Wednesday, December 21, 2011

PERLUKAH CREDIT CARD DI SYARI`AHKAN...?


  • Di zaman yang semakin modern ini, Anda tak perlu lagi membawa segepok uang untuk keperluan belanja. Cukup menyimpan kartu plastik berukuran panjang 8,5 dan lebar 5,4 sentimeter di dompet dan menggeseknya di lokasi belanja berlogo Visa, MasterCard, American Express, Maestro, Diners Club, atau Mondex.
  • Transaksi mendunia tanpa uang tunai mulai menjadi tren sejak ditemukannya kartu plastik (plastic card) atau kartu pintar (smart card) seiring perkembangan ekonomi dan budaya masyarakat yang mulai meninggalkan kebiasaaan memakai uang tunai (cashless society).
  • Kartu substitusi uang ini mencakupi ATM (Automatic Teller Machine) yang merupakan asesoris tabungan atau giro, kartu debet (debit card), kartu tunai (cash card) atau kartu aset (asset card), kartu tagihan (charge card) yang ditagih pada saat jatuh tempo, serta kartu kredit (credit card) sebagai alat pembayaran atau instrumen fasilitas kredit.
  • Bisnis kartu kredit yang kian gebyar ternyata menggoda sebagian pelaku bank syariah untuk menghadirkan kartu kredit yang syariah, meski menimbulkan pro dan kontra di tengah hiruk pikuknya dunia konsumtif, kredit macet, dan beban utang yang berkelanjutan, sehingga memerlukan penelusuran yang transparan sejauh mana urgensi kartu kredit dalam dunia perbankan syariah di Indonesia lewat lorong yang objektif.
  • Hasil survei The Nilson Report per Maret 2002 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 terdapat 94 juta pemegang kartu kredit (cardholder) terbitan Visa dan 92,1 juta MasterCard dengan total kartu sebanyak 493,4 juta (kartu utama dan supplement). Nilai belanjanya menyentuh angka 818,15 miliar dolar AS dengan pengambilan tunai(cash advance) sebesar 194.9 miliar dolar AS (24 persen).
  • Jumlah kedua kartu yang beredar di Indonesia mencapai 6,6 juta dengan nilai transaksi 2,9 miliar dolar AS, termasuk aktivitas belanja sebesar 1,6 miliar dolar AS yang bervolume 80,1 juta transaksi, meski relatif kecil dibanding Singapura, Malaysia, Thailand, New Zealand, Hongkong, Taiwan, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Jepang. Padahal kondisi Indonesia masih didominasi oleh masyarakat yang tergolong cash based society (menggunakan uang tunai).
  • Belakangan tren penggunaan kartu kredit tersebut makin marak seiring dengan kemudahan akses untuk berbelanja, tawaran program belanja yang menarik, serta berbagai hadiah yang pernah diluncurkan oleh para issuer seperti VW Beetle, Audi TT, BMW Z3, Toyota RAV4, dan Isuzu Phanter.
  • Selain itu penggunaan produk kartu kredit semakin dikembangkan lewat program cross selling untuk pembayaran kewajiban angsuran premi asuransi, telepon, penarikan tunai, penjualan produk gaya hidup, furnitur, dan elektronik untuk keperluan rumah tangga (merchandising), sehingga berpengaruh terhadap cashflow dan menggerogoti dana darurat (emergency fund) keuangan keluarga akibat kewajiban cicilan yang semakin membengkak.
  • Persaingan bisnis yang terjadi kadangkala mengabaikan prudential banking dengan menerabas standar pendapatan (income) calon pemegang kartu, jumlah kartu kredit yang telah dimiliki, tawaran belanja dengan cicilan berjangka yang melebihi kapasitas finansial, serta lemahnya pengawasan terhadap agen penjualan yang mempengaruhi kualitas acquisition (perolehan account).
  • Konsumsi merupakan faktor pemicu fungsi produksi dan distribusi yang akan menggerakkan roda perekonomian, sehingga menimbulkan tabiat produsen yang berusaha mengeksploitasi need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand.
  • Kondisi di atas secara jeli telah dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk menggaet konsumen lewat kemudahan belanja, keringanan cicilan, aneka hadiah, serta penghargaan terhadap customer loyalty yang menggiring konsumen kepada utang yang berkelanjutan.
  • Pola penawaran yang dilakukan pebisnis kartu kredit tidak terlepas dari dualisme sebagai alat pembayaran (payment system) dan memacu penggunaan (usage) yang menyerang wilayah keinginan (wants) seseorang daripada kebutuhan(needs), sehingga melahirkan tawaran konsumtif yang cenderung boros karena adanya kemudahan belanja, pesta diskon, cicilan ringan dengan minimum pembayaran (minimum payment) berkisar 5 – 10 persen, serta program reward pointyang menyentuh psikologis pembeli (cardholder).
  • Padahal Islam menuntut agar mengkonsumsi sesuatu yang memberikan manfaat dan kemaslahatan serta mengabaikan kemubaziran atau pemborosan yang mengarah konsumerisme seperti firman Allah dalam Surat Al-Israa’ ayat 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. ”
  • Untuk itu diperlukan perencanaan keuangan yang saat ini mulai berkembang dan dikenal populer dengan sebutan financial planning (perencanaan keuangan) atau wealth management (manajemen kekayaan) yang berseberangan dengan perilaku berutang, khususnya utang jangka pendek, terutama kartu kredit yang berbasis bunga tinggi.
  • Hal ini sejalan dengan pandangan Islam yang melarang pengeluaran inefisien terhadap orang yang mengaku beriman yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maaidah: 87).
