; Al-Syarh al-Kabir,
11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah Baina Al-Fiqh al-Islami wa
al-Tathbiq al-Mu’ashir, hal. 45).
- Ketiga,
menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun,
penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak
dibolehkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’
al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal.
24).
- Keempat,
akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad
ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan. (M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal.
17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).
- Dalam
akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan
mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman)
yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada
jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin
syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap
pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan
pendapat). (M. Sa’id
Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484). http://www.khilafah1924.org
B. Mengharamkan Oleh Ust.
Ahmad Ahidin
Menurut
kami, akad qard wa ijarah tidak sah menjadi dasar pembiayaan talangan haji,
karena dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qard wa ijarah.
Sebab yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada
satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan dalam satu
akad.
Dalam
Akad qard wal ijarah, obyek akadnya adalah jasa qard dengan mensyaratkan
tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang
mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak dididasarkan pada jumlah
dana yang dipinjamkan. Kaidah fiqh menyebutkan : “Kullu qardhin syaratha fiihi
an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf” artinya : Setiap pinjaman yang
mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat. (M. Sa`id Burnu, Mausu`ah al-Qawa`id al
Fiqhiyah, 8/484).
Jadi,
pembiayaan talangan haji hukumnya haram. Sebab fatwa DSN tentang akad qardh wa
ijarah menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan. Wallahu`alam http://www.jurnalhaji.com
C. Membolehkan Talangan Haji
dengan Syarat oleh Ust. Ahmad Djalaludin, LC, MA
Jika
dicermati Fatwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor:
29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan
Syari’ah tersebut, memang ada dua jenis akad yakni al-qard dan al-ijarah,
tapi untuk dua jenis obyek yang berbeda, yaitu uang dan jasa.
- Pertama,
akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah hanya mengembalikan
sejumlah yang dipinjam.
- Kedua,
akad ijarah al `amal (sewa jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Sebagaimana
diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis: ijarah al maal (sewa barang) dan
ijarah `al amal (sewa jasa). Dan yang dimaksud oleh Fatwa MUI di atas adalah
ijarah al `amal, karena itu dalil-dalil ijarah yang diketengahkan dalam Fatwa
DSN itu berkaitan langsung dengan ijarah al `amal, bukan ijarah al maal. Hal
ini juga ditegaskan dalam ketentuan umum, bahwa dalam pengurusan haji bagi
nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip
al-ijarah. Nama Fatwanya saja: pembiayaan pengurusan, bukan pinjaman dana haji.
Karena itu ada penegasan ketentuan: Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS
tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Maka, sebetulnya
terpisah antara akad ijarah al` amal (sewa jasa pengurusan haji) dan qardh
(pinjaman/talangan) di sini.
Dengan
demikian, bila praktik pembiayaan pengurusan haji di lembaga keuangan syariah
sesuai dengan Fatwa DSN No. 29/DSN-MUI/VI/2002 tersebut, menurut hemat saya,
diperbolehkan dan silahkan menggunakan jasa tersebut. http://www.ydsf-malang.or.id
D. Ma'ruf Amien,
"Dana Talangan Haji diperbolehkan tapi Hanya untuk yang Mampu"
Ketua
Bidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma'ruf Amien mengatakan,
praktik dana talangan haji maupun umrah yang kini marak bisa diperbolehkan.
Asalkan pemberian dana talangannya kepada masyarakar yang mampu membayar
ciicilannya.
"Sebelum
bank memberikan dana talangan harus dilihat dulu kemampuan nasabah dalam
membayar cicilannya. Dana talangan harus diberikan kepada Muslimin yang mampu
karena haji dan umrah khusus kepada orang-orang mampu, istita'ah," kata
Kiai Ma'ruf, dalam ijtima alim ulama di Pontren Cipasung, Tasikmalaya.
Menurut
Kiai Ma'ruf, pemberian dana talangan tak bisa semuanya karena harus terbebas
dari bunga atau riba. "Berangkat haji atau umrah harus dari harta yang
bersih sehingga diharapkan kalau memakai dana talangan juga harus dari
bank-bank syariah bukan bank konvensional," katanya. http://www.pikiran-rakyat.com
E. Tidak Membolehkan oleh Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Secara
teori ketentuan umum yang disebutkan oleh DSN MUI di atas tentang upah dan
pinjam meminjam dalam kasus Dana Talangan Haji sudah benar. Namun apakah
ketentuan itu sesuai dengan yang diterapkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan
Syariah dalam hal ini oleh Bank-bank Syariah?
Di dalam ketentuan umum fatwa DSN No. 3, dijelaskan bahwa : “Jasa
pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.“
Sekarang marilah kita lihat dalam praktiknya, apakah seorang nasabah dibolehkan
meminjam kepada Bank sejumlah uang untuk menutupi biaya haji yang masih kurang,
tanpa meminta jasa kepada Bank Syariah untuk mengurusi masalah
haji-nya? Artinya, Bank Syariah hanya meminjamkan uang saja, tanpa memungut
tambahan sedikitpun?
Sebaliknya, apakah ada seorang nasabah yang sudah mempunyai uang dana haji yang
cukup, kemudian meminta pihak Bank untuk mengurusi hajinya dengan membayar upah
kepengurusan? Mungkin model kedua ini ada, dan bisa terjadi, walaupun sangat
jarang.
Yang jelas, di dalam praktiknya, rata-rata Bank Syariah menawarkan Dana
Talangan Haji kepada nasabah yang belum punya dana yang cukup untuk biaya haji,
dengan ketentuan bahwa pihak Bank yang akan menguruskan pendaftaraan haji dan
meminta upah kepada nasabah. Ini artinya bahwa Bank telah melanggar ketentuan
umum No. 3 dari Fatwa DSN di atas. Dan secara hukum Syariah ini tidak
dibolehkan.
Adapun dasar dari larangan di atas (mensyaratkan jasa pengurusan haji dengan
pemberian dana talangan haji, atau sebaliknya mensyaratkan pemberian dana
talangan dengan meminta jasa pengurusan haji) adalah sebagai berikut :
Pertama
: Hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu : “Dari Abdullah bin Amru ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual
sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi,
keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang
bukan milikmu (HR Abu Dawud,
dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : Hadist Ini Hasan Shahih)
Dalam hadist di atas diterangkan bahwa : “tidak halal pinjaman yang disyaratkan
dengan jual beli“, begitu juga tidak halal pinjaman yang disyaratkan dengan
pembayaran jasa (al-ijarah), sebagaimana yang terdapat pada Dana
Talangan Haji.
Kedua : Kaidah Fiqh yang disarikan dari hadist : “Setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi
pemberi pinjaman) adalah riba“
Dalam Dana Talangan Haji, pihak Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syariah) memberi
pinjaman kepada nasabah, dan mensyaratkan untuk mengurusi berkas-berkasnya
sampai mendapatkan kursi haji. Itu semuanya dengan imbalan sejumlah uang. Dari
sini, pihak Lembaga Keuangan Syariah mendapatkan manfaat dari pinjaman yang
diberikan kepada nasabah, walaupun melalui jasa kepengurusan, sehingga
dikatagorikan uang jasa tersebut adalah riba.
Ketiga :
Pinjaman adalah kegiatan sosial, yang bertujuan membantu sesama, dan mencari
pahala dari Allah, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan
materi darinya. http://www.ahmadzain.com
- Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
- Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
- Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
- Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
- Pertama, dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah secara terpisah. Tak ada satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah secara bersamaan dalam satu akad.
- Kedua, penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh. Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth, 13/16; Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu’, 9/230; Al-Syarh al-Kabir, 11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah Baina Al-Fiqh al-Islami wa al-Tathbiq al-Mu’ashir, hal. 45).
- Ketiga, menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal. 24).
- Keempat, akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah. Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan. (M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal. 17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).
- Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484). http://www.khilafah1924.org
- Pertama, akad al-qard (pinjaman) dengan obyek uang, di sini nasabah hanya mengembalikan sejumlah yang dipinjam.
- Kedua, akad ijarah al `amal (sewa jasa), yaitu jasa pengurusan haji. Sebagaimana diketahui bahwa al-ijarah ada dua jenis: ijarah al maal (sewa barang) dan ijarah `al amal (sewa jasa). Dan yang dimaksud oleh Fatwa MUI di atas adalah ijarah al `amal, karena itu dalil-dalil ijarah yang diketengahkan dalam Fatwa DSN itu berkaitan langsung dengan ijarah al `amal, bukan ijarah al maal. Hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan umum, bahwa dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah. Nama Fatwanya saja: pembiayaan pengurusan, bukan pinjaman dana haji. Karena itu ada penegasan ketentuan: Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Maka, sebetulnya terpisah antara akad ijarah al` amal (sewa jasa pengurusan haji) dan qardh (pinjaman/talangan) di sini.
F. Mengharamkan Oleh Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA
Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang) dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.
Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan dan saling
terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu karena beberapa alasan :
1. Larangan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam “Tidak halal
menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli” [HR Abu Dawud hadits
no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no. 1234].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada
hadits ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara
piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda menggabungkan antara akad
piutang dengan akad sewa-menyewa berarti Anda telah menggabungkan antara akad
piutang dengan akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian,
setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-buahan yang masih
di atas pohonnya, diskon pada akan penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya
semakna dengan akad hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad
jual-beli dan sewa-menyewa” (Majmu
Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62).
2. Riba Terselubung. Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian, adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata : “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi dalam akad komersial.
Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari penjual” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63).
3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama dengan online,
sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah mendatangkan masalah besar.
Masyarakat berlomba-lomba untuk melakukan pembayaran secepat mungkin, guna
mendapatkan kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka yang
sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara, karena khawatir kelak harus
menanti lama. Banyak dari mereka yang memaksakan diri dengan cara menggunakan
sistem dana talangan haji atau arisan.
Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani masyarakat.
Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada awalnya terasa mudah, sekarang
menjadi terasa sulit nan berat. Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama,
dan selama penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan
piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali masih
menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.
Sudah barang tentu melaksanakan ibadah dengan cara memaksakan diri semacam ini tentu tidak selaras dengan syariat Islam.
“Wahai umat manusia, hendaknya kalian mengerjakan amalan yang kuasa kalian kerjakan, karena sejatinya Allah tidak pernah merasa bosan (diibadahi) walaupun kalian sudah merasakannya. Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah amalan yang dilakukan secara terus menerus, walaupun hanya sedikit” (HR Bukhari hadits no. 1100 dan Muslim hadits no. 785)
Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini ketika mendengar cerita bahwa Khaula’ binti Tuwait senantiasa shalat malam dan tidak pernah tidur.
Dan dalam urusan haji Allah Ta’ala berfirman. “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (Ali-Imran : 97) http://almanhaj.or.id
E. Membolehkan dengan
Syarat (Republika.co.id)
- Kalau didudukkan perkaranya, maka Talangan haji adalah upaya untuk membuat seseorang memiliki kemampuan untuk berhaji.
- Persoalannya adalah apakah talangan haji masuk katagori berhutang?. Jelas masuk katagori berhutang. Dalam hal ini berlaku padanya hukum untuk meminta ijin kepada yang memberikan hutang jika ia mau berangkat haji. Faktanya justru pihak bank yang memberikan fasilitas, berarti ia telah mengijinkan.
- Jika
demikian dalam kasus talangan haji ini.
- Jika sesorang secara financial memiliki kepastian untuk membayar talangan dimasa yang akan datang , misalnya karena gaji yang cukup, atau penghasilan lain yang stabil, dan sudah barang tentu masuk dalam perhitungan bank pemberi talangan, maka baginya dapat dikatagorikan sebagai mampu untuk berhaji.
- Tapi jika ia tidak memilki kepastian melunasinya dan tentu bank tidak akan memberikan talangan pada nasabah yang demikian itu, ia belum dikategorikan sebagai mampu berhaji.
- Persoalan lain mungkin muncul yakni apakah seseorang disarankan untuk mencari talangan agar dapat segera berhaji, jawabannya, secara hukum tidak disarankan karena pada saat itu sebenarnya ia belum mampu (lihat al-fiqh al-Islami : 3/2085), Tetapi secara adab dan ketaqwaan bisa saja dengan catatan ia memiliki kecukupan untuk melunasinya dari gaji.
E. KESIMPULAN
Silahkan ambil kesimpulan sendiri-sendiri, namun perlu diperhatikan bahwa bank adalah bank, yang merupakan lembaga bisnis, dalam kasus ini, bank melihat produk pembiayaan dana talangan haji ini sebagai sebuah peluang untuk mendapatkan keuntungan, tidak ada bedanya dengan bentuk produk-produk pembiayaan-pembiayaan lain, seperti dana talangan pendidikan, KPR syariah, murabahah dan lain-lain (produk dana talangan haji hanya salah satu produk yang dipermasalahkan keabsahannya secara syar`i). Dan dari sisi nasabah awam melihat, bahwa program ini sangat membantu mereka mewujudkan niat naik haji, namun tidak memiliki dana cash untuk langsung booking nomor kursi, sedangkan mereka punya kemampuan untuk menyicil. Jadinya pas banget dah.
Padahal, Menteri Agama Suryadharma Ali sendiri menyatakan tidak setuju jika seseorang menunaikan haji menggunakan dana talangan, termasuk pula melalui Multi Level Marketing (MLM), karena hal tersebut tak memenuhi syarat sar’i. http://oase.kompas.com/read/2012/08/09/14104750/Menag.Berhaji.dengan.Dana.Talangan.Tak.Penuhi.Syarat.
Bahkan Ulama sekelas Quraish Shihab juga tidak menghendaki adanya dana talangan haji. Dengan alasan, rukun Islam kelima itu hanya wajib ditunaikan bagi mereka yang mampu. Dengan adanya dana talangan haji, terkesan memaksakan diri bagi mereka yang tidak mampu. Padahal, hukumnya tidak wajib bagi yang tidak mampu. http://majalahgontor.co.id
Saran
penulis
Pertama. Naik
haji itu wajib bagi yang mampu sudah
sangat jelas. Kalau belum mampu, tidak wajib dan bahkan tidak berdosa. Jika
pakai dana talangan, sebetulnya tidak wajib. Dengan memaksa berhaji, malah
menghalangi orang-orang yang mampu yang sebetulnya wajib naik haji. Karena saat
ini quota Haji terbatas.
Kedua. Yang haram telah jelas dan yang
halal telah jelas yang syubhat tinggalkan.
Ketiga.
Mungkin saja hajinya sah, namun berdosa karena riba, bagaimana...? karena kesan
riba begitu lebih dominan, ingat..! dosa riba tidak hanya bagi pemungut/penerima
tetapi juga bagi pemberi dan penulisnya.
Keempat.
Sebagai seorang muslim dan atau nasabah cerdas
seharusnya kita tidak berhenti untuk mencari tau keabsahan ibadah yang hendak
kita jalankan, dalam konteks ini sarana untuk berhaji. Berilmulah
sebelum beramal.
Wallahu `alam
bishawab
Ketiga.
Mungkin saja hajinya sah, namun berdosa karena riba, bagaimana...? karena kesan
riba begitu lebih dominan, ingat..! dosa riba tidak hanya bagi pemungut/penerima
tetapi juga bagi pemberi dan penulisnya.
Wallahu `alam
bishawab
you're Welcome, Satu almamater dong kita ...
ReplyDelete