Saturday, December 17, 2011

Beberapa Kritik terhadap Bank Syariah


Tarek El Diwany bangga bisa berkarir di sebuah lembaga konsultan keuangan berbasis syariah di kota London, Inggris. Profesi itu tak hanya membawanya berkeliling ke berbagai negara namun juga membuatnya bisa memberikan  konsultasi pengembangan instrumen keuangan Islam ke seluruh dunia.  Namun belakangan, interaksi Tarek dengan berbagai orang yang ditemuinya, mengubah pemahamannya tentang realitas ekonomi di sekelilingnya. Puncaknya,  saat Tarek menyaksikan gencarnya dukungan perusahaan perbankan konvensional (ribawi) terhadap perbankan syariah (Islam). Sebaris pertanyaan kemudian mengusiknya. “Mengapa bank-bank berbasis bunga terbesar di dunia mempromosikan perbankan dan keuangan Islam sebegitu gencarnya? Islam menentang bunga uang, sementara dari sanalah selama ini bank-bank ribawi itu menjadi sangat kaya.”
Tarek mencari jawabannya. Hasilnya, doktor alumnus Universitas Lancaster itu tiba pada kesimpulan: ada institusi dan kekuatan politik berkuasa yang sedang mengorupsi nama Islam. Wujudnya, mereka mengembangkan berbagai instrumen dan kerangka kerja keuangan berbasis bunga (riba) namun mengatakannya kepada  publik sebagai contoh praktik keuangan Islam.  Berbagai  perusahaan  keuangan kemudian serempak menerapkannya. Pemerintah membuat berbagai peraturan demi melicinkan upaya implementasi tersebut.
Ini konspirasi. Berbagai konferensi bertema perbankan syariah digelar, menghadirkan pembicara yang mendukung para bankir. Para sarjana muslim fresh graduate yang tidak pernah bermimpi bisa menjadi staf senior di bank investasi global, dipromosikan menjalankan departemen-departemen bank Islam dengan gaji berlipat dari gaji standar nasional.
Kondisi kian klop saat media massa gencar memuat artikel dan iklan yang memproklamirkan kesuksesan industri perbankan dan keuangan Islam. Dengan segala cara itu, lanjut Tarek, ancaman sistem keuangan Islam yang murni  (bebas riba) sesungguhnya sedang dicegah. Tarek pun menegaskan, praktik keuangan yang dikembangkan perbankan Islam bukan menjauhkan umat muslim dari riba, sebaliknya, justru umat tetap berada dalam kungkungan riba.
Pembaca yang ingin mengetahui lebih detil kritik Tarek, silakan membaca bukunya, Membongkar Konspirasi Bunga Uang (PPM Manajemen; 2008). Selain soal konspirasi, Tarek juga memapar sejumlah kontrak perjanjian (akad) menurut hukum Islam namun diterapkan dengan teknik yang berbeda oleh para praktisi perbankan Islam.
Tarek bukan satu-satunya pengkritik.  Lebih awal ada  Prof  Umar Ibrahim Vadillo. Kritik Dekan Dallas College Cape Town Afrika Selatan ini tertuang dalam bab The Fallacy of Islamic Banking dalam bukunya The End of Economics, (Madinah Press, 1991). Vadillo menyatakan, bank Islam sejatinya bertolakbelakang dengan ajaran Islam. Perbankan Islam adalah tipu-daya yang dilancarkan pelaku riba untuk menyeret jutaan  umat Islam masuk dalam perangkap riba. Bank Islam adalah upaya melumpuhkan perlawanan Islam atas riba selama 14 abad lamanya. Bank Islam adalah kuda troya yang menyusup dalam rumah Islam.
Kritik lanjutan dibentangkan Vadillo di bukunya yang lain, Esoteric Deviation in Islam (2003). Buku setebal seribu halaman itu melingkupi berbagai topik. Salah satu yang disorot adalah pengaruh kapitalisme pada dunia Islam. Kapitalisme, kata Vadillo,  masuk ke dunia Islam melalui gerakan pembaruan dan reformasi Islam yang digagas sejumlah pemikir di Mesir. Tak sampai seabad, gerakan itu berhasil menggiring kapitalisme diterima umat Islam. Itu ditandai dengan diterimanya konsep perbankan Islam, asuransi Islam, pasar modal Islam, dan pelabelan “Islam” pada produk kapitalisme lainnya. Islamisasi kapitalisme, demikian istilah Vadillo, adalah pembenaran praktik riba yang diharamkan Allah SWT.
Merujuk beberapa pandangan Vadillo, Abdur-razzaq Lubis,  aktifis People Againts Interest-Debt (PAID) yang bermukim di Penang, Malaysia meluncurkan Tidak Islamnya Bank Islam. Buku ini melengkapi kritik selanjutnya atas kehadiran perbankan Islam di negeri jiran.
