Selain kewajiban berpuasa, kebanyakan umat Islam menjadikan Ramadhan sebagai batas waktu (haul) pembayaran zakat mal, tentu saja di samping zakat fitrah yang dibayarkan menjelang lebaran.
Hal ini mengakibatkan zakat mal menumpuk dalam masa yang sangat singkat, hingga kurang terjadi pemerataan kekayaan dari segi waktu. Haul zakat mal semestinya jatuh tempo setiap saat karena setiap orang tentunya mulai menyimpan harta dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu sangatlah penting bagi setiap muzaki untuk menetapkan haul zakatnya secara lebih tepat, dan tidak semata-mata mematok bulan Ramadhan, supaya zakat bisa ditarik dan dibagikan setiap hari sepanjang tahun.
Selain soal haul, rukun pokok lain dari zakat mal yang harus dipenuhi adalah batas minimal kewajiban, atau nisab, yang ditetapkan dalam Dinar emas dan Dirham perak. Dalam hal ini Imam Malik (dalam Muwatta) berkata, 'Sunnah yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya adalah bahwa zakat diwajibkan pada emas senilai 20 dinar, sebagaimana pada perak senilai 200 dirham.' Saat ini hampir semua pihak, termasuk para ulama, menyatakan bahwa nisab zakat mal adalah 85 gr emas. Ini kurang tepat dan menimbulkan persoalan serius.
Pertama, nisab itu ditetapkan memang dalam berat, tetapi satuannya adalah mithqal atau Dinar emas bukan gram, yang kalau dikonversi ke dalam berat umumnya memang menemukan angka 85 gr emas. Sebab 1 mithqal, atau 1 Dinar emas, adalah 4.25 gr, 20 Dinar atau 20 mithqal menjadi 85 gr emas. Penggunaan nisab dalam gr (emas) menghilangkan pengetahuan dasar umat Islam tentang satuan berat dalam syariat Islam (mithqal dan qirat), tentang Dinar emas dan Dirham perak, dengan segala implikasinya. Antara lain pengetahuan tentang ketetapan yang berkaitan dengan nilai, seperti pada hudud, diyat, mahar, dan sejenisnya, juga hilang.
Kedua, nisab 20 Dinar dan 200 Dirham ini mengacu secara umum untuk harta moneter (uang) dan harta perniagaan, dan bukan an sich kepada (logam) emas dan perak. Dengan demikian, sebagaimana bisa dirujuk kepada pendapat para ulama salaf, zakat harta uang dan perniagaan, hanya bisa dibayarkan dengan Dinar emas atau Dirham perak, masing-masing sebasar 2.5%-nya, yaitu 0.5 Dinar emas dan 5 Dirham perak.
emas dan Dirham perak adalah 'ayn (aset nyata), sebagaimana produk pertanian dan peternakan yang bila jatuh nisab zakatnya hanya bisa dibayarkan dengan 'ayn yang bersesuain dengananya. Zakat tidak bisa dibayarkan dengan dayn (bukti utang), yang dalam konteks harta moneter dan barang perniagaan saat ini adalah berupa uang kertas atau turunannya. Jadi, membayarkan zakat uang (meski saat ini kebanyakan berupa dayn, seperti rupiah, dolar, atau lainnya) dan perniagaan dengan 'ayn, yaitu Dinar emas dan Dirham perak, adalah mengembalikan sunnah dan rukunnya.
Ketiga, penggunaan nisab zakat mal dan perniagaan yang hanya merujuk pada (Dinar) emas dan mengabaikan (Dirham) perak, menciutkan jumlah muzakki. Nilai Dinar emas pada awal Ramadhan 1432 H ini, misalnya, bila dirupiahkan adalah Rp 1.975.000, sedangkan Dirham perak adalah Rp 64.500. Artinya nisab zakat dalam Dinar emas setara dengan Rp 39.460.000, sedangkan nisab zakat dalam Dirham perak adalah Rp 12.880.000. Jadi, selama ini, karena nisab yang dipakai hanyalah (85 gr) emas maka mereka yang memiliki tabungan mulai dari Rp 12.880.000-Rp 39.460.000 tidak dinyatakan berkewajiban zakat. Padahal, jumlahnya, secara logika akan jauh lebih banyak ketimbang yang memiliki tabungan bernisab Dinar emas.
Keempat, ini yang sangat penting, sebagaimana kita lihat dalam lebih dari satu dekade ini, penerapan sistem uang kertas dalam kehidupan sehari-hari terbukti semakin genting. Sistem ini, yang tidak lain berbasiskan pada riba, telah mendekati keruntuhannya yang ditandai dengan 'krisis moneter' yang tiada berhenti, dan semakin hari semakin berat. Gonjang-ganjing yang sedang kita saksikan hari ini di AS dan Eropa adalah bagian dari proses pembusukan ini. Rasulullah salallahu alayhi was salam telah mengindikasikannya jauh hari, dengan menyatakan bahwa, 'Akan datang masa ketika tak ada lagi yang dapat dibelanjakan (karena habis nilainya) kecuali Dinar dan Dirham. Selamatkan Dinar dan Dirham.' (HR. Ahmad) Uang kertas adalah liabilitas bukan aset. Nilainya terus-menerus merosot. Secara riil uang kertaslah sumber pemiskinan, berupa inflasi, yang merampas harta setiap orang. Membayarkan zakat mal dalam Dinar emas dan Dirham perak akan dengan sangat efektif menghentikan pemiskinan akibat inflasi ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejak kedua koin nabawi ini, beredar di Indonesia, telah banyak yang mendapatkan manfaat ini. Pembagian zakat mal dalam keduanya bukan cuma berarti pemerataan harta yang sesungguhnya kepada semua orang, termasuk fakir dan miskin. Tetapi, sekali harta ini berada dan beredar di tangan masyarakat, perekonomian kita akan sangat kuat. Sebagai gambaran saja awal tahun 2000an 1 Dinar emas setra Rp 400.000, sedang Dirham perak setara Rp 11.000. Dengan demikian pemiskinan telah terjadi lebih dari lima kali lipat, dengan inflasi sekitar 500% dalam sepuluh tahun ini.
Pembayaran dan pembagian zakat mal kembali sesuai dengan rukunnya, yakni dalam Dinar emas dan Dirham perak, niscaya akan menjadi titik awal kebangkitan bangsa dengan jumlah Muslim terbesar di dunia ini. Tidak ada keraguan lagi.
Hal ini mengakibatkan zakat mal menumpuk dalam masa yang sangat singkat, hingga kurang terjadi pemerataan kekayaan dari segi waktu. Haul zakat mal semestinya jatuh tempo setiap saat karena setiap orang tentunya mulai menyimpan harta dalam waktu yang berbeda-beda. Karena itu sangatlah penting bagi setiap muzaki untuk menetapkan haul zakatnya secara lebih tepat, dan tidak semata-mata mematok bulan Ramadhan, supaya zakat bisa ditarik dan dibagikan setiap hari sepanjang tahun.
Selain soal haul, rukun pokok lain dari zakat mal yang harus dipenuhi adalah batas minimal kewajiban, atau nisab, yang ditetapkan dalam Dinar emas dan Dirham perak. Dalam hal ini Imam Malik (dalam Muwatta) berkata, 'Sunnah yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya adalah bahwa zakat diwajibkan pada emas senilai 20 dinar, sebagaimana pada perak senilai 200 dirham.' Saat ini hampir semua pihak, termasuk para ulama, menyatakan bahwa nisab zakat mal adalah 85 gr emas. Ini kurang tepat dan menimbulkan persoalan serius.
Pertama, nisab itu ditetapkan memang dalam berat, tetapi satuannya adalah mithqal atau Dinar emas bukan gram, yang kalau dikonversi ke dalam berat umumnya memang menemukan angka 85 gr emas. Sebab 1 mithqal, atau 1 Dinar emas, adalah 4.25 gr, 20 Dinar atau 20 mithqal menjadi 85 gr emas. Penggunaan nisab dalam gr (emas) menghilangkan pengetahuan dasar umat Islam tentang satuan berat dalam syariat Islam (mithqal dan qirat), tentang Dinar emas dan Dirham perak, dengan segala implikasinya. Antara lain pengetahuan tentang ketetapan yang berkaitan dengan nilai, seperti pada hudud, diyat, mahar, dan sejenisnya, juga hilang.
