Saturday, December 17, 2011

Senjakala Uang Kertas



golddinarjpeg.jpg
‘We have gold because we cannot trust Government”
 (Pernyataan Herbet Hoover dihadapan Presiden Rosevelt, tahun 1933)
Judul Buku: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan
Penulis: M. Luthfi Hamidi, MA
Kata Pengantar: Dr. Mustofa Edwin Nasution
Penerbit: Senayan Abadi Publishing
Cetakan: 1, Februari 2007
Tebal: xxv + 221 halaman
TAHUKAH Anda, uang kertas dalam saku Anda menyimpan banyak persoalan? Ini bukan cuma soal betapa sulit mendapatkannya, namun lebih karena pada lembar-lembar uang kertas itu tersimpan masalah ekonomi dan politik berskala global. Di balik carikan uang kertas, bahkan, terdapat konspirasi, tarik-menarik kekuasaan yang membuat timpang wajah percaturan ekonomi dan politik dunia saat ini.  
Buku Gold Dinar, Sistem Moneter yang Stabil dan Berkeadilan, yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi, ini mengurai carut-marut wajah moneter dunia sejak sistem mata uang kertas diperkenalkan lalu diterima masyarakat dunia sebagai alat traksaksi yang final. Berbekal data dan kajian mendalam, Luthfi memapar sejumlah potret ketimpangan ekonomi yang melanda negara-negara dunia ketiga akibat penerimaan mereka terhadap sistem mata uang kertas (fiat money) itu. Fiat money adalah penggunaan mata uang berbasis kertas yang diterbitkan pemerintah suatu negara tanpa disokong logam mulia (emas dan perak).
Menurut Luthfi, penggunaan uang kertas sebagai alat transaksi moneter internasional itu telah membuka ruang bagi munculnya penjajahan baru dan salah satu biang ketidakadilan moneter di dunia. Melalui mata uang kertas, sebuah negara dapat menjajah, menguasai, bahkan melucuti kekayaan negara lain. Negara yang memiliki nilai mata uang kertas lebih kuat menekan negara lain yang mata uang kertasnya lebih lemah.
Contoh nyata penjajahan melalui mata uang itu terlihat dalam penggunaan uang kertas dolar Amerika Serikat (AS) yang diterima oleh 60 persen penduduk bumi. Inilah ironi terbesar dunia saat ini, menurut Luthfi. Dolar yang terdistribusi secara luas menempatkan AS pada tempat istimewa. Melalui dolar–mata uang yang tak berbasis pada emas itu–AS mengeksploitasi, memajaki warga dunia dengan mengalihkan beban inflasi yang ditanggungnya pada seluruh pemakai dolar di seantero dunia. Negara-negara ketiga didera krisis ekonomi berkepanjangan lantaran harus membayar inflasi yang ditimbulkan oleh penggunaan uang kertas tersebut.
Bukan itu saja. Ketidakadilan juga tersimak saat negara-negara ketiga menyerahkan pelbagai komoditas mereka seperti minyak, kayu dan kekayaan alam lainnya sementara AS cukup menukar semua komoditas itu dengan uang kertas yang bisa dicetaknya kapan saja. Nah, menurut buku ini, sepanjang dolar tetap dipakai dalam pelbagai transaksi moneter internasional, ketimpangan moneter dan krisis ekonomi akan terus melanda negara-negara ketiga.Lantas, bagaimana bila mau terbebas dari ketidakadilan moneter dan krisis ekonomi tersebut? Caranya: sistem moneter internasional saat ini yang didominasi uang kertas itu–dolar dan mata uang kertas kuat lainnya seperti euro dan yen–harus mendapat alternatif lain. Apa itu? Pilihan Luthfi jatuh pada mata uang dinar emas (gold dinar).