Di Indonesia, kritik serupa dimulai oleh Zaim Saidi melalui Tidak Islamnya Bank Islam:  Sebuah Kritik atas Perbankan Syariah (Adina; 2003). Buku ini juga memuat risalah terjemahan karya ulama Imran N Hosein, The Importance of Prohibition of Riba in Islam yang sebelumnya pernah dimuat dalam Ansari Memorial Series. Buku seukuran saku itu sempat menyulut kontroversi di sejumlah forum. Tak surut, mantan Direktur PIRAC yang kini aktif memperjuangkan penggunaan koin dinar emas dan dirham perak sebagai alat tukar itu meneruskan kritiknya dalam Tipuan Perbankan  Syariah sebuah bab pada bukunya yang lain,Ilusi Demokasi: Kritik dan Otokritik Islam (Republika; 2007). Tidak bisa dilupakan, Sistem Dajjal (1997) karya Ahmad Thomson yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Selain memuat kritik serupa pada perbankan syariah, buku pemikir muslim asal Inggris itu juga membongkar akar krisis berbagai masalah di dunia yang dialami manusia moderen.
***
Kehadiran perbankan syariah, –dan segenap dukungan kepadanya– umumnya dipahami sebagai jawaban atas keraguan umat Islam atas perbankan konvensional yang menjalankan praktik riba. Perbankan syariah dipercaya sebagai solusi untuk mencapai perniagaan yang adil. Namun, bagi pengkritiknya, perbankan syariah bukan solusi bahkan justru sebentuk pengkhianatan. Nah, bila menerusi pikiran mereka, lantas apa yang mereka tawarkan? Bukankah,  kehidupan kita saat ini sangat bergantung pada perbankan?
Jalan yang ditawarkan adalah kembali kepada tata perniagaan Islam (muamalah) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabat  di Madinah serta mereka yang meneruskannya tanpa pengaruh modernitas. Sejarah mencatat, dalam waktu yang lama, umat Islam sukses berniaga, nyaman melakukan berbagai transaksi keuangan dengan umat lainnya hingga ke berbagai penjuru dunia. Itu semua berlangsung tanpa peran perbankan.
Namun, kapitalisme telah meruntuhkan muamalah.  Penghancuran ditandai dengan berdirinya perbankan yang hidupnya bergantung dengan memungut bunga-utang  dan memproduksi uang kertas (fiat money). Sebagai jalan awal, Vadillo memanggil umat Islam menggunakan kembali koin dinar emas dan dirham perak. Uang kertas yang diproduksi oleh bank –termasuk bank syariah— bukanlah uang menurut hukum Islam. “Uang moderen” itu justru mesin utama penggerak kapitalisme. Sebaliknya, bila kembali pada dinar dan dirham maka “uang tradisional” itu akan meminimalisir berbagai mudarat yang ditimbulkan kapitalisme.
Bagi Vadillo, riba bukan sekedar pungutan tambahan atas utang namun juga uang kertas itu sendiri. Proses penciptaan uang kertas oleh bank, menurutnya,  merupakan praktik riba. Dasarnya, nilai yang diterakan di atas secarik uang kertas, tidak sama dengan kandungannya. Uang kertas bernilai hanya karena diberi cap oleh otoritas politik. Bila otoritas itu tidak ada maka uang kertas sama saja dengan kertas cetakan lainnya. Hal ini berbeda dengan dinar dan dirham yang bernilai  karena kandungannya. Memahami proses produksi uang kertas adalah batuan dasar untuk mengenali bagaimana kapitalisme perbankan –konvensional atau syariah–  berdiri dan bekerja. Memahami dinar-dirham adalah pintu masuk kembali pada muamalah.
Jalan kedua, menghidupkan kontrak qirad (pinjaman usaha) dan syirkah (bagi hasil). Akad-akad itu diterapkan tanpa memakai definisi yang disusun oleh perbankan syariah. Permodalan diperoleh tanpa meminta pinjaman bank, melainkan langsung melalui kemitraan antara kumpulan individu yang saling mengenal. Hal ini akan melahirkan restorasi  perniagaan Islam berupa kembalinya  pasar terbuka Islam, munculnya jaringan pedagang kolektif (karavan) dan kembalinya unit-unit produksi mandiri (gilda). Realitas turunan itu tidak akan ditemukan bila qirad dan syirkah versi perbankan syariah yang dijalankan.
Utopikah pandangan Vadillo? Di Indonesia, sejak tahun 2001, koin dinar-dirham telah dicetak dan kini beredar melalui puluhan wakala –gerai penukaran rupiah ke dinar-dirham. Peredaran dan baku mutunya, berada dalam otoritas amirat yang menginduk ke World Islamic Trade Organization (WITO). Seiring itu, hari ke hari, pengguna koin berbahan logam mulia itu terus bertambah. Mereka menggunakannya untuk berbagai urusan; membayar zakat, sedekah, upah, mahar, investasi, jual-beli hingga memenuhi ketentuan dalam menjalankan kontrak qirad dan syirkah. Sepanjang tahun ini, pasar terbuka Islam dengan transaksi memakai koin dinar-dirham telah diselenggarakan di berbagai tempat; Mesjid Salman ITB, kampung nelayan Cilincing,  gedung  MUI Depok, Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran, Pesantren Daarut Tauhid, Gegerkalong, dan Kampus UGM, Yogya dan lainnya. Tak luput, teknologi internet juga dikembangkan untuk memudahkan pelbagai transaksi. Semua aktifitas muamalah itu sukses dijalankan tanpa peran perbankan syariah.  ***
http://nantakana.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment