Saturday, December 17, 2011

Goethe, Islam dan Uang Kertas


DI  JAGAD  kesusastraan, nama Johann Wolfgang von Goethe tentu sudah tidak asing lagi. Lahir di Frankfurt, Jerman, 24 Agustus 1748, Goethe dikenal sebagai pujangga terbesar di antara yang besar dalam sejarah kesusastraan Eropa. Lebih dua setengah abad berlalu, nama dan karyanya terus diperbincangkan,  tak hanya di Eropa namun juga di Indonesia.
Merayakan 260 tahun kelahiran Goethe, The Habibie Centre (THC) Jakarta menggelar diskusi publik tentang sosok manusia multi talenta itu pada pertengahan Ramadhan silam.   Topiknya, persinggungan Goethe dengan ajaran Islam.  Topik ini menarik karena menyingkap sisi lain kehidupan Goethe yang boleh jadi tidak banyak terungkap ke publik Tanah Air.
Nurman Kholis, peneliti dari Litbang Departemen Agama RI yang menjadi pembicara utama pada diskusi itu membentangkan sejumlah bukti betapa Goethe sangat akrab dengan khasanah ajaran Islam. Itu terekam dari berbagai teks yang pernah ditulis Goethe semasa hidupnya, mulai dari syair, lakon drama hingga surat-surat yang pernah dikirimkannya ke  berbagai pihak. Kesimpulan Nurman, Goethe meyakini keesaan Allah (tauhid), mengagumi sosok Nabi Muhammad SAW serta memercayai kebenaran al-Quran.
Tentang Nabi Muhammad, Goethe menulis buku kumpulan puisi berjudul Mohamets Gesang (Dendang Nabi Muhammad: 1772). Salah satu petikan syairnya menuliskan: “Juga kalian mari, mari/ Dan kini lebih ajaib dia membesar-meluas/ Seluruh ras menyanjung pangeran ini”. Pada syair lainnya, Goethe menggambarkan indahnya hubungan Nabi Muhammad dan al-Quran: “Dia seorang Rasul dan bukan penyair, dan oleh karenanya Al-Quran ini hukum Tuhan. Bukan  buku karya manusia yang dibuat sekadar bahan pendidikan atau hiburan”. Lainnya, Goethe menyatakan: “Apakah Al-Quran  itu abadi?/ Saya tidak meragukannya/ Inilah buku dari buku-buku/ Saya meyakini kitab muslim itu”.
Keterpesonaan Goethe bisa terus diperpanjang. “Dan kebenaran itu pasti bersinar/ Apa yang diakui oleh Muhammad/ Hanya dengan pengertian satu Tuhan/ Dia menguasai segalanya di dunia ini”. Bahkan, dalam syair yang lain, Goethe terang menyatakan Islam sebagai pilihan hidupnya: “Sungguh bodoh dalam setiap hal/ Orang memuji pendapatnya sendiri/ Apabila Islam berarti berserah diri kepada Tuhan/ Dalam Islamlah kita hidup dan mati”. Lainnya, pada sebuah syair yang ia tulis di bulan Februari 1816,  Goethe menyatakan: “Puisi ini tidak menolak kebenaran bahwa diri ini adalah seorang Muslim”.
Sebelum  Nurman, identitas keislaman Goethe sudah lama bergema di Eropa. Tahun 1995, Syeikh Abdalqadir al-Murabit, mursyid  tariqat  syadziliya-darqawiyah lebih awal menyatakan Goethe adalah seorang muslim. Ulama yang dikenal sebagai pelopor kebangkitan Islam di Eropa itu menyampaikan hal tersebut dalam buku  berjudul Fatwa on the Acceptance of Goethe as Being a Muslim, terbit di Weimar, Jerman. Namun, Goethe tidak mendapat pengajaran khusus tentang shalat, puasa, zakat atau berhaji. Kendati demikian, Goethe bangga dan penuh emosi menghadiri shalat Jumat. Di lingkungan muslim Eropa pada masanya, Goethe  dipanggil dengan nama Muhammad Johann Wolfgang Goethe. Fatwa Syeikh al-Murabit juga dipublikasikan dalam tabloid berbahasa Jerman,  Islamische Zeitung Nr. 5/1995 dengan judul “Fatwa uber die Anerkennung Goethes als Muslim”
Kekaguman Goethe pada Islam merupakan hasil pengembaraan panjang. Saat belajar ilmu hukum di Universitas Leipzig, ia telah tertarik mempelajari kesusastraan Timur. Hal itu menjadi pintu masuk baginya mengenal Islam. Goethe membaca, terpesona, lalu memburu manuskrip asli syair-syair sufistik karya para sufi agung: Rumi, Hafiz, Ferdusi, Dschami, Saadi, dan Attar. Goethe juga membaca tafsir al-Quran, sejarah Nabi Muhammad, kitab fikih, hingga kumpulan doa. Ketertarikannya pada al-Quran terpacu setelah membaca al-Quran terjemahan JV Hammer dalam bahasa Jerman dan karya G. Sale dalam bahasa Inggris. Hasil pembacaan itu kelak membuat Goethe mempelajari cara menulis dan membaca aksara Arab. Setelah kematiannya (1832), Goethe diketahui menyalin sejumlah ayat al-Quran dengan tulisan tangannya sendiri. Pembaca yang penasaran bisa menemukan sejumlah dokumentasinya dalam buku yang ditulis Sebastian Donat (1999) berjudul Goethe,  ein letztes Universalgenia? (Goethe, Seorang Serba Bisa yang Terakhir?)
***
Semasa hidupnya, Goethe memiliki banyak minat. Selain sastra, ia juga mendalami ilmu hukum, arsitektur, kimia, filsafat, geologi, matematika, meteorology dan militer.  Namun, agaknya jarang diketahui publik soal ketertarikan Goethe pada urusan moneter, khususnya soal penciptaan uang. Menurut Nurman, lakon Faust yang ditulis Goethe, salah satunya  berisi kritik tajam Goethe terhadap kebijakan penerbitan uang kertas di Eropa. Masa Faust digarap, Eropa sedang berada dalam transisi dari penggunaan uang emas menuju uang kertas.
Mengutip penelitian Sebastian Donat, menurut Goethe, penciptaan uang kertas menggantikan uang emas merupakan hasil rekayasa setan. Dalam Faust diceritakan, Raja kehabisan uang emas setelah mendanai perang. Dia lalu  meminta bantuan memperoleh dana segar dari dokter Faust yang bersekutu dengan iblis bernama Mephistopheles. Kepada Raja,  Mephistopheles menawarkan solusi agar mencetak uang dari bahan kertas saja. Uang jenis itu gampang dibuat dibandingkan uang emas yang harus ditambang lebih dulu dan jumlahnya terbatas. Praktek penciptaan uang kertas inilah yang ditentang Goethe.
Selain Faust, Goethe  juga menulis 46 buku lain yang berisi sikap skeptisnya terhadap pemberlakuan uang kertas. Sikap Goethe itu sejalan dengan Islam. Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan, Allah menciptakan emas dan perak agar keduanya menjadi hakim yang adil. Senada, Syeikh Taqyuddin An-Nabhani menyatakan, satuan perhitungan dan alat tukar menurut syariah adalah emas dan perak. Sejarah Islam terang menunjukkan hal ini. Sejak era Rasulullah hingga Kekhalifahan Usmani, umat muslim menggunakan dinar  dan dirham. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram. Dirham, koin perak 2,9 gram. Keduanya digunakan sebagai alat tukar, penakar nilai,  pembayar zakat, mahar dan investasi.
Meminjam pendapat Goethe, uang kertas merupakan hasil ciptaan setan maka tidak heran bila penggunaannya yang kini dominan dipakai umat manusia di dunia menyebabkan pelbagai malapetaka terjadi. Sudah tak terbilang negara yang hancur perekonomiannya akibat resesi dan inflasi, yang disebabkan anjloknya nilai tukar mata uang kertas negara tersebut. Uang kertas, disebabkan terbuat dari kertas, sejatinya tak bernilai. Ia dipercaya hanya karena diberi cetakan angka di atas lembarannya oleh otoritas politik. Itu membuatnya rawan spekulasi. Bandingkan dengan uang emas atau perak yang bernilai ril disebabkan kandungannya.  Spekulasi sulit terjadi. Iris-irislah sekeping koin emas maka setiap serpihannya masih tetap berharga. Namun,  robeklah selembar uang kertas maka ia segera tidak akan berguna.
Mengemukakan pandangan Goethe tentang uang, kiranya dapat menjadi renungan bagi umat Islam Indonesia dan dunia saat ini untuk memikirkan kembali penggunaan uang emas dan perak. Patut didukung, kini koin dinar emas dan dirham perak telah kembali dicetak dan beredar di Tanah Air bahkan dunia. Perlahan, kian panjang barisan orang yang menyadari kelebihan uang berbahan baku emas itu dibandingkan uang kertas. Sifat emas dan perak yang universal, juga memungkinkan uang jenis ini menembus sekat-sekat budaya, sosial bahkan bisa diterima penganut agama manapun. Perdagangan yang adil antar manusia, antar negara, bisa ditegakkan. Al-Gazali mengatakan, “Dari sekian banyak nikmat Allah, adalah penciptaan emas dan perak. Dengan mata uang inilah  maka dunia tegak”.
Ucapan al-Gazali relevan dengan konteks dunia hari ini. Keadilan ekonomi sulit ditegakkan bila uang kertas masih diterapkan sebagai alat tukar. Tengoklah, ironi yang dialami Indonesia. Hutan, tanah, minyak, isi laut, tambang, hasil bumi lainnya yang dikaruniakan Tuhan kepada negeri ini ditukar oleh bangsa lain hanya dengan lembaran kertas-kertas cetakan yang sejatinya tak berharga. ***

No comments:

Post a Comment