Dinar emas yang dimaksud adalah mata uang berupa kepingan koin berbahan baku emas 22 karat seberat 4,25 gram. Kendati disebut dinar, kata itu sejatinya sudah dikenal jauh sebelum Islam datang. Di mata Luthfi, inilah mata uang sejati. Pada dinar terdapat kestabilan nilai dan keadilan moneter karena mata uang tersebut berbasis komoditas (commodity currency). Dinar bernilai karena kandungan emas yang dimilikinya (intrinsik). Dinar tidak terikat keputusan politik apapun. Ini berbeda dengan mata uang kertas yang dianggap bernilai karena sebaris angka dicetakkan di atas kertasnya (ekstrinsik) lalu mendapat pengesahan pemerintah (negara).
Argumentasi kembali ke dinar emas tidak sampai di situ. Buku yang ditulis berdasarkan tesis yang diraih Luthfi di Markfield Institute, Inggris (2005) ini membentangkan pelbagai data berikut analisis seputar keunggulan mata uang dinar emas dan kerapuhan sistem mata uang berbasis uang kertas. Mengedepankan sejumlah variabel dan mengutip analisis para pakar ekonomi dunia, Luthfi tiba pada kesimpulan bahwa mata uang dinar emas terbukti lebih unggul dari mata uang kertas manapun. Penggunaan mata uang berbasis kertas (fiat money) patut ditinggalkan dan dinar emas (gold dinar) harus dikembalikan ke posisi terhormat sebagai mata uang internasional. (Lihat Bab II: Fiat Money atau Emas?)
Berikutnya, pada bab Gold Dinar dan Fungsi Uang Universal, pembaca diajak memahami universalitas emas. Dinar yang berbasis emas adalah mata uang yang mandiri dan sejarah telah membuktikan betapa mata uang itu dikenal sebagai extra ordinary currency yang anti-inflasi. Bahkan, dinar emas tidak terikat oleh kekuasaan politik manapun. Sebuah pemerintahan atau negara bisa jatuh dan uang kertas yang dicetak sebuah negara bisa kadaluarsa atau mengalami kemerosotan nilai. Namun, uang koin emas tetap beredar dan dihargai sesuai nilai pasar. Bukan negara yang membuat emas bernilai, melainkan pasar. (hlm. 79)
Dalam sejarah, koin dinar emas terbukti diterima sebagai alat moneter universal. Ribuan tahun lamanya masyarakat dunia dari pelbagai peradaban memilih mata uang ini sebagai alat tukar dalam aneka praktik keuangan. Selama ribuan tahun pula, perdagangan dunia menganut konsep bimetalisme, kebijakan moneter berbasis emas dan perak. Imperium Romawi menggunakan denarius, mata uang berupa koin emas bergambar Hercules bersama dua putranya, Herculyanoos dan Qustantine. Di Cina dikenal qian, mata uang yang juga berbasis logam.
Sementara itu, penggunaan fiat money baru dikenal pada abad 20 ini. Penandanya, saat sistem Bretton Woods ambruk pada 1944. Emas yang selama ribuan tahun menjadi standar mata uang (classical gold standard) diganti dengan sistem kurs mengambang (flexible excange rate) yang sama sekali tak lagi bersandar pada emas. Dunia kemudian hanya mengenal satu mata uang kertas yang mendominasi perdagangan dan menjadi pilihan mengisi cadangan devisa oleh berbagai negara, yaitu dolar AS.
Ditinggalkannya emas sebagai standar moneter internasional bukan tanpa sebab lain. Luthfi mengungkapkan, penyingkiran emas sebagai standar moneter merupakan upaya sistemik. Mengutip pernyatan Robert Mundel, peraih Nobel Ekonomi, emas mengalami marginalisasi karena konspirasi internasional. Salah satunya melalui penciptaan aset Special Drawing Right (SDR) yang diciptakan International Moneter Fund (IMF). Seperti dolar, SDR sebelumnya didukung oleh emas namun lambat laun setelah harga emas melesat naik pada 1970-an, garansi emasnya dicabut. (hlm. 148)
Buku yang ditulis Luthfi ini melengkapi langkanya literatur yang mengulas mata uang berbasis emas sebagai mata uang alternatif dalam usaha perbaikan wajah ekonomi dunia yang lebih berkeadilan. Boleh dikata, telaah mendalam seputar mata uang emas ini tak banyak dilakukan oleh pengamat atau pakar ekonomi kontemporer. Untuk menyebut beberapa, topik serupa terdapat dalam buku Jerat Utang IMF? karya Abdurrazaq Lubis (1998), Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter oleh Ismail Yusanto, et.al (2001), serta Lawan Dolar dengan Dinar (2003) dan Kembali ke Dinar(2004)–keduanya buah pena Zaim Saidi.
Beberapa buku itu tampil dengan sudut pandang berbeda dalam memandang keberadaan dinar, namun dalam semangat yang sama: dunia perdagangan harus kembali pada mata uang berbasis emas, bukan fiat money.
Adakah gagasan mereka ini hanya sebuah utopia? Faktanya, tidak. Menyadari kelemahan fiat money, kesadaran kembali pada mata uang berbasis logam mulia ini sudah bertumbuh di pelbagai belahan dunia. Pamor dinar yang meredup kembali dihidupkan oleh Syaikh Dr Abdalqadr as-Sufi, seorang tokoh sufi asal Skotlandia. Di Eropa, gagasan kembali menggunakan dinar emas digaungkan oleh Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku Return of The Gold Dinar(1991). Bahkan, koin dinar emas telah kembali dicetak oleh Islamic Mint Spanyol dan telah diedarkan sebagai alat transaksi dalam World Islamic Trading Organization (WITO).
Beberapa negara juga telah melakukan transaksi perdagangan dengan dinar emas seperti yang dimulakan Malaysia dan Iran. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad adalah satu-satunya pemimpin negara yang berani mengatakan dinar harus dikembalikan sebagai alat perdagangan internasional. Di Indonesia, belum terlihat keberanian pemimpinnya.
Kendati tak banyak mendapat dukungan pemerintah, gagasan kembali ke dinar di Indonesia bertumbuh di tengah masyarakat. Di beberapa kota, telah berdiri sejumlah wakala, gerai pembelian dinar. Di Indonesia, sejak tahun 2001, mata uang dinar dicetak oleh PT. Logam Mulia, anak perusahaan PT. Antam Tbk dan diedarkan oleh Islamic Mint Nusantara.
Januari 2003, terbentuk pula Forum Penggerak Dinar Dirham Indonesia (FORINDO) yang menandatangani Deklarasi Gerakan Internasional Gold Dinar dan International Silver Dirham. Forum ini terdiri dari Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Murabitun Nusantara, Permodalan Nasional Madani (PNM), Yayasan Dinar Dirham, Pusat Inkubasi Usaha Kecil Menengah (PINBUK), Wakala Adina, Forum Zakat Nasional, Asosiasi Bank Syariah Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Selain untuk transaksi keuangan, dinar digunakan untuk mahar, zakat, tabungan haji dan investasi.
Buku Gold Dinar–juga beberapa buku lainnya–memberi peyakinan, bila dinar tegak sebagai alat moneter internasional, sebuah tatanan kehidupan perekonomian baru yang lebih stabil dan berkeadilan bukan utopi. Gagasan kembali pada dinar emas yang diusung buku ini berangkat dari kesadaran mengoreksi sistem moneter uang kertas yang menimbulkan kepincangan ekonomi global. Nah, bila proposal gold dinar terlaksana, ini bisa menjadi bentuk reformasi moneter yang akan mempengaruhi lanskap baru moneter dunia. (hlm. 180). Buku ini patut dibaca para praktisi dan pengamat ekonomi untuk mendapatkan sudut pandang berbeda dalam mengatasi keruwetan ekonomi Indonesia dan dunia hari ini.
(Emil W.  Aulia,  Koran Tempo,  Minggu, 27 Juni 2007)

No comments:

Post a Comment