  • Perilaku hidup sederhana dan tidak konsumtif merupakan tuntutan hidup seorang Muslim. Islam melarang umatnya berlaku kikir dan tidak dibenarkan membelanjakan harta secara berlebihan melampaui kewajaran seperti tuntutan Allah SWT dalam Surat Al-Furqaan Ayat 67) ”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
  • Pola konsumsi yang dianut jangan sampai menimbulkan masalah ekonomis yang berujung pada realitas lebih besar pasak daripada tiang (berutang). Untuk itu dituntut selektif disertai skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan agar tidak bermewah-mewah, sehingga terhindar dari sinyalemen yang diingatkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (Al-Takaasur 1-2)
  • Harus ada skala prioritas dalam penerapan aktivitas kehidupan sehari-hari menurut Islam. Misalnya dalam penggunaan kartu kredit syari’ah dan sejenisnya bukanlah pada tingkatan martabat dharuriyat (primer) karena selama masih ada jenis pembiayaan lain yang lebih Islami, kartu ini tidak diperlukan. Jadi kartu kredit syari’ah dan sejenisnya masuk dalam kategori martabat hajjiyat (sekunder) atau malah martabat tahsinat (pelengkap) apabila masih dapat digunakan jenis pembiayaan lain, misalnya kartu debet.
  • Kerawanan kartu kredit terletak pada pembebanan bunga ketika pemegang kartu tidak mampu membayar pada saat jatuh tempo, sehingga menimbulkan penggandaan bunga yang berlipat dan terpuruk dalam perangkap kapitalisme global. Apalagi banyak di antara mereka yang tidak melunasi ketika tagihan jatuh tempo.
  • Kartu kredit syariah pertama di dunia diluncurkan oleh AmBank Malaysia (semula dikenal Arab-Bank Malaysian Bank Berhad) dengan nama Al Taslif Credit Card tahun 1996 yang menimbulkan pro dan kontra dengan skim bai bithaman ajil(bayar tangguh). Kemudian diikuti oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pertengahan 2002 dengan nama Bank Islam Card dan ArabBangking Corporation (ABC) Islamic Bank Bahrain pada akhir 2002, serta As Shamil Bank danTadamon Islamic Bank. Namun di Malaysia kurang berkembang pesat hingga kini (Republika, 21 Juli 2005).
  • Proses pembuatan kartu kredit syariah mengalami kendala dalam hal penetapan harga jual, karena harga pada akad jual beli ditentukan di awal sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Sedang harga tangguh suatu barang dan jasa pada kartu kredit bisa berubah akibat semakin lamanya pembayaran, sehingga sulit menentukan harga jual yang akurat.
  • Selain itu bagaimana mengawasi keabsahan berbagai item transaksi barang dan jasa yang menyangkut perbedaan akad, serta mendeteksi transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah, meski bisa dilakukan dengan cara menambah chip yang berfungsi mendeteksi barang dan jasa yang haram seperti yang telah dipraktikkan oleh Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada produknya Bank Islam Card?
  • Bagaimana bila seseorang melakukan pembelian perhiasan emas dengan menggunakan kartu kredit, lalu perhiasan tersebut dijual untuk mendapatkan uang tunai? Bagaimana pula jika dipakai untuk membeli makanan yang tidak jelas kehalalannya seperti di restoran yang tidak memiliki sertifikasi halal? Mungkin masih banyak pertanyaan lain yang menganga lebar dalam menerapkan standar ideal di negeri yang lemah fungsi pengawasannya.
  • Menurut data Bank Indonesia, transaksi kartu kredit di Indonesia per 31 Desember 2004 telah mencapai Rp 37 triliun (bandingkan dengan tahun 2001 yang berkisar Rp 28 triliun) dan di antaranya senilai Rp 11 triliun (30 persen) berbentuk cicilan (kredit), sehingga terdapat angka kredit macet sebesar Rp 1,2 triliun (11 persen).
  • Angka ini sungguh fantastis dan jauh melebihi batas toleransi Non Performing Loan (NPL) kredit standar yang hanya lima persen, sehingga menjadi faktor potensial yang berkontribusi terhadap kredit bermasalah yang terus menggayuti perbankan nasional. Kondisi ini sekaligus dapat dijadikan acuan terhadap rencana penerbitan kartu kredit syariah agar kelak tidak terjadi shifting (pengalihan) persoalan dari konvensional ke syariah yang berdampak terhadap reputasi perbankan syariah yang berbasis sektor riil.
  • Peluang bisnis yang ingin ditangkap bank syariah untuk segmen pasar kartu kredit dapat dilakukan dengan pengembangan bisnis merchandising. Karena tingkat suku bunga yang ditawarkan merchandising unit kartu kredit relatif lebih tinggi dibanding kredit biasa, sehingga dapat diterapkan jual beli (murabahah) yang murah dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, asalkan dilakukan secara langsung, selektif, dan prudential.
  • Wacana peluncuran kartu kredit versi syariah perlu dipikirkan secara matang tanpa dipengaruhi emosional sesaat, karena dapat menciptakan paham konsumerisme yang berbasis utang. Padahal Rasulullah Muhammad saw telah mengingatkan umatnya agar bersikap hati-hati dalam berhutang dan menjadi pertanyaan pertama yang diajukan sebelum jenazah diusung.
  • Untuk memberikan kemudahan dalam payment system dapat digunakan kartu debit (debit card), bukan berbasis kartu kredit. Lihat tuah kepada yang menang dan mencontoh yang ada bagaimana kenyataan mudarat kartu kredit yang dikonsumsi masyarakat. Itulah kebijakan yang rasional. Tinggalkan budaya buy now pay later.

No comments:

Post a Comment