Kedua, nisab 20 Dinar dan 200 Dirham ini mengacu secara umum untuk harta moneter (uang) dan harta perniagaan, dan bukan an sich kepada (logam) emas dan perak. Dengan demikian, sebagaimana bisa dirujuk kepada pendapat para ulama salaf, zakat harta uang dan perniagaan, hanya bisa dibayarkan dengan Dinar emas atau Dirham perak, masing-masing sebasar 2.5%-nya, yaitu 0.5 Dinar emas dan 5 Dirham perak.
emas dan Dirham perak adalah 'ayn (aset nyata), sebagaimana produk pertanian dan peternakan yang bila jatuh nisab zakatnya hanya bisa dibayarkan dengan 'ayn yang bersesuain dengananya. Zakat tidak bisa dibayarkan dengan dayn (bukti utang), yang dalam konteks harta moneter dan barang perniagaan saat ini adalah berupa uang kertas atau turunannya. Jadi, membayarkan zakat uang (meski saat ini kebanyakan berupa dayn, seperti rupiah, dolar, atau lainnya) dan perniagaan dengan 'ayn, yaitu Dinar emas dan Dirham perak, adalah mengembalikan sunnah dan rukunnya.
Ketiga, penggunaan nisab zakat mal dan perniagaan yang hanya merujuk pada (Dinar) emas dan mengabaikan (Dirham) perak, menciutkan jumlah muzakki. Nilai Dinar emas pada awal Ramadhan 1432 H ini, misalnya, bila dirupiahkan adalah Rp 1.975.000, sedangkan Dirham perak adalah Rp 64.500. Artinya nisab zakat dalam Dinar emas setara dengan Rp 39.460.000, sedangkan nisab zakat dalam Dirham perak adalah Rp 12.880.000. Jadi, selama ini, karena nisab yang dipakai hanyalah (85 gr) emas maka mereka yang memiliki tabungan mulai dari Rp 12.880.000-Rp 39.460.000 tidak dinyatakan berkewajiban zakat. Padahal, jumlahnya, secara logika akan jauh lebih banyak ketimbang yang memiliki tabungan bernisab Dinar emas.
Keempat, ini yang sangat penting, sebagaimana kita lihat dalam lebih dari satu dekade ini, penerapan sistem uang kertas dalam kehidupan sehari-hari terbukti semakin genting. Sistem ini, yang tidak lain berbasiskan pada riba, telah mendekati keruntuhannya yang ditandai dengan 'krisis moneter' yang tiada berhenti, dan semakin hari semakin berat. Gonjang-ganjing yang sedang kita saksikan hari ini di AS dan Eropa adalah bagian dari proses pembusukan ini. Rasulullah salallahu alayhi was salam telah mengindikasikannya jauh hari, dengan menyatakan bahwa, 'Akan datang masa ketika tak ada lagi yang dapat dibelanjakan (karena habis nilainya) kecuali Dinar dan Dirham. Selamatkan Dinar dan Dirham.' (HR. Ahmad) Uang kertas adalah liabilitas bukan aset. Nilainya terus-menerus merosot. Secara riil uang kertaslah sumber pemiskinan, berupa inflasi, yang merampas harta setiap orang. Membayarkan zakat mal dalam Dinar emas dan Dirham perak akan dengan sangat efektif menghentikan pemiskinan akibat inflasi ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejak kedua koin nabawi ini, beredar di Indonesia, telah banyak yang mendapatkan manfaat ini. Pembagian zakat mal dalam keduanya bukan cuma berarti pemerataan harta yang sesungguhnya kepada semua orang, termasuk fakir dan miskin. Tetapi, sekali harta ini berada dan beredar di tangan masyarakat, perekonomian kita akan sangat kuat. Sebagai gambaran saja awal tahun 2000an 1 Dinar emas setra Rp 400.000, sedang Dirham perak setara Rp 11.000. Dengan demikian pemiskinan telah terjadi lebih dari lima kali lipat, dengan inflasi sekitar 500% dalam sepuluh tahun ini.
Pembayaran dan pembagian zakat mal kembali sesuai dengan rukunnya, yakni dalam Dinar emas dan Dirham perak, niscaya akan menjadi titik awal kebangkitan bangsa dengan jumlah Muslim terbesar di dunia ini. Tidak ada keraguan lagi.
Oleh : H. Zaim Saidi - Pimpinan Baitul Mal Nusantara
No comments:
Post a Comment