Monday, August 15, 2011

Kita Bahkan Sudah Korupsi Pikiran


Membaca buku Tidak Syarinya Bank Syariah kita akan menemukan sebagian jawaban: Kita tidak hanya lemah, kita korup. Bahkan korupsi pikiran. Kita akan jumpai para ulama yang memutarbalikkan tafsir.
Usia bank konvensional sudah mencapai 538 tahun. Dimulai sejak bank konvensional tertua di dunia, Banca Monte dei Paschi di Siena, Italia yang didirikan pada 1472. Disusul Berenberg Bank, Hamburg (pada 590); C. Hoare & Co., London (1672); The Bank of Scotland, Edinburgh (1695); setelah itu barulah pada 1784, Amerika Serikat mendirikan Bank of New York (Vicary and Chee, 2010).
Apakah kehadiran lembaga kuangan konvensional selama empat abad lebih ini telah membawa berkah? Ternyata tidak. Bahkan malah sebaliknya. 

Stiglitz, ekonom AS peraih Nobel Ekonomi dan mantan penasihat Bank Dunia, mengatakan bahwa kegagalan sejumlah negara di berbagai belahan dunia justru akibat menerapkan salah resep yang dibuat oleh Bank Dunia dan atau Dana Moneter Internasional (IMF). AS pun pada 2009 sekarat dan Presiden Barack Obama harus mengeluarkan dana besar untuk melakukan bailout (talangan), gara-gara perilaku para eksekutif lembaga keuangan. Ada kucuran 29 milyar dolar AS untuk Bear Stearns, 152 milyar dolar AS untuk AIG, dan 345 milyar dolar AS untuk Citigroup, serta untuk Bank Sentralnya disiapkan 600 milyar dolar AS guna menjamin deposito pasar uang dan menurunkan suku bunga. Total, Presiden Obama harus menyediakan dana untuk mendorong investasi dan kredit hingga 7,2 trilyun dolar AS. Kini, negara besar itu telah ikut terjerat utang besar dan APBN-nya defisit mendekati 1 trilyun dolar AS gara-gara ulah eksekutif lembaga keuangan yang liar, dan kontrol negara yang dilemahkan (CNN Money, 6 Januari 2009).

Para eksekutif membuat sistem bonus, yang ironisnya, didasarkan pada penjualan produk keuangan, bukan pada kinerja perusahaan. Misalnya, semakin banyak surat utang terjual, maka semakin besar bonus yang mereka terima. Para eksekutif keuangan lantas tidak peduli dengan keamanan investasi yang ditawarkan kepada para pemilik dana. Ini menyebabkan tumbuhnya bisnis keuangan yang liar dan spekulatif.
Gao Xicing, Presiden China Investment Corporation, setahun sebelumnya (2008) sudah mengingatkan bahwa AS harus merombak struktur penggajian di sektor keuangan. Pekerja di sektor ini memiliki cara untuk mendapatkan banyak uang, dan ini sudah tidak benar.

Kebangkrutan sejumlah investor dan korporasi keuangan AS tersebut menjadi pemicu krisis global. Dan dampak krisis itu kini sudah masuk ke Eropa. Saat ini, Yunani - gara-gara jebakan utang, secara ekonomis dinyatakan sudah bangkrut. Uni Eropa terpaksa membantunya agar krisis Yunani tidak merembet dan menyebabkan krisis Eropa.

Saat ini Pemerintah AS, Uni Eropa dan Dewan Stabilitas Keuangan G-20 mencoba meredam dan menata ulang pemberian bonus kepada para eksekutif dan pekerja keuangan. Kejadian yang mirip juga sedang berlangsung di Indonesia. Akibat menerapkan resep yang salah dari IMF, perbankan di Indonesia kolaps dan ikut memperdalam krisis 1997.

Pemerintah Indonesia dipaksa melakukan bailout sebesar Rp 147,74 trilyun dalam bentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tragis, bailout yang tidak perlu, kembali terulang pada 2009 sebesar Rp 6,7 trilyun, kepada Bank Century. Semua ini terjadi antara lain karena sistem pengawasan di Bank Indonesia (BI) tidak berjalan baik.

Ironisnya, dengan kinerja yang buruk dari insan perbankan ini, rakyat Indonesia dipaksa untuk membayar tinggi gaji pejabat BI. Menurut Ketua Badan Anggaran DPR RI, Harry Azhar Aziz, gaji tertinggi pejabat di negeri ini masih ditempati Gubernur BI, mencapai Rp 265 juta per bulan. Sedangkan gaji presiden RI sekarang Rp 150 juta. Gaji pejabat BI itu meliputi gaji bulanan 12 kali, plus uang cuti sebulan gaji, Tunjangan Hari Raya dua bulan gaji, serta insentif sebesar tiga bulan gaji (Bisnis Indonesia, 12 April 2010).

Ini terjadi antara lain karena kini BI adalah lembaga independen (UU No. 3/2004). Lembaga itu bukan lembaga pemerintah, tapi otoritas moneter yang posisinya mandiri terhadap pemerintah. Maka, BI adalah lembaga super yang nyaris tanpa kontrol dari lembaga apa pun. Tidak pula dari anggota DPR. Malah pejabat BI menyuap sejumlah anggota DPR. Tragis, kini para petinggi itu - mantan gubernur BI, mantan direktur Bank Century dan sejumlah anggota DPR, bergantian mengisi rumah penjara. 

Bagaimana dengan bank Islam?
Saya terharu dan bangga saat menyaksikan seremoni berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta pada 1991, disusul dengan lahirnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan selanjutnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Saya juga tetap optimistis, bahwa di tahap awal bank belum dapat dijalankan dengan sistem syariah sepenuhnya. Para pengelola memberikan argumen bahwa ini adalah periode transisi, masa antara, darurat, sembari melakukan edukasi kepada masyarakat. 

Namun, dengan berjalannya waktu, kebanggaan dan harapan saya lama kelamaan redup. Karena periode darurat itu berjalan berkepanjangan. Dan yang membuat saya pesimistik adalah tidak ada upaya sungguh-sungguh dari para pemilik dan pengelola perbankan syariah untuk mengimplementasikan sistem syariah. Bahkan, ada kecenderungan ke arah sebaliknya. Para pemilik dan pengelola menikmati sistem operasi konvensional (nonsyariah).

Pada 2004, di Pusat Studi Ekonomi UGM, kami menyelenggarakan diskusi mengenai bahayanya riba, mengenalkan dinar, dan membedah "sistem pengelolaan bank syariah yang keliru", yang dihadiri oleh pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, perbankan syariah, Ahmadiyah, LSM, akademisi, dll. Setahun kemudian, pada 2005, acara yang sama kami gelar kembali di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta, dihadiri sekitar 100 orang pengelola BMT dan BPRS. Demikian seterusnya, acara serupa kami selenggarakan kembali di Hotel Brongto (2006), di Hotel Sahid Raya Yogya (2007), di Hotel Airlangga (2007), di Gedung Abhiseka (2008), di gedung PUPUK Yogya (2009 dan 2010).

Setiap selesai seminar, mayoritas mendukung segera diterapkannya sistem secara syariah. Namun hingga hari ini sebagian besar - kalau tidak seluruhnya, masih tetap menjalankan sistem lembaga keuangannya secara konvensional. Argumen mereka masih sama: ini disebabkan oleh karena penyedia dana (Shahib al Maal) dan entrepreneur (Mudharib) belum siap, kita masih transisi, darurat. 

Pada 2006, saya ditemui manajer Bank Syariah Mandiri Yogyakarta, dengan permintaan untuk menempatkan dana lembaga yang saya pimpin di BSM. Saya setuju, dan setor dana Rp 6 milyar. Saat saya tanya, bisakah kita lakukan proses bisnis yang sepenuhnya syariah - sebagai pemilik dana saya siap menerapkan sistem bagi hasil dan bagi rugi (lost & profit sharing), dia menjawab, "Maaf, belum bisa, karena sulit menemukan entrepreneur (Mudharib) yang mau."

Empat bulan lalu, saya bertemu tiga pimpinan BMT di Yogyakarta. Saya melempar pertanyaan, mengapa BMT Anda belum dijalankan secara syariah penuh? Jawab mereka, "Para pemilik BMT maupun penyedia dana (Shahib al Maal) tidak mendukung. Kami, sebagai eksekutif, sebenarnya ingin menjalankannya."
Bulan lalu, saya menerima laporan tahunan BMT. Di BMT ini saya adalah pendiri (pemilik). Saya tanya kepada direkturnya (yang juga adalah pemilik), mengapa tidak ada laporan kegiatan baitul mal? Dia menjawab dengan terus terang, kegiatan baitul mal kurang menarik, tidak potensial menghasilkan profit. Dan ternyata, tidak seorang pun yang diberi tugas untuk menjalankan divisi baitul mal. Seluruh staf sibuk dengan kegiatan baitul tamwilnya saja. Bahkan, pada lembaga yang pemiliknya memberi keleluasaan pun, para eksekutifnya lebih memilih sibuk memikirkan untung saja.

Hal yang sama juga terjadi pada lembaga venture capital. Lembaga ini diadopsi dari AS, yang didirikan oleh pemerintah Indonesia dan sejumlah pengusaha di sejumlah kota sejak 1999. Lembaga ini seharusnya beroprasi dengan sistem: 1) Penyertaan Saham (Equity Participation); 2) Obligasi Konversi (Convertible Bond); 3) Pola Bagi Hasil (Revenue Sharing); 4) Pembiayaan Syariah dan 5) Pembiayaan lainnya. Kenyataannya, lembaga ini dioperasikan layaknya lembaga perbankan. Diterapkan pola pinjam-meminjam. Dengan mengutip bunga pinjaman dan meminta agunan. Jauh dari sistem venture capital aslinya yang tidak mengenal bunga pinjaman dan agunan. Alasan para eksekutifnya sama, konon, karena sulit mencari nasabah yang bersedia diajak kerjasama dengan sistem penyertaan saham. 

Is Indonesia a Soft Nation?
Jadi, di mana masalahnya pemilik lembaga (bank, BMT), para ulama, penyedia dana (Shahib al Maal) dan/atau entrepreneur (Mudharib)? Apakah Indonesia bangsa yang lemah, yang tidak memiliki pribadi unggul dengan fight spirit tinggi? Tidak punyakah kita pribadi yang all out menerapkan idealisme?
Membaca buku Tidak Syar'inya Bank Syari'ah karya Zaim Saidi ini kita akan menemukan sebagian jawabannya. We are not only soft, we are corrupt. And there is corruption of mind as well. Kita tidak hanya lemah, kita korup. Dan bahkan ada korupsi pikiran. Kita akan menjumpai para ulama yang memutarbalikkan tafsir. Kita akan tahu bagaimana para eksekutif perbankan menelikung pendekatan syariah dan mengaburkannya dalam sistem konvensial. Kita akan tahu bahwa banyak penilaian yang keliru atas perbankan Islam. Bahkan Daud Vicary Abdullah (yang telah berkarier 35 tahun di perbankan) dan Keon Chee, dalam bukunya Islamic Finance, Why It Makes Sense, pun telah salah menafsirkan dan tidak menangkap prinsip syariah dalam analisisnya terhadap perbankan Islam (Marshall Cavendish, 2010).
Write the right think, menuliskan hal yang benar. Inilah yang menjadi alasan dan latar belakang mengapa DELOKOMOTIF menerbitkan buku ini. 

Oleh : Mukti Asikin - Penerbit Delokomotif
www.wakalanusantara.com

No comments:

Post a Comment