Saturday, December 17, 2011

Gemerincing Dinar dalam Buku


TUJUH tahun lalu PT Logam Mulia, anak perusahaan Aneka Tambang, resmi mencetak dan mengedarkan koin dinar emas dan dirham perak di Indonesia. Kehadiran koin-koin yang dikenal sebagai mata uang di era kejayaan Islam tempo doeloe itu segera mengundang sorotan, utamanya dari para cendekia di Tanah Air yang berkecimpung dalam studi ekonomi Islam.
Seiring dengan itu, penerbitan buku-buku seputar keberadaan koin-koin tersebut pun menggeliat. Sedikitnya ada selusin buku terbit sepanjang era reformasi ini. Paling banyak pada 2007. Hingga September saja lima buku telah diluncurkan: Gold Dinar, Sistem Moneter Global yang Stabil dan Berkeadilan karya M. Luthfi Hamidi (Senayan Abadi Publishing); Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar & Dirham oleh Muhaimin Iqbal (Spiritual Learning Centre); Satanic Finance, True Conspiracies karangan A. Riawan Amin (Celestial Publishing); Kemilau Investasi Dinar Dirham oleh Sufyan Al-Jawi (Pustaka Adina); dan Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam karangan Zaim Saidi (Republika).
Kelima buku itu senapas: menelisik hakikat, plus-minus antara koin dinar-dirham dan uang kertas (fiat money). Telaah berpusat pada dua hal, yakni mengkritik struktur keuangan moderen kekinian serta mengoreksi penggunaan uang kertas yang kini jamak berlaku di seluruh negara di dunia. Perbedaan kelima buku itu lebih pada argumentasi dan fakta yang disusun para penulisnya, merujuk latar belakang pendidikan dan pekerjaan mereka yang beragam.
Kendati berbeda dalam argumentasi dan cara menguraikan, kelima buku itu sampai pada kesimpulan yang sama: mata uang dinar-dirham memiliki banyak keunggulan dari uang kertas, sebab itu mata uang dinar-dirham patut dikedepankan, mengganti mata uang kertas yang kita kenal saat ini, entah itu rupiah, yen, euro, ringgit, poundsterling, atau dolar AS.
Dinar punya kelebihan karena ia mata uang riil (commodity currency). Disebabkan terbuat dari logam mulia, dinar lebih stabil, mampu menghadapi tekanan inflasi dan gejolak kurs. Sebaliknya, uang kertas adalah uang hampa karena ia tak lebih sekedar kertas cetakan belaka yang dikeluarkan tanpa disokong nilai emas dan perak. Ia bernilai hanya karena diberi angka melalui pemaksaan negara. Lantaran tidak berbasis emas, uang kertas rentan spekulasi dan inflasi.
Disebabkan mengandung emas pula, dinar adalah mata uang universal. Sejarah dan peradaban mengakuinya. Potonglah sekeping dinar emas menjadi bagian-bagian kecil, seluruh bagiannya tetap berharga. Tapi guntinglah selembar uang kertas, maka ia sama sekali tak akan berguna.
Dijabarkan pula, penggunaan uang kertas adalah bagian dari praktik imperialisme ekonomi moderen yang berbasis riba (usury). Uang kertas adalah salah satu pilarnya. Kelima buku tersebut sepakat, riba adalah jiwa bangunan ekonomi modern yang menguasai sistem keuangan dunia kita saat ini. A. Riawan Amin menyebut uang kertas sebagai “pilar setan” yang mengokohkan berdirinya “satanic finance“. Pilar lainnya adalah pengucuran utang (credit) dan memungut bunga (interest). Mesinnya adalah perbankan. Sebagai sebuah sistem yang terstruktur, riba (perbankan) bekerja secara global untuk memiskinkan umat manusia.
Kehadiran kelima buku itu memperkaya kepustakaan dinar-dirham yang ditulis cendekiawan asal Indonesia. Sebelumnya, lebih dulu terbit Dinar Emas, Solusi Krisis Moneter, hasil kerja sama PIRAC dan SEM Institute (1999). Buku ini kumpulan makalah dari seminar bertajuk serupa.
Aktivis lembaga swadaya masyarakat Zaim Saidi termasuk yang getol menulis topik dinar-dirham. Sebelum merilis Ilusi Demokrasi, ia telah meluncurkan tiga buku bertema serupa, yaitu Lawan Dolar dengan Dinar dan Kembali ke Dinar (2004). Menyusul kemudianTidak Islamnya Bank Islam, yang ditulisnya bersama Imran N. Hosein (2005). Tak hanya menulis, Zaim juga mendirikan Wakala Adina, sebuah gerai pembelian dinar-dirham di Depok, Jawa Barat yang bisa diakses publik.
Kepustakaan dinar bertambah saat beberapa buku penulis asing turut diterjemahkan. Sebut, misalnya, Discredit Interest Debt, The Instrument of World Enslavement karangan Abdur-razzak Lubis, yang terbit di Malaysia dan diterjemahkan menjadi Jerat Utang IMF(Mizan, 1998). Lalu buku Raising A Fallen Pillar karangan dua pemikir muslim asal Inggris, Abdalhaqq Bewley dan Abdal-Hakim Douglas, yang dialihbahasakan menjadi Menegakkan Pilar yang Runtuh (Adina, 2004). Menyusul Al-Auraqal-Naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami karangan Dr Ahmad Hasan, sarjana Universitas Damaskus, yang diterjemahkan menjadi Mata Uang Islami, Telaah Konfrehensif Sistem Keuangan Islami (Raja Grafindo, 2005).
Geliat penerbitan buku-buku bertema dinar boleh disebut sebagai imbas gerakan kembali ke dinar-dirham yang bergaung dari Eropa. Pamor dinar yang meredup seiring kejatuhan Kekhalifahan Osmani di Turki pada 1920 kembali dihidupkan oleh Syeikh Dr Abdalqadir as-Sufi. Pada 18 Agustus 1991 tokoh sufi asal Skotlandia ini mengeluarkan fatwa haram penggunaan uang kertas sebagai alat tukar.
Salah seorang murid Syeikh, Umar Ibrahim Vadillo, kemudian memimpin gerakan Murabitun Internasional yang giat menyerukan kembali penggunaan dinar-dirham di Eropa bahkan ke seluruh dunia. Vadillo menulis banyak buku tentang dinar. Salah satu yang paling banyak dirujuk adalah Return of the Gold Dinar (Madinah Press, 1996). Buku ini memuat penjelasan lengkap seputar sejarah dinar-dirham dan bagaimana uang kertas memengaruhi harga-harga.
Hingga dinar-dirham dicetak kembali pada 1992 di Granada, Spanyol, dan diedarkan oleh Islamic Mint Spanyol, spesifikasinya mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar Bin Khatab. Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25 gram, sementara dirham adalah perak sterling seberat 2,975 gram. Selain Spanyol dan Indonesia, dinar-dirham juga telah dicetak di Skotlandia, Jerman, Afrika Selatan, Dubai, dan Malaysia. Layaknya mata uang, kini dinar dan dirham digunakan sebagai alat tukar perdagangan, sarana investasi dan pembayaran upah. Penggunaan yang lain adalah sebagai zakat, mahar perkawinan, dan cindera mata.
Buku-buku bernapas dinar yang telah terbit sejatinya bukan sekedar kumpulan teks semata, melainkan “buku perjuangan”. Buku-buku itu menyuarakan perlawanan terhadap sistem ekonomi liberal kapitalistik yang saat ini menguasai dunia. Usai membacanya, kita dihadapkan pada dua pilihan: berdamai dengan sistem keuangan yang berlaku sekarang dengan segala bencana yang ditimbulkannya atau memilih aturan baru yang sama sekali berbeda untuk menyelamatkan keadaan.
(Emil W. Aulia, Koran Tempo, Minggu, 31 Desember 2007)

2 